Sunday, July 25, 2010

Application of Technology in Football - Is It Necessary (yet) ?

Next October, FIFA as the highest ruling body of international football, will held a conference concerning the application of technology to help the referee and the linesmen in making their decisions. Is the application necessary? Well, I personally disagree. But of course, as a footballmania, I have my own reasons

Frank Lampard’s disallowed goal when England faced Germany in the last 16 round of the 2010 FIFA WorldCup has re-raised the discourse for the use of technology in football to assist the referees in making the right decisions. The ball has crossed Manuel Neuer’s goal line for about a yard in, according to the video replay, but neither the referee Jorge Larrionda nor the linesmen Pablo Fandino saw it. And after the match was over, with 1-4 defeat of England from Germany, the pundits in England showed their dissapointment about the disallowed goal, followed by the same thing from the people of England. And they yelled out for technology to be used in football to FIFA.

Actually, Sepp Blatter, the president of FIFA, has shown his disagreement about the application of technology in football to help the referees, a couple of months ago. But after the Lampard’s incident, also with Carlos Tevez’s controversial offside goal against Mexico the night before England v Germany match, he apologized both to England and Mexico for the negligance of the referees which disadvantaged the 2 countries, and circumstancially caused them to take the early flight home. Blatter then, promised to organize a hearing about the application of technology to assist the referees next October.

Some of the football fans who are against the discourse, surfaced the question, “is it necessary?” or lesser, “is it necessary, yet?” Well, because I’m a part of that footbal fans, I also disagree with the application of technology in football to assist the referees in making decisions. But I have my own personal arguments, which are maybe mutual with any other conservative football fans like me.

There are 2 types of technology which are being planned to be applied in football, first is the video-replay playback. The application of this kind of technology simply relies on the video records of a match. In a professional football match, the television cameras are installed in the stadium to broadcast the match, live. In a high-prestige match such as the World Cup Final, or UEFA Champions League Final, there are over 30 camera spots fixed in the stadium where the match is being held, so the viewers can feel the drama and the tension from the match. Those cameras are assigned to capture the moment of action from the players in the field during the match in order to be broadcasted live to all over the world. And the records of those captures are also used to help the referees when he/she hesitates in making their decisions. That means, the referees can consult the 4th official to see the replay video of the action, where his hesitation in making decisions occurred. And after seeing the replay the referees could make a decision or change a decision he/she has made. The application of this kind of technology is already being used in American Football and Basketball.


The second is the goal-line technology. This is the type of technology which the football fans of England force to be applied, concerning Lampard’s disallowed goal. The goal-line technology requires cooperation between the match competition officials with the match ball producers. To aplly this technology, the ball that been used in a match has a chip planted in its core. The chip is the trigger for the motion cencors which are sited in both goal posts. So when the ball crossed the goal-line, the chip triggers the censors and the censors transmits the information to the 4th official or directly to the referee, informing that a goal has been scored, so the referee can validate the goal. World football has shown several contoversy concerning the “Phantom Goal”. The term refers to a goal which has been validated by the referee, although the ball hasn’t completely crossed the goal line. On the contrary, but still on the same concern, many goals had been disallowed by the referee because he/she thought that the ball hasn’t completely crossed the goal-line, eventhough the fact says the other way.



The reason why I disagree of the application of video-replay technology is because I think it is ridiculous if a football match, with its fast pace and dynamic plays, has to be stopped for the referees to consult the replay video of the action. Maybe yes, the referees could make a better and fairer decision after see the replay video, but the viewers also could loss the tension and the pace of the game, and the match would be boring to watch.

And about both types of technology, I think not every football association in the world could afford the high cost from the application of the technologies. Video-replay with camera spots and goal-line with chip planted inside the ball? Definitely expensive! Major European Leagues maybe could afford it, but how about the poorer countries? I don’t think so.

And just like any other conservative football fans, I think all the decisions that had been made by the referees are as fair as it could be. Referees are human too, and they are prone to make mistakes, they are imperfect. Besides, are we ever realized that controversy in football makes it more interseting to watch? What made England against Germany matches are intense? “Wembley Goal” incident! And what made Argentina against England matches are full of revenge? “The Hand of God Goal”!.
So, what could minimize the mistakes made by the referees beside technology? Well I think an addition of referees could be affordable and wholely applicable in every football match in the world. One referee should be posted just behind the outside goal-line, so there will be 5 referees in a match. Those additional referees will have the duty to help the main referee in determining a goal, and also judging inside-the-penalty-box incidents.

As a football fan, all I can do is hoping that the FIFA conference next October would produce the right and fair decision to football. Just like their motto, “For the good of the game”.

¡ hasta luego !
(^c^,)

Thursday, July 22, 2010

Mikrolet VS Angkot

Jakarta dan Bandung termasuk ke dalam kelompok kota besar di Indonesia. Kedua kota tersebut juga digolongkan sebagai kota metropolitan. Salah satu ciri kota metropolitan adalah tingginya kebutuhan akan alat transportasi umum, demi kelancaran dan kenyamanan penduduknya dalam melakukan perjalanan. Maka dari itu, kedua kota tersebut menyediakan salah satu jenis alat transportasi umum semi-massal yang berukuran sedang, dimana di Jakarta dikenal sebagai MIKROLET sementara di Bandung dikenal dengan sebutan ANGKOT.


Saya lebih memilih untuk bepergian menggunakan alat transportasi umum. Selain karena ketidakmampuan saya untuk memiliki mobil pribadi, dengan menggunakan angkutan umum, saya bisa lebih mengenal jalan-jalan di Jakarta dan Bandung karena rute angkutan umum yang ngalor-ngidul mengelilingi daerah-daerah yang ramai penumpang. Dengan mengikuti rute tersebut, secara tidak langsung saya bisa mempelajari jalan dan arah daerah-daerah yang dilalui oleh angkutan umum tersebut.

Sebagai mahasiswa asal Jakarta yang menuntut ilmu di Bandung, saya sudah sering merasakan bepergian dengan menggunakan jasa mikrolet dan angkot. Di Jakarta, saya sudah pernah menggunakan lebih dari 15 jurusan mikrolet di semua wilayah kotamadya Jakarta. Sementara di Bandung, saya hanya pernah menggunakan sekitar 6 atau 7 jurusan angkot. Namun pengalaman tersebut saya rasa cukup untuk bisa membandingkan kualitas pelayanan dari kedua angkutan umum tersebut melalui beberapa karakteristik.

Pertama-tama mari kita bedakan mikrolet dan angkot secara fisik. Meskipun memiliki fungsi transportasi yang identik, yakni melayani trayek pulang-pergi angkutan umum dalam kota dengan menggunakan mobil berukuran sedang atau bertipe minibus, terdapat perbedaan mendasar antara mikrolet dan angkot. Dari segi fisik, mikrolet umumnya menggunakan mobil merek Toyota Kijang berwarna biru telur asin, sementara angkot hampir semuanya menggunakan mobil merek Suzuki Carry dengan warna yang beragam, tergantung trayeknya.


Ini Mikrolet


Ini Angkot


Berdasarkan pengalaman saya menggunakan kedua angkutan umum tersebut, saya berpendapat bahwa mikrolet lebih baik daripada angkot. Dan selanjutnya saya akan mencoba memberikan sedikit pemaparan singkat tentang mengapa saya lebih enjoy naik mikrolet di Jakarta daripada angkot di Bandung, melalui 2 indikator, yakni:

1. Tanda/Patokan Pembeda Trayek

Mikrolet di Jakarta memang umumnya memiliki jenis mobil dan warna yang sama, yakni Toyota Kijang berwarna biru telur asin. Untuk membedakan trayek atau jurusannya, masing-masing mikrolet memiliki kode, yang berupa huruf dan angka. Contohnya seperti M11 untuk jurusan Tanah Abang-Kebon Jeruk, M12 untuk jurusan Senen-Kota, dan M08 untuk jurusan Tanah Abang-Kota. Rata-rata mikrolet di Jakarta juga menempelkan nama daerah jurusannya di kaca depan bagian atas mobilnya, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan trayek atau jurusan mikrolet di suatu daerah yang dilewati oleh lebih dari satu trayek. Cukup dengan melihat kodenya, atau daerah jurusannya.

Sementara angkot di Bandung, hampir semuanya menggunakan jenis mobil Suzuki Carry. Dan untuk membedakan trayek atau jurusannya, kita harus hafal warna angkot tersebut karena warna tersebut menandakan trayek atau jurusannya. Cukup banyak angkot yang tidak menempelkan nama daerah jurusannya di kaca depan bagian atas mobilnya, sehingga saya sedikit kesulitan membedakannya. Malah saya pernah melihat suatu angkot bukannya menempelkan nama daerah jurusannya, namun menempelkan tulisan “ISTRI KEDUA” di kaca depan bagian atas mobilnya. Warna angkot juga ada beberapa yang nge-jreng dan terkesan tidak matching, ada yang mengkombinasikan pink dengan hijau, atau coklat dengan merah. Di malam hari, saya sering sulit membedakan warna angkot, terlebih di wilayah yang dilewati banyak angkot dari trayek yang berbeda. Saya juga prihatin dengan para penderita buta warna yang ingin bepergian keliling Bandung dengan menggunakan angkot.


2. Oportunisitas supir

Dalam dunia angkutan umum, terdapat istilah ngetém, yang artinya menunggu penumpang sampai mobil penuh atau hampir penuh, baru jalan. Saya pribadi memiliki batas waktu sendiri jika harus naik di mikrolet atau angkot yang ngetém, yaitu 10 menit di siang hari, dan 15 menit di malam hari diatas jam 9. Jika dalam 10 atau 15 menit tidak jalan juga, saya akan keluar dan mencari mikrolet atau angkot yang lain. Namun kejadian seperti itu tidak pernah sekalipun saya alami ketika di mikrolet. Sudah ratusan kali saya menumpang mikrolet, saya tidak pernah merasakan yang namanya ngetém dengan durasi lebih dari 10 atau 15 menit. Supir mikrolet biasanya lebih rasional dan realistis, daripada menunggu lama-lama di satu tempat, lebih baik mencari penumpang sambil jalan. Menandakan bahwa supir mikrolet lebih mengenal prinsip opportunity cost.

Supir mikrolet juga lebih reasonable dalam memasukkan penumpang ke dalam mobilnya. Jika di kursi penumpang depan sudah ada 2 orang, dan di belakang sudah ada 11 orang, berdasarkan pengalaman saya, mereka tidak akan menerima penumpang lagi.

Sedangkan angkot, umumnya menambahkan satu kursi kecil di dekat pintu penumpang belakang, yang kadangkala suka mengganggu proses keluar-masuk penumpang, karena lebar pintu masuk sedikit tertutup dengan keberadaan kursi tambahan tersebut.

Juga berdasarkan pengalaman saya, waktu ngetém angkot benar-benar kebangetan. Tidak jarang saya keluar dari angkot yang sedang ngetém karena mereka tidak juga jalan setelah lebih dari 10 atau 15 menit. Supir-supir angkot sering tega membuat penumpangnya menunggu lama demi mendapatkan penumpang tambahan. Malah sering ada juga supir-supir angkot yang memberikan “harapan kosong” pada penumpangnya yang menunggu angkot tersebut ngetém dengan memasukkan gigi 1 dan maju sedikit-sedikit, dengan tujuan memberi tahu kepada calon penumpang yang mendekat ke angkot tersebut bahwa tidak lama lagi angkot akan jalan, namun kenyataannya, setelah penumpang tersebut masuk, angkot kembali berhenti dan lanjut ngetém.

Ada 2 hal yang cukup sering dilakukan oleh supir angkot, yang berdasarkan pengalaman saya, tidak pernah dilakukan oleh supir mikrolet selama saya menumpang mikrolet ketika mereka ngetém. Yang pertama adalah mematikan mesin mobil, beberapa kali saya mengalami kejadian ini, ketika angkot yang saya tumpangi sedang ngetém, sang supir mematikan mesin mobil sekalian menunggu calon penumpang lain. Hal yang paling saya benci adalah ketika si supir menyalakan mesin ketika ada calon penumpang yang mendekat, dan jika ternyata calon penumpang tersebut tidak naik ke angkotnya, ia kembali mematikan mesin mobilnya, lagi-lagi suatu bentuk “harapan kosong.” Penumpang lain yang sedang menunggu di dalam seringkali meras kesal akan perlakuan tersebut. sementara yang kedua adalah memasukkan gigi mundur, cukup sering angkot-angkot yang saya tumpangi mengarahkan persneling ke huruf R dan mundur beberapa meter hanya untuk menjemput calon penumpang. Masih mending kalau calon penumpang itu akhirnya naik, namun beberapa kali ada yang akhirnya tidak naik. Saya sangat benci jika angkot yang baru saja melintasi suatu gang kecil, setelah beberapa meter malah mundur hanya karena si supir melihat orang yang berjalan keluar gang tersebut.

Untuk masalah oportunisitas berlebihan dari supir-supir angkot ini, saya tidak tahu menahu apakah ada sistem setoran atau hal lainnya yang berbeda dengan mikrolet di Jakarta. Namun tetap saja saya sering merasa tidak nyaman diperlakukan dengan pelayanan yang ditunjukkan oleh supir-supir angkot.

Dua hal yang disebutkan diatas merupakan alasan saya mengapa saya lebih nyaman naik mikroet di Jakarta daripada naik angkot di Bandung. Perlu digarisbawahi bahwa preferensi saya kepada mikrolet ini hanya berdasarkan pengalaman saya saja, dan bukan untuk menjelek-jelekkan para pengguna setia angkot di Bandung. Boleh setuju, boleh tidak. Karena pada akhirnya, jujur saja, saya sangat terbantu dengan tersedianya mikrolet di Jakarta dan angkot di Bandung.