Friday, September 28, 2012

Blunder Fatal PSSI Kepengurusan Djohar Arifin Husein


www.bolasoccer.com
Dalam permainan sepak bola, ada istilah ‘blunder’ yang berarti kesalahan atau keteledoran yang dibuat oleh seorang pemain hingga tim yang dibela oleh pemain tersebut mengalami kerugian. Beberapa contoh aksi atau tindakan yang termasuk kategori blunder antara lain salah passing, salah kontrol bola, salah antisipasi, salah dribbling, dan lain sebagainya. Dalam blogpost kali ini, saya menggunakan istilah tersebut untuk memberi pandangan saya mengenai sepak terjang kepengurusan Djohar Arifin Husein dalam menjalankan mandat dari masyarakat sepak bola Indonesia untuk mengatur persepakbolaan nasional melalui PSSI.

Dalam masa jabatannya yang baru 1 tahun lebih sedikit, PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin bisa dikatakan telah membawa sepak bola Indonesia ke titik nadir. Salah satu indikatornya adalah merosotnya peringkat FIFA Indonesia ke urutan 168 (September 2012). FYI, urutan tersebut berada di bawah negara semenjana seperti Kepulauan Solomon dan Aruba. Indikator lain tentu adalah kekalahan terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan skor 0-10 dari Bahrain pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 yang terjadi pada leap day tahun ini. Menurut pandangan saya, hal-hal tersebut terjadi karena jajaran pengurus PSSI di bawah kendali Djohar Arifin terlalu banyak melakukan blunder layaknya pemain sepak bola. Namun, blunder yang dimaksud tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pemain sepak bola seperti yang dicontohkan di paragraf awal. Blunder yang dilakukan oleh pengurus PSSI versi Djohar Arifin merujuk pada keputusan dan kebijakan yang mereka keluarkan, yang ternyata justru membuat sepak bola nasional kita mengalami kemunduran.
Blunder pertama yang dilakukan oleh kepengurusan Djohar Arifin adalah pemecatan pelatih Tim Nasional (TimNas) kala itu, Alfred Riedl, dengan alasan yang kurang jelas. Kebijakan ini saya sebut sebagai blunder karena diputuskan secara sepihak dan mendadak.
andreandeoindonesian.blogspot.com
Blunder kedua adalah pencabutan mandat pelaksana kompetisi nasional dari PT. Liga Indonesia ke PT. Liga Prima Indonesia Sportindo melalui Surat Keputusan (SK) Nomor: SKEP/21/JAH/VIII/2011 yang ditandatangani oleh Djohar Arifin pada 22 Agustus 2011. Sama dengan blunder pertama, kebijakan ini saya sebut blunder karena diputuskan secara sepihak dan mendadak. PSSI melepas mandat pelaksana kompetisi dari sebuah badan yang sedang berkembang namun sudah berpengalaman dalam menggulirkan kompetisi ke badan baru yang masih sangat minim pengalaman. Dalam hal ini, PSSI kepengurusan Djohar Arifin terkesan menyalahgunakan wewenangnya dengan melanggar hasil kongres kepengurusan PSSI sebelumnya. Kebijakan ini membawa kesan bahwa PSSI kepengurusan Djohar Arifin ingin sepenuhnya menghapus jejak kepengurusan PSSI sebelumnya, sesuai dengan semangat ‘Revolusi PSSI (RevoluPSSI)’. Tidak seperti blunder sebelumnya, kebijakan yang penuh nuansa politik bisnis ini tidak bisa diterima oleh beberapa pihak yang memiliki kedekatan dengan kepengurusan PSSI sebelumnya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal dari berbagai dualisme yang terjadi berlarut-larut hingga sekarang.

Namun, yang menurut saya merupakan blunder fatal yang dilakukan oleh PSSI kepengurusan Djohar Arifin adalah kebijakan mereka yang memaksakan kompetisi musim 2011-12 diikuti oleh 24 klub dengan format 1 wilayah. Pada dasarnya, pelaksanaan kompetisi yang berisikan 24 klub peserta dengan format 1 wilayah bukanlah rencana yang mustahil. Namun rencana tersebut menurut saya tidak masuk akal jika dicanangkan pada situasi dan kondisi klub-klub sepak bola Indonesia sekarang. Dengan jumlah 24 klub, maka akan ada 552 pertandingan yang harus diselesaikan dalam 1 musim. Jika pada umumnya 1 musim berjalan selama 8 hingga 9 bulan, dan jika rencana tersebut betul-betul dijalankan, maka akan ada pemadatan jadwal yang akan menguras tenaga dan materi dari setiap klub peserta. Jika masalah tenaga masih bisa dikondisikan dan dipaksakan, lain halnya masalah materi. Setiap klub harus menjalani 23 pertandingan kandang dan 23 pertandingan tandang. Jumlah tersebut tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, terlebih untuk laga away. Belum lagi mempertimbangkan bentang geografis wilayah Indonesia yang luas. Perjalanan klub yang berdomisili di Aceh untuk bertanding di wilayah Papua tentu akan sangat membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Tidak semua klub memiliki sumber daya yang cukup untuk mengarungi kompetisi panjang seperti yang direncanakan oleh PSSI dan PT. LPIS tersebut. Meskipun ada beberapa klub yang sudah mulai melepaskan ketergantungan pada dana APBD dan mampu mandiri secara finansial, namun masih lebih banyak lagi klub yang belum mampu berbuat demikian.

bolasoccer.com
Awal pelaksanaan kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI) ini pun terkesan sangat dipaksakan. Pertandingan antara Persib melawan Semen Padang yang dilangsungkan di Stadion Si Jalak Harupat pada Oktober 2011 ditengarai dilaksanakan guna menghindari sanksi pencabutan hak berlaga di kompetisi antarklub Asia oleh AFC. Pertandingan yang menjadi partai pembuka LPI tersebut berkesudahan 1-1, dan setelah itu kompetisi mengalami vakum selama 1 bulan lebih berkenaan dengan pelaksanaan SEA Games 2011. Masa jeda tersebut digunakan oleh beberapa klub untuk menghitung-hitung kemungkinan dan konsekuensi yang akan dihadapi jika kompetisi masih berisikan 24 klub. Beberapa klub mulai meyadari bahwa pelaksanaan kompetisi dengan 24 kontestan bukanlah rencana yang masuk akal. Hal tersebut dijadikan tuntutan oleh klub-klub tersebut kepada PSSI dan PT.LPIS untuk kembali pada standar yang telah ditetapkan dalam kongres PSSI pada masa kepengurusan sebelumnya yaitu dengan jumlah 18 klub peserta. Namun hal tersebut tidak diakomodir oleh PSSI dan PT.LPIS. Hingga akhirnya klub-klub yang merasa keberatan dengan jumlah 24 klub peserta memilih untuk hengkang dan kembali kepada standar 18 klub dengan tajuk Liga Super Indonesia (LSI) yang telah berjalan selama 3 musim sebelumnya. Klub-klub yang ikut ambil bagian dalam kompetisi LSI harus menerima konsekuensi dengan dicap ‘ilegal’. Ironisnya, pelaksanaan kompetisi LSI musim 2011-12 tampak berjalan dengan lebih baik jika diukur dari beberapa indikator seperti acceptance masyarakat, pengelolaan jadwal, marketing dan promosi, dan lain sebagainya. Hal inilah yang dijadikan oleh oknum-oknum yang mengaku sebagai penyelamat sepak bola Indonesia sebagai ujung tombak mereka untuk menjegal PSSI kepengurusan Djohar Arifin.

Blunder fatal tersebutlah yang mulai memunculkan dualisme kepengurusan, dualisme kompetisi, hingga sekarang muncul dualisme TimNas. Kekisruhan akibat dualisme-dualisme tersebut mungkin tidak perlu terjadi jika PSSI kepengurusan Djohar Arifin bertindak lebih reasonable dalam menentukan kebijakan, terutama dalam hal pelaksanaan kompetisi. Namun sayangnya hal tersebut sudah sangat terlambat. Blunder fatal PSSI kepengurusan Djohar Arifin semakin terbukti dengan berkaca pada pelaksanaan kompetisi LPI yang akhirnya hanya diikuti 12 klub peserta. Muncul banyak permasalahan seperti tunggakan gaji pemain dan ofisial, keterlambatan pembayaran hadiah pada juara kompetisi, ketidakpuasan klub kontestan, dan lain sebagainya. Bayangkan jika tetap dipaksakan 24 klub. Mungkin bisa-bisa kompetisi berhenti di tengah jalan. Mungkin.

www.merdeka.com
Layaknya seorang pemain sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar Arifin telah berkali-kali melakukan blunder. Namun, jika diberi kesempatan, pemain yang melakukan blunder masih bisa bermain lebih baik dan membayar kesalahan yang telah diperbuat sebelumnya. Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar yang masih menyisakan 3 tahun masa jabatannya baru ‘bertanding’ selama 20 menit lebih sedikit. Sisa ‘pertandingan’ masih cukup panjang dan masih banyak kesempatan untuk berbenah diri dengan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai masyarakat sepak bola Indonesia yang bisa diibaratkan sebagai ‘pelatih’ terpaksa melakukan ‘pergantian’ sebelum ‘pertandingan’ berakhir.

1 comment: