Friday, September 28, 2012

Blunder Fatal PSSI Kepengurusan Djohar Arifin Husein


www.bolasoccer.com
Dalam permainan sepak bola, ada istilah ‘blunder’ yang berarti kesalahan atau keteledoran yang dibuat oleh seorang pemain hingga tim yang dibela oleh pemain tersebut mengalami kerugian. Beberapa contoh aksi atau tindakan yang termasuk kategori blunder antara lain salah passing, salah kontrol bola, salah antisipasi, salah dribbling, dan lain sebagainya. Dalam blogpost kali ini, saya menggunakan istilah tersebut untuk memberi pandangan saya mengenai sepak terjang kepengurusan Djohar Arifin Husein dalam menjalankan mandat dari masyarakat sepak bola Indonesia untuk mengatur persepakbolaan nasional melalui PSSI.

Dalam masa jabatannya yang baru 1 tahun lebih sedikit, PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin bisa dikatakan telah membawa sepak bola Indonesia ke titik nadir. Salah satu indikatornya adalah merosotnya peringkat FIFA Indonesia ke urutan 168 (September 2012). FYI, urutan tersebut berada di bawah negara semenjana seperti Kepulauan Solomon dan Aruba. Indikator lain tentu adalah kekalahan terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan skor 0-10 dari Bahrain pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 yang terjadi pada leap day tahun ini. Menurut pandangan saya, hal-hal tersebut terjadi karena jajaran pengurus PSSI di bawah kendali Djohar Arifin terlalu banyak melakukan blunder layaknya pemain sepak bola. Namun, blunder yang dimaksud tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pemain sepak bola seperti yang dicontohkan di paragraf awal. Blunder yang dilakukan oleh pengurus PSSI versi Djohar Arifin merujuk pada keputusan dan kebijakan yang mereka keluarkan, yang ternyata justru membuat sepak bola nasional kita mengalami kemunduran.
Blunder pertama yang dilakukan oleh kepengurusan Djohar Arifin adalah pemecatan pelatih Tim Nasional (TimNas) kala itu, Alfred Riedl, dengan alasan yang kurang jelas. Kebijakan ini saya sebut sebagai blunder karena diputuskan secara sepihak dan mendadak.
andreandeoindonesian.blogspot.com
Blunder kedua adalah pencabutan mandat pelaksana kompetisi nasional dari PT. Liga Indonesia ke PT. Liga Prima Indonesia Sportindo melalui Surat Keputusan (SK) Nomor: SKEP/21/JAH/VIII/2011 yang ditandatangani oleh Djohar Arifin pada 22 Agustus 2011. Sama dengan blunder pertama, kebijakan ini saya sebut blunder karena diputuskan secara sepihak dan mendadak. PSSI melepas mandat pelaksana kompetisi dari sebuah badan yang sedang berkembang namun sudah berpengalaman dalam menggulirkan kompetisi ke badan baru yang masih sangat minim pengalaman. Dalam hal ini, PSSI kepengurusan Djohar Arifin terkesan menyalahgunakan wewenangnya dengan melanggar hasil kongres kepengurusan PSSI sebelumnya. Kebijakan ini membawa kesan bahwa PSSI kepengurusan Djohar Arifin ingin sepenuhnya menghapus jejak kepengurusan PSSI sebelumnya, sesuai dengan semangat ‘Revolusi PSSI (RevoluPSSI)’. Tidak seperti blunder sebelumnya, kebijakan yang penuh nuansa politik bisnis ini tidak bisa diterima oleh beberapa pihak yang memiliki kedekatan dengan kepengurusan PSSI sebelumnya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal dari berbagai dualisme yang terjadi berlarut-larut hingga sekarang.

Namun, yang menurut saya merupakan blunder fatal yang dilakukan oleh PSSI kepengurusan Djohar Arifin adalah kebijakan mereka yang memaksakan kompetisi musim 2011-12 diikuti oleh 24 klub dengan format 1 wilayah. Pada dasarnya, pelaksanaan kompetisi yang berisikan 24 klub peserta dengan format 1 wilayah bukanlah rencana yang mustahil. Namun rencana tersebut menurut saya tidak masuk akal jika dicanangkan pada situasi dan kondisi klub-klub sepak bola Indonesia sekarang. Dengan jumlah 24 klub, maka akan ada 552 pertandingan yang harus diselesaikan dalam 1 musim. Jika pada umumnya 1 musim berjalan selama 8 hingga 9 bulan, dan jika rencana tersebut betul-betul dijalankan, maka akan ada pemadatan jadwal yang akan menguras tenaga dan materi dari setiap klub peserta. Jika masalah tenaga masih bisa dikondisikan dan dipaksakan, lain halnya masalah materi. Setiap klub harus menjalani 23 pertandingan kandang dan 23 pertandingan tandang. Jumlah tersebut tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, terlebih untuk laga away. Belum lagi mempertimbangkan bentang geografis wilayah Indonesia yang luas. Perjalanan klub yang berdomisili di Aceh untuk bertanding di wilayah Papua tentu akan sangat membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Tidak semua klub memiliki sumber daya yang cukup untuk mengarungi kompetisi panjang seperti yang direncanakan oleh PSSI dan PT. LPIS tersebut. Meskipun ada beberapa klub yang sudah mulai melepaskan ketergantungan pada dana APBD dan mampu mandiri secara finansial, namun masih lebih banyak lagi klub yang belum mampu berbuat demikian.

bolasoccer.com
Awal pelaksanaan kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI) ini pun terkesan sangat dipaksakan. Pertandingan antara Persib melawan Semen Padang yang dilangsungkan di Stadion Si Jalak Harupat pada Oktober 2011 ditengarai dilaksanakan guna menghindari sanksi pencabutan hak berlaga di kompetisi antarklub Asia oleh AFC. Pertandingan yang menjadi partai pembuka LPI tersebut berkesudahan 1-1, dan setelah itu kompetisi mengalami vakum selama 1 bulan lebih berkenaan dengan pelaksanaan SEA Games 2011. Masa jeda tersebut digunakan oleh beberapa klub untuk menghitung-hitung kemungkinan dan konsekuensi yang akan dihadapi jika kompetisi masih berisikan 24 klub. Beberapa klub mulai meyadari bahwa pelaksanaan kompetisi dengan 24 kontestan bukanlah rencana yang masuk akal. Hal tersebut dijadikan tuntutan oleh klub-klub tersebut kepada PSSI dan PT.LPIS untuk kembali pada standar yang telah ditetapkan dalam kongres PSSI pada masa kepengurusan sebelumnya yaitu dengan jumlah 18 klub peserta. Namun hal tersebut tidak diakomodir oleh PSSI dan PT.LPIS. Hingga akhirnya klub-klub yang merasa keberatan dengan jumlah 24 klub peserta memilih untuk hengkang dan kembali kepada standar 18 klub dengan tajuk Liga Super Indonesia (LSI) yang telah berjalan selama 3 musim sebelumnya. Klub-klub yang ikut ambil bagian dalam kompetisi LSI harus menerima konsekuensi dengan dicap ‘ilegal’. Ironisnya, pelaksanaan kompetisi LSI musim 2011-12 tampak berjalan dengan lebih baik jika diukur dari beberapa indikator seperti acceptance masyarakat, pengelolaan jadwal, marketing dan promosi, dan lain sebagainya. Hal inilah yang dijadikan oleh oknum-oknum yang mengaku sebagai penyelamat sepak bola Indonesia sebagai ujung tombak mereka untuk menjegal PSSI kepengurusan Djohar Arifin.

Blunder fatal tersebutlah yang mulai memunculkan dualisme kepengurusan, dualisme kompetisi, hingga sekarang muncul dualisme TimNas. Kekisruhan akibat dualisme-dualisme tersebut mungkin tidak perlu terjadi jika PSSI kepengurusan Djohar Arifin bertindak lebih reasonable dalam menentukan kebijakan, terutama dalam hal pelaksanaan kompetisi. Namun sayangnya hal tersebut sudah sangat terlambat. Blunder fatal PSSI kepengurusan Djohar Arifin semakin terbukti dengan berkaca pada pelaksanaan kompetisi LPI yang akhirnya hanya diikuti 12 klub peserta. Muncul banyak permasalahan seperti tunggakan gaji pemain dan ofisial, keterlambatan pembayaran hadiah pada juara kompetisi, ketidakpuasan klub kontestan, dan lain sebagainya. Bayangkan jika tetap dipaksakan 24 klub. Mungkin bisa-bisa kompetisi berhenti di tengah jalan. Mungkin.

www.merdeka.com
Layaknya seorang pemain sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar Arifin telah berkali-kali melakukan blunder. Namun, jika diberi kesempatan, pemain yang melakukan blunder masih bisa bermain lebih baik dan membayar kesalahan yang telah diperbuat sebelumnya. Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar yang masih menyisakan 3 tahun masa jabatannya baru ‘bertanding’ selama 20 menit lebih sedikit. Sisa ‘pertandingan’ masih cukup panjang dan masih banyak kesempatan untuk berbenah diri dengan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai masyarakat sepak bola Indonesia yang bisa diibaratkan sebagai ‘pelatih’ terpaksa melakukan ‘pergantian’ sebelum ‘pertandingan’ berakhir.

Label Klub Kontestan LPI 2011-12


Kepengurusan PSSI di bawah kendali Djohar Arifin Husein banyak menuai kontroversi melalui tindakan dan kebijakan yang mereka keluarkan. Tindakan dan kebijakan tersebut yang menyulut munculnya dualisme mulai dari dualisme kompetisi, dualisme kepengurusan, hingga dualisme Tim Nasional (TimNas). Dualisme kompetisi memunculkan dua kompetisi liga yaitu Liga Primer Indonesia (LPI) sebagai liga yang sah dan diakui oleh PSSI, dan Liga Super Indonesia (LSI) sebagai liga yang dicap ‘ilegal’ karena tidak diakui oleh PSSI kepengurusan Djohar Arifin Husein. Cukup menarik untuk membahas persaingan antara ‘liga legal’ dan ‘liga ilegal’ ini.

detikpos.net
Melalui Surat Keputusan (SK) Nomor: SKEP/21/JAH/VIII/2011 yang diteken Djohar Arifin pada 22 Agustus 2011, PSSI menunjuk PT. Liga Prima Indonesia Sportindo (PT.LPIS) untuk menggulirkan kompetisi LPI menggantikan PT. Liga Indonesia (PT.LI) yang dicabut mandatnya. Menurut beberapa pihak, keputusan ini terkesan sepihak, mendadak, dan penuh nuansa politik bisnis. Selanjutnya, PSSI dan PT.LPIS mengeluarkan kebijakan bahwa kompetisi LPI musim 2011-12 akan diikuti oleh 24 klub. Oleh beberapa klub, kebijakan tersebut dianggap memberatkan baik secara tenaga maupun biaya. Klub-klub yang merasa keberatan akhirnya memisahkan diri dan memilih untuk melanjutkan kompetisi LSI. Hal ini membuat kompetisi LPI hanya diikuti oleh 12 klub.

Dari keduabelas klub peserta kompetisi LPI 2011-12 tersebut, saya menemukan fakta menarik. Jika seluruh kontestan LPI 2011-12 diberi semacam “label” maka akan ditemukan bahwasannya hanya ada 1 klub yang benar-benar mengikuti kompetisi tersebut. Sementara 11 klub sisanya adalah klub dengan “label” tertentu, yang menurut saya kurang sungguh-sungguh untuk berpartisipasi di kompetisi tersebut. Berikut penjelasannya:

Ada 12 klub kontestan LPI 2011-12. Dari 12 klub tersebut, 3 klub memiliki label “bermasalah”, yaitu Persija LPI, Arema LPI dan PSMS LPI. Ketiga klub ini juga dikenal dengan istilah “klub kloningan” oleh segelintir kalangan. Persija, Arema dan PSMS ikut serta di dua kompetisi, LPI dan LSI. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya dualisme kepengurusan di masing-masing klub, yang hingga blogpost ini dipublikasikan, masih belum jelas klub mana yang lebih berhak menyandang nama. Namun dari sisi dukungan, untuk kasus Persija, tim yang bermain di LPI tidak pernah mendapat dukungan dari kelompok supporter mereka, JakMania. Di paruh musim pertama, kelompok supporter Arema yaitu Aremania sempat bingung antara mendukung tim yang berlaga di LPI atau tim yang berlaga di LSI. Namun kebingungan dalam memberi dukungan tersebut mulai bergerak ke satu arah di paruh musim kedua, yang ditandai dengan pindahnya beberapa pemain andalan mereka dari tim LPI ke tim LSI. Sementara dari kubu PSMS, saya masih belum tahu tim yang mana yang senantiasa didukung oleh pendukung setia PSMS.


Selanjutnya, ada 3 klub yang berlabel “no way back” yaitu Persema, PSM dan Persibo. Ketiga klub tersebut pada kompetisi LSI musim 2010-11 memilih untuk cabut ke kompetisi LPI ketika kompetisi sedang berjalan. Tindakan yang menyebabkan kompetisi LSI musim tersebut hanya diikuti oleh 15 klub. Oleh pengurus PSSI waktu itu, ketiga klub tersebut dihukum dan harus berjuang di divisi rendah jika ingin kembali ke LSI. Sehingga ketiga klub ini mau-tidak-mau harus mengikuti kompetisi LPI musim 2011-12.


Selanjutnya, ada 4 klub yang saya beri label “cari aman”. Klub-klub dengan label tersebut adalah Semen Padang, Persiraja, Persijap dan Persiba (Bantul). Keempat klub tersebut seharusnya berkompetisi di LSI, di mana Semen Padang dan Persijap adalah kontestan tetap musim sebelumnya, dan Persiraja dan Persiba (Bantul) adalah tim promosi dari Divisi Utama. Namun, keempat klub ini memilih untuk “cari aman” dengan mengikuti kompetisi yang sah dan diakui oleh PSSI. Istilah yang lebih halus dari “cari aman”, mungkin adalah “menghormati kompetisi yang sah”, seperti yang disampaikan oleh manajemen Persiba (Bantul) di sini. Setelah kompetisi LPI musim 2011-12 selesai, beberapa klub yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan kompetisi tersebut merencanakan untuk “mudik” ke LSI. Di antara klub tersebut ada Semen Padang yang sedang melakukan evaluasi, dan Persijap seperti yang tertulis dalam berita di sini.

Terakhir, ada 1 klub yang saya beri label “aji mumpung”, yaitu Bontang FC. Sebetulnya, klub ini tidak jauh berbeda dengan klub “cari aman”, karena sebelumnya mereka turut serta dalam kompetisi LSI. Namun, klub ini saya sebut “aji mumpung” karena seharusnya mereka terdegradasi ke Divisi Utama untuk musim 2011-12. Kebijakan PT.LPIS dan PSSI yang mengikutsertakan 24 klub, di mana termasuk diantaranya adalah Bontang FC, merupakan  peluang bagi klub tersebut untuk kembali berada di kasta kompetisi tertinggi. Mereka lebih memilih ikut kompetisi LPI di level tertinggi daripada tetap di LSI tapi harus bermain di Divisi Utama.

Dari 12 klub peserta LPI 2011-12, jika dikurangi 11 klub berlabel di atas, hanya menyisakan 1 klub yang benar-benar, sungguh-sungguh, dan “murni” LPI, yaitu Persebaya 1927.

Correct me if I’m wrong, Persebaya 1927 yang berlaga di LPI ini berbeda dengan Persebaya yang ikut kompetisi Divisi Utama PT.LI, sehingga Persebaya 1927 tidak termasuk klub dengan label “bermasalah”. Klub ini adalah klub yang baru berdiri ketika LPI menggulirkan musim pertama di tahun 2011. Klub yang senantiasa didukung oleh Bonek ini tidak memiliki kepentingan dengan PT.LI, dengan LSI, dan dengan pengurus PSSI sebelumnya. Ketika klub-klub lama LPI yang dulu pernah kita dengar seperti Bandung F.C., Tangerang Wolves, Cendrawasih Papua, Real Mataram, dll. hilang entah kemana, Persebaya 1927 tetap mantap berdiri dan melanjutkan kiprahnya di kompetisi LPI 2011-12. Inilah satu-satunya klub yang “LPI banget”.
*Mohon maaf sebesar-besarnya jika isi dari blogpost ini menyinggung pihak-pihak tertentu

Thursday, September 20, 2012

Wasit dan Tindakan Anarkistis di Lapangan Sepak Bola

Thought terkait: Perbaikan Kualitas Wasit dan Hakim Garis di Indonesia

Coba perhatikan kedua gambar berikut

                                    Gambar 1                                                                                      Gambar 2
                               goalshighlights.com                                                                              radarsukabumi.com

Persamaan dari kedua gambar di atas adalah sama-sama mendeskripsikan tindakan anarkistis berupa penyerangan yang dilakukan oleh pemain terhadap wasit. Di sisi lain, muncul beberapa poin yang menjadi pembeda kedua gambar di atas, di antaranya: 
  1. Gambar 1 dilakukan oleh Luisao (Benfica) terhadap Christian Fischer; Gambar 2 dilakukan oleh Herman (Deltras) terhadap Novari Iksan.
  2. Gambar 1 terjadi dalam pertandingan persahabatan antara Benfica melawan Fortuna Dusseldorf pada 11 Agustus 2012; Gambar 2 terjadi dalam lanjutan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012 antara Persib melawan Deltras.
  3. Pada gambar 1, Luisao menerjang wasit untuk memprotes keputusan wasit yang menganggap Javi Garcia, rekan Luisao, melanggar pemain Fortuna; Pada gambar 2, Herman menghajar wasit karena sebelumnya wasit memberikan hadiah penalti kepada Persib setelah Herman dengan jelas melanggar pemain Persib di dalam kotak penalti.
  4. Akhir dari kejadian di gambar 1, Luisao dijatuhi hukuman larangan bermain selama 2 bulan yang berlaku secara internasional dan sejumlah denda; Akhir dari kejadian di gambar 2, Herman “dihadiahi” larangan bermain 1 pertandingan atas kartu merah yang dia terima, selang beberapa hari dia sudah bisa bermain lagi.

Dalam Law of the Game FIFA Law 12 – Fouls and Misconduct pada artikel “Showing dissent by word or action” disebutkan bahwa 
A player who is guilty of dissent by protesting (verbally or non-verbally) against a referee’s decision must be cautioned. The captain of a team has no special status or privileges under the laws of the Game but he has a degree of responsibility for the behavior of his team.” 
Jelas menurut aturan tersebut bahwa keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat oleh pemain ataupun ofisial. Adapun jika wasit diharuskan untuk mengubah suatu keputusan, perubahan tersebut didasarkan atas diskusi dan rekomendasi dengan asisten wasit (Law 5 – The Referee, artikel “Decisions of the Referee”). Seburuk atau semerugikan apapun, pemain tidak diperbolehkan untuk memprotes keputusan wasit, apalagi sampai menyerang wasit.

Di kompetisi sepak bola Indonesia, insiden penyerangan atau penganiayaan terhadap wasit bisa dikatakan cukup sering terjadi. Jika dirata-rata, setidaknya ada lebih dari 3 kali insiden terjadi dalam satu musim. Wasit dipukul, ditendang, digebuk, disundul, digampar, dikepret, didorong kesana-kemari bahkan sampai diuber-uber seperti maling pernah terjadi di kancah sepak bola nasional. Terkait insiden yang dimaksud, sebagian orang menyalahkan kualitas wasit dalam membuat keputusan dan memimpin pertandingan. Sebagian lagi menyalahkan para pemain atau ofisial yang terlibat karena tidak bisa menjaga perilakunya di depan wasit.

Saya akui memang kualitas wasit Indonesia masih sangat kurang. Buktinya, tidak ada satupun wasit kita yang ditugaskan untuk memimpin pertandingan level internasional seperti kualifikasi Piala Dunia atau Liga Champions Asia. Paling banter, wasit kita bertugas di Piala AFF. Dalam tayangan pertandingan liga lokal yang disiarkan di televisi, saya juga sering melihat kesalahan-kesalahan wasit yang cukup fatal sehingga mengundang tindak anarkistis dari para pemain atau ofisial yang dirugikan. Namun bagi saya pribadi, hal tersebut tetap bukanlah sebuah alasan bagi terjadinya tindak anarkistis terhadap wasit.

sobatbola.com
Saya beranggapan bahwa sering munculnya tindak anarkistis pemain atau ofisial terhadap wasit adalah karena kurangnya kontrol. Pertama, kurangnya kontrol dari otoritas dan pelaksana kompetisi dalam melakukan seleksi wasit. Pihak aparatur kompetisi mulai dari asosiasi sampai pelaksana perlu melakukan seleksi ketat terhadap calon wasit berdasarkan kualitas dan kecakapannya dalam memimpin pertandingan. FIFA bekerjasama dengan AFC senantiasa mengadakan kursus dan tes sertifikasi wasit secara berkala. Dalam hal ini, aparatur kompetisi sebaiknya mengirim wasit-wasit lokal untuk mengikuti kursus dan tes sertifikasi tersebut, sehingga dapat diketahui siapa-siapa saja yang pantas untuk memimpin pertandingan di kompetisi yang mereka jalankan.

Kedua, kurangnya kontrol dari pihak klub terhadap pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit baik yang dilakukan oleh pemain atau ofisial. Klub seharusnya sadar bahwa merekalah yang membayar gaji karyawannya yang dalam hal ini termasuk pemain dan ofisial. Klub akan merugi jika tindakan dan perilaku karyawannya menyebabkan mereka dijatuhi hukuman. Klub yang harus bertanggung jawab atas setiap tindakan dan perilaku yang diperbuat oleh para karyawannya tersebut. Oleh karena itu, klub harus mampu mengingatkan para karyawannya untuk berperilaku baik, di dalam maupun di luar lapangan. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan klausul pada kontrak yang berkaitan dengan tindakan anarkistis.
images.maxson1962.multiply.com
Ketiga, kurangnya kontrol emosi dari para pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit. Para pemain dan ofisial perlu menjaga emosinya, khususnya ketika pertandingan berlangsung. Mereka perlu menyadari bahwa tindakan anarkistis tidak akan mengubah hasil akhir pertandingan yang menyatakan tim yang mereka bela kalah. Bagi saya pribadi, tindakan anarkistis tersebut justru mempertegas posisi mereka sebagai pecundang. Mereka harus tahu bahwa tidaklah mudah menjadi seorang wasit. Tindakan anarkistis yang mereka lakukan terhadap wasit seolah-olah mereka bisa bertugas lebih baik jika mereka ditunjuk sebagai wasit, padahal belum tentu demikian. Mereka juga perlu menyadari bahwa pelampiasan emosi secara anarkistis tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tetapi juga pihak klub.
Seharusnya setiap pemain maupun ofisial tahu jika pertandingan yang akan mereka jalani disiarkan melalui saluran televisi baik secara langsung maupun tunda. Dengan begitu, seharusnya mereka lebih bisa mengontrol perilakunya, setidaknya selama pertandingan masih disiarkan. Karena setiap aksi mereka ditonton oleh banyak orang, termasuk oleh keluarga dan kerabat dekatnya.

Keempat, kurangnya kontrol dari otoritas dan pelaksana kompetisi dalam memberi sangsi terhadap pelaku tindakan anarkistis terhadap wasit. Dari penjelasan gambar di atas tampak jelas bahwa aparatur dan pelaksana kompetisi tidak berinisiatif untuk menghukum pelaku tindak anarkistis secara tegas. Menurut saya, pelaku tindak anarkistis di lapangan sepak bola harus diberi hukuman berat berupa denda dan larangan bermain supaya si pelaku merasa kapok. Namun yang sudah beberapa kali terjadi di sepak bola nasional kita adalah sebaliknya. Aparatur dan pelaksana kompetisi seolah enggan memberi hukuman karena berbagai alasan.

Untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan bermanfaat bagi pembentukan Tim Nasional yang tangguh, butuh kinerja maksimal dari seluruh pihak. Diantara berbagai bidang yang dipekerjakan dan program yang dicanangkan, ikhwal perwasitan tidak bisa dianggap remeh. Para wasit yang ditunjuk untuk bertugas memimpin suatu pertandingan dalam suatu kompetisi hendaknya memiliki kualitas yang terjamin. Di sisi lain, klub beserta otoritas dan operator kompetisi perlu menekankan kepada para pemain dan ofisial untuk menghormati keputusan wasit dalam pertandingan. Adapun protes dan keberatan yang diajukan seharusnya melalui prosedur yang sewajarnya tanpa harus bertindak anarkistis. Makanya, perlu ada kontrol yang ketat dari pihak-pihak yang berkaitan secara langsung dalam suatu pertandingan, yang juga melibatkan pihak-pihak lain dalam menggulirkan kompetisi.