Thought terkait: Perbaikan Kualitas Wasit dan Hakim Garis di Indonesia
Coba perhatikan kedua gambar berikut
Coba perhatikan kedua gambar berikut
Persamaan dari kedua gambar di atas adalah sama-sama mendeskripsikan tindakan anarkistis berupa penyerangan yang dilakukan oleh pemain terhadap wasit. Di sisi lain, muncul beberapa poin yang menjadi pembeda kedua gambar di atas, di antaranya:
- Gambar 1 dilakukan oleh Luisao (Benfica) terhadap Christian Fischer; Gambar 2 dilakukan oleh Herman (Deltras) terhadap Novari Iksan.
- Gambar 1 terjadi dalam pertandingan persahabatan antara Benfica melawan Fortuna Dusseldorf pada 11 Agustus 2012; Gambar 2 terjadi dalam lanjutan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012 antara Persib melawan Deltras.
- Pada gambar 1, Luisao menerjang wasit untuk memprotes keputusan wasit yang menganggap Javi Garcia, rekan Luisao, melanggar pemain Fortuna; Pada gambar 2, Herman menghajar wasit karena sebelumnya wasit memberikan hadiah penalti kepada Persib setelah Herman dengan jelas melanggar pemain Persib di dalam kotak penalti.
- Akhir dari kejadian di gambar 1, Luisao dijatuhi hukuman larangan bermain selama 2 bulan yang berlaku secara internasional dan sejumlah denda; Akhir dari kejadian di gambar 2, Herman “dihadiahi” larangan bermain 1 pertandingan atas kartu merah yang dia terima, selang beberapa hari dia sudah bisa bermain lagi.
Dalam Law of the Game FIFA
Law 12 – Fouls and Misconduct pada artikel “Showing dissent by word or action”
disebutkan bahwa
“A player who is guilty of dissent by protesting (verbally or non-verbally) against a referee’s decision must be cautioned. The captain of a team has no special status or privileges under the laws of the Game but he has a degree of responsibility for the behavior of his team.”
Jelas menurut aturan tersebut bahwa keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat
oleh pemain ataupun ofisial. Adapun jika wasit diharuskan untuk mengubah suatu
keputusan, perubahan tersebut didasarkan atas diskusi dan rekomendasi dengan
asisten wasit (Law 5 – The Referee, artikel “Decisions of the Referee”).
Seburuk atau semerugikan apapun, pemain tidak diperbolehkan untuk memprotes
keputusan wasit, apalagi sampai menyerang wasit.
Di kompetisi sepak bola Indonesia, insiden penyerangan atau
penganiayaan terhadap wasit bisa dikatakan cukup sering terjadi. Jika
dirata-rata, setidaknya ada lebih dari 3 kali insiden terjadi dalam satu musim.
Wasit dipukul, ditendang, digebuk, disundul, digampar, dikepret, didorong
kesana-kemari bahkan sampai diuber-uber seperti maling pernah terjadi di kancah
sepak bola nasional. Terkait insiden yang dimaksud, sebagian orang menyalahkan
kualitas wasit dalam membuat keputusan dan memimpin pertandingan. Sebagian lagi
menyalahkan para pemain atau ofisial yang terlibat karena tidak bisa menjaga
perilakunya di depan wasit.
Saya akui memang kualitas wasit Indonesia masih sangat
kurang. Buktinya, tidak ada satupun wasit kita yang ditugaskan untuk memimpin
pertandingan level internasional seperti kualifikasi Piala Dunia atau Liga
Champions Asia. Paling banter, wasit
kita bertugas di Piala AFF. Dalam tayangan pertandingan liga lokal yang
disiarkan di televisi, saya juga sering melihat kesalahan-kesalahan wasit yang
cukup fatal sehingga mengundang tindak anarkistis dari para pemain atau ofisial
yang dirugikan. Namun bagi saya pribadi, hal tersebut tetap bukanlah sebuah
alasan bagi terjadinya tindak anarkistis terhadap wasit.
sobatbola.com |
Kedua, kurangnya kontrol dari pihak klub terhadap pelaku
tindakan anarkistis terhadap wasit baik yang dilakukan oleh pemain atau
ofisial. Klub seharusnya sadar bahwa merekalah yang membayar gaji karyawannya
yang dalam hal ini termasuk pemain dan ofisial. Klub akan merugi jika tindakan
dan perilaku karyawannya menyebabkan mereka dijatuhi hukuman. Klub yang harus
bertanggung jawab atas setiap tindakan dan perilaku yang diperbuat oleh para
karyawannya tersebut. Oleh karena itu, klub harus mampu mengingatkan para
karyawannya untuk berperilaku baik, di dalam maupun di luar lapangan. Salah
satu caranya adalah dengan menambahkan klausul pada kontrak yang berkaitan
dengan tindakan anarkistis.
Ketiga, kurangnya kontrol emosi dari para pelaku tindakan
anarkistis terhadap wasit. Para pemain dan ofisial perlu menjaga emosinya,
khususnya ketika pertandingan berlangsung. Mereka perlu menyadari bahwa
tindakan anarkistis tidak akan mengubah hasil akhir pertandingan yang
menyatakan tim yang mereka bela kalah. Bagi saya pribadi, tindakan anarkistis
tersebut justru mempertegas posisi mereka sebagai pecundang. Mereka harus tahu bahwa
tidaklah mudah menjadi seorang wasit. Tindakan anarkistis yang mereka lakukan
terhadap wasit seolah-olah mereka bisa bertugas lebih baik jika mereka ditunjuk
sebagai wasit, padahal belum tentu demikian. Mereka juga perlu menyadari bahwa
pelampiasan emosi secara anarkistis tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri
tetapi juga pihak klub.
Seharusnya setiap pemain maupun ofisial tahu jika
pertandingan yang akan mereka jalani disiarkan melalui saluran televisi baik secara
langsung maupun tunda. Dengan begitu, seharusnya mereka lebih bisa mengontrol
perilakunya, setidaknya selama pertandingan masih disiarkan. Karena setiap aksi
mereka ditonton oleh banyak orang, termasuk oleh keluarga dan kerabat dekatnya.
Keempat, kurangnya kontrol dari otoritas dan pelaksana
kompetisi dalam memberi sangsi terhadap pelaku tindakan anarkistis terhadap
wasit. Dari penjelasan gambar di atas tampak jelas bahwa aparatur dan pelaksana
kompetisi tidak berinisiatif untuk menghukum pelaku tindak anarkistis secara
tegas. Menurut saya, pelaku tindak anarkistis di lapangan sepak bola harus
diberi hukuman berat berupa denda dan larangan bermain supaya si pelaku merasa
kapok. Namun yang sudah beberapa kali terjadi di sepak bola nasional kita
adalah sebaliknya. Aparatur dan pelaksana kompetisi seolah enggan memberi
hukuman karena berbagai alasan.
Untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan bermanfaat bagi pembentukan Tim Nasional yang tangguh, butuh kinerja maksimal dari seluruh pihak. Diantara berbagai bidang yang dipekerjakan dan program yang dicanangkan, ikhwal perwasitan tidak bisa dianggap remeh. Para wasit yang ditunjuk untuk bertugas memimpin suatu pertandingan dalam suatu kompetisi hendaknya memiliki kualitas yang terjamin. Di sisi lain, klub beserta otoritas dan operator kompetisi perlu menekankan kepada para pemain dan ofisial untuk menghormati keputusan wasit dalam pertandingan. Adapun protes dan keberatan yang diajukan seharusnya melalui prosedur yang sewajarnya tanpa harus bertindak anarkistis. Makanya, perlu ada kontrol yang ketat dari pihak-pihak yang berkaitan secara langsung dalam suatu pertandingan, yang juga melibatkan pihak-pihak lain dalam menggulirkan kompetisi.
No comments:
Post a Comment