Thursday, September 20, 2012

Wasit dan Tindakan Anarkistis di Lapangan Sepak Bola

Thought terkait: Perbaikan Kualitas Wasit dan Hakim Garis di Indonesia

Coba perhatikan kedua gambar berikut

                                    Gambar 1                                                                                      Gambar 2
                               goalshighlights.com                                                                              radarsukabumi.com

Persamaan dari kedua gambar di atas adalah sama-sama mendeskripsikan tindakan anarkistis berupa penyerangan yang dilakukan oleh pemain terhadap wasit. Di sisi lain, muncul beberapa poin yang menjadi pembeda kedua gambar di atas, di antaranya: 
  1. Gambar 1 dilakukan oleh Luisao (Benfica) terhadap Christian Fischer; Gambar 2 dilakukan oleh Herman (Deltras) terhadap Novari Iksan.
  2. Gambar 1 terjadi dalam pertandingan persahabatan antara Benfica melawan Fortuna Dusseldorf pada 11 Agustus 2012; Gambar 2 terjadi dalam lanjutan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012 antara Persib melawan Deltras.
  3. Pada gambar 1, Luisao menerjang wasit untuk memprotes keputusan wasit yang menganggap Javi Garcia, rekan Luisao, melanggar pemain Fortuna; Pada gambar 2, Herman menghajar wasit karena sebelumnya wasit memberikan hadiah penalti kepada Persib setelah Herman dengan jelas melanggar pemain Persib di dalam kotak penalti.
  4. Akhir dari kejadian di gambar 1, Luisao dijatuhi hukuman larangan bermain selama 2 bulan yang berlaku secara internasional dan sejumlah denda; Akhir dari kejadian di gambar 2, Herman “dihadiahi” larangan bermain 1 pertandingan atas kartu merah yang dia terima, selang beberapa hari dia sudah bisa bermain lagi.

Dalam Law of the Game FIFA Law 12 – Fouls and Misconduct pada artikel “Showing dissent by word or action” disebutkan bahwa 
A player who is guilty of dissent by protesting (verbally or non-verbally) against a referee’s decision must be cautioned. The captain of a team has no special status or privileges under the laws of the Game but he has a degree of responsibility for the behavior of his team.” 
Jelas menurut aturan tersebut bahwa keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat oleh pemain ataupun ofisial. Adapun jika wasit diharuskan untuk mengubah suatu keputusan, perubahan tersebut didasarkan atas diskusi dan rekomendasi dengan asisten wasit (Law 5 – The Referee, artikel “Decisions of the Referee”). Seburuk atau semerugikan apapun, pemain tidak diperbolehkan untuk memprotes keputusan wasit, apalagi sampai menyerang wasit.

Di kompetisi sepak bola Indonesia, insiden penyerangan atau penganiayaan terhadap wasit bisa dikatakan cukup sering terjadi. Jika dirata-rata, setidaknya ada lebih dari 3 kali insiden terjadi dalam satu musim. Wasit dipukul, ditendang, digebuk, disundul, digampar, dikepret, didorong kesana-kemari bahkan sampai diuber-uber seperti maling pernah terjadi di kancah sepak bola nasional. Terkait insiden yang dimaksud, sebagian orang menyalahkan kualitas wasit dalam membuat keputusan dan memimpin pertandingan. Sebagian lagi menyalahkan para pemain atau ofisial yang terlibat karena tidak bisa menjaga perilakunya di depan wasit.

Saya akui memang kualitas wasit Indonesia masih sangat kurang. Buktinya, tidak ada satupun wasit kita yang ditugaskan untuk memimpin pertandingan level internasional seperti kualifikasi Piala Dunia atau Liga Champions Asia. Paling banter, wasit kita bertugas di Piala AFF. Dalam tayangan pertandingan liga lokal yang disiarkan di televisi, saya juga sering melihat kesalahan-kesalahan wasit yang cukup fatal sehingga mengundang tindak anarkistis dari para pemain atau ofisial yang dirugikan. Namun bagi saya pribadi, hal tersebut tetap bukanlah sebuah alasan bagi terjadinya tindak anarkistis terhadap wasit.

sobatbola.com
Saya beranggapan bahwa sering munculnya tindak anarkistis pemain atau ofisial terhadap wasit adalah karena kurangnya kontrol. Pertama, kurangnya kontrol dari otoritas dan pelaksana kompetisi dalam melakukan seleksi wasit. Pihak aparatur kompetisi mulai dari asosiasi sampai pelaksana perlu melakukan seleksi ketat terhadap calon wasit berdasarkan kualitas dan kecakapannya dalam memimpin pertandingan. FIFA bekerjasama dengan AFC senantiasa mengadakan kursus dan tes sertifikasi wasit secara berkala. Dalam hal ini, aparatur kompetisi sebaiknya mengirim wasit-wasit lokal untuk mengikuti kursus dan tes sertifikasi tersebut, sehingga dapat diketahui siapa-siapa saja yang pantas untuk memimpin pertandingan di kompetisi yang mereka jalankan.

Kedua, kurangnya kontrol dari pihak klub terhadap pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit baik yang dilakukan oleh pemain atau ofisial. Klub seharusnya sadar bahwa merekalah yang membayar gaji karyawannya yang dalam hal ini termasuk pemain dan ofisial. Klub akan merugi jika tindakan dan perilaku karyawannya menyebabkan mereka dijatuhi hukuman. Klub yang harus bertanggung jawab atas setiap tindakan dan perilaku yang diperbuat oleh para karyawannya tersebut. Oleh karena itu, klub harus mampu mengingatkan para karyawannya untuk berperilaku baik, di dalam maupun di luar lapangan. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan klausul pada kontrak yang berkaitan dengan tindakan anarkistis.
images.maxson1962.multiply.com
Ketiga, kurangnya kontrol emosi dari para pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit. Para pemain dan ofisial perlu menjaga emosinya, khususnya ketika pertandingan berlangsung. Mereka perlu menyadari bahwa tindakan anarkistis tidak akan mengubah hasil akhir pertandingan yang menyatakan tim yang mereka bela kalah. Bagi saya pribadi, tindakan anarkistis tersebut justru mempertegas posisi mereka sebagai pecundang. Mereka harus tahu bahwa tidaklah mudah menjadi seorang wasit. Tindakan anarkistis yang mereka lakukan terhadap wasit seolah-olah mereka bisa bertugas lebih baik jika mereka ditunjuk sebagai wasit, padahal belum tentu demikian. Mereka juga perlu menyadari bahwa pelampiasan emosi secara anarkistis tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tetapi juga pihak klub.
Seharusnya setiap pemain maupun ofisial tahu jika pertandingan yang akan mereka jalani disiarkan melalui saluran televisi baik secara langsung maupun tunda. Dengan begitu, seharusnya mereka lebih bisa mengontrol perilakunya, setidaknya selama pertandingan masih disiarkan. Karena setiap aksi mereka ditonton oleh banyak orang, termasuk oleh keluarga dan kerabat dekatnya.

Keempat, kurangnya kontrol dari otoritas dan pelaksana kompetisi dalam memberi sangsi terhadap pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit. Dari penjelasan gambar di atas tampak jelas bahwa aparatur dan pelaksana kompetisi tidak berinisiatif untuk menghukum pelaku tindak anarkistis secara tegas. Menurut saya, pelaku tindak anarkistis di lapangan sepak bola harus diberi hukuman berat berupa denda dan larangan bermain supaya si pelaku merasa kapok. Namun yang sudah beberapa kali terjadi di sepak bola nasional kita adalah sebaliknya. Aparatur dan pelaksana kompetisi seolah enggan memberi hukuman karena berbagai alasan.

Untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan bermanfaat bagi pembentukan Tim Nasional yang tangguh, butuh kinerja maksimal dari seluruh pihak. Diantara berbagai bidang yang dipekerjakan dan program yang dicanangkan, ikhwal perwasitan tidak bisa dianggap remeh. Para wasit yang ditunjuk untuk bertugas memimpin suatu pertandingan dalam suatu kompetisi hendaknya memiliki kualitas yang terjamin. Di sisi lain, klub beserta otoritas dan operator kompetisi perlu menekankan kepada para pemain dan ofisial untuk menghormati keputusan wasit dalam pertandingan. Adapun protes dan keberatan yang diajukan seharusnya melalui prosedur yang sewajarnya tanpa harus bertindak anarkistis. Makanya, perlu ada kontrol yang ketat dari pihak-pihak yang berkaitan secara langsung dalam suatu pertandingan, yang juga melibatkan pihak-pihak lain dalam menggulirkan kompetisi.

No comments:

Post a Comment