Thursday, December 29, 2011

Sepak bola Dipolitisasi >>> Wajar!


Di tahun 2011, sepak bola Indonesia bisa dibilang sedang mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, prestasi Tim Nasional (TimNas) tidak kunjung membaik. Kekalahan TimNas U-23 dari Malaysia U-23 di ajang SEA Games serta kegagalan menembus babak 4 kualifikasi Piala Dunia 2014 bagai pil pahit bagi para pecinta sepak bola nasional. Di sisi lain, instabilitas yang terjadi di tubuh PSSI sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas sepak bola di Indonesia, semakin memperburuk situasi persepakbolaan nasional. Pergantian kekuasaan dari era Nurdin Halid ke era Djohar Arifin Husein nyatanya belum dapat membawa sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Beberapa pihak bahkan menganggap hal tersebut justru memperburuk kondisi persepakbolaan Indonesia.

Situasi ini mengundang keprihatinan dari masyarakat, khususnya para pemerhati sepak bola. Melalui tulisan yang saya baca di beberapa artikel, banyak dari mereka yang mengaku peduli akan kondisi persepakbolaan Indonesia menyerukan revolusi di tubuh PSSI. Dalam seruan tersebut, kerap muncul jargon ‘Stop Politisasi Sepak bola!’ Mereka menganggap sepak bola Indonesia sudah diselimuti awan gelap politik, kepentingan dan kekuasaan, sehingga hal tersebut berujung pada situasi silit yang sedang terjadi. Namun, betulkah bahwa yang menjadi penyebab terpuruknya persepakbolaan Indonesia dalam kurun waktu 1 tahun terakhir murni diakibatkan oleh politisasi? Apakah politisasi selalu membawa dampak buruk kepada persepakbolaan di sebuah negara?

Sepak bola dan Politik

Pada dasarnya, sepak bola dan politik merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hal ini dikarenakan kapasitas sepak bola sebagai magnet yang mampu menarik perhatian massa, terutama para penggemarnya. Kapasitas tersebut pada akhirnya membentuk jaringan kepentingan dalam sepak bola, yang bisa dieksploitasi secara politis oleh pihak yang berkepentingan, sehingga sepak bola seringkali dijadikan ‘jembatan’ menuju kekuasaan.

Politisasi dalam sepak bola dapat diejawantahkan dalam upaya meraih dan/atau melanggengkan kekuasaan. Hal ini bahkan sudah dilakukan di awal ‘kemunculan’ sepak bola di kancah dunia. Pemimpin Fasis, Benito Mussolini, menggunakan pengaruh politiknya untuk melanggengkan langkah Italia menjadi tuan rumah sekaligus juara Piala Dunia 1934 dan 1938. Tidak hanya dengan memberi ancaman kepada para pemain dan pelatih, Mussolini juga ditengarai mempengaruhi wasit yang memimpin pertandingan Italia. Di masa pemerintahan Francisco Franco, klub Real Madrid dijadikan kendaraan politik oleh El Generalissimo dengan cara melimpahkan tidak hanya pengaruh politiknya, tetapi juga materi yang ia miliki untuk menjadikan Los Blancos sebagai raja Eropa. Pada tahun 1994, Silvio Berlusconi menjabat Perdana Menteri di Italia setelah Forza Italia-nya memenangkan pemiihan umum. Kemenangan Berlusconi tidak lepas dari status kepemilikannya atas klub A.C. Milan, sehingga para penggemar klub tersebut otomatis menjadi pendukung partainya dan memilihnya dalam pemilihan. Di tahun 1998, Gerhard Schroeder diangkat menjadi Kanselir Jerman. Strategi yang ia jalankan antara lain dengan sering hadir di pertandingan klub Energie Cottbus, yang berdomisili di wilayah bekas Jerman Timur, demi mendulang dukungan pemilik hak suara kota Cottbus.


Selain itu, politisasi sepak bola juga dapat dimanifestasikan dengan tujuan menunjukkan identitas politik. Afrika Selatan mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Afrika 1996 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa politik apartheid sudah dientas dari negara tersebut. Di Spanyol, masyarakat wilayah Katalunya menjadikan klub F.C. Barcelona sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Francisco Franco. Hingga sekarang, partai bertajuk El Clasico yang mempertemukan Barcelona dengan Real Madrid, selalu dibumbui persaingan yang merujuk pada sejarah sentimental kubu marginal dengan kubu sentral. Di Italia, rivalitas antara A.C. Milan dengan F.C. Internazionale diawali ketika kelompok ekspatriat dan imigran di Milan Cricket and Football Club memutuskan untuk memisahkan diri dari klub tersebut dan membentuk klub sendiri, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap dominasi anggota asli asal Italia di klub tersebut.

Sebagai wadah di mana massa berkumpul, sepak bola mampu menjadi alat propaganda yang ampuh, baik bagi upaya meraih kekuasaan maupun sebagai ajang aktualisasi identitas politik. Contoh-contoh yang saya sebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa bahkan sepak bola dunia sudah sering ‘ditunggangi’ oleh kepentingan politik pihak tertentu. Namun, dari contoh-contoh tersebut, apakah ada negara yang persepakbolaannya terpuruk setelah ditemukan adanya indikasi politisasi? Sejauh yang saya ingat, sepak bola Italia, Spanyol, Jerman, dan bahkan Afrika Selatan, justru menjadi semakin baik. Lalu mengapa persepakbolaan Indonesia malah semakin terpuruk?

Politisasi Sepak bola di Indonesia

Mungkin beberapa dari anda ada yang lupa, bahwasannya politisasi sepak bola di Indonesia sudah berlangsung sejak berdirinya PSSI di masa kolonial. Ketika itu, PSSI didirikan atas dasar semangat perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Semenjak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, upaya perlawanan terhadap pemerintahan Belanda semakin gencar dilakukan, meskipun bukan melalui perlawanan fisik. Ketika itu, sepak bola menjadi salah satu instrumen pemersatu bangsa dalam upaya mengusir penjajah. Diprakarsai oleh Soeratin Sosrosoegondo, para pemuda berkumpul di Yogyakarta pada 19 April 1930 dan membentuk Persatoean Sepak raga Seloeroeh Indonesia. PSSI kala itu menjadi organisasi sepak bola tandingan bagi Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB) bentukan Belanda.

Seiring berjalannya waktu, politisasi dalam dunia sepak bola Indonesia semakin berkembang, namun justru ke arah yang ‘salah’. Hal ini tidak lepas dari iklim politik di Indonesia yang tidak stabil dan cenderung sensitif, terutama pasca-Reformasi. Manuver politik yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan seringkali dilakukan hanya untuk kekuasaan. Anggapan yang terbentuk dalam benak para pencari jabatan adalah ‘kekuasaan = kemakmuran’, sehingga sifat yang menonjol adalah sifat greedy. Mereka lupa bahwa kekuasaan tidak selamanya akan membawa kemakmuran, namun justru kekuasaan akan selalu dibarengi dengan tanggung jawab.

Di akhir masa jabatannya, Nurdin Halid berupaya melanggengkan kekuasaannya meski sudah menjabat selama 2 periode, terutama setelah melihat euforia masyarakat Indonesia yang meningkat tajam di ajang Piala AFF 2010 lalu. Upaya tersebut berhasil digagalkan, namun bukan berarti masalah sudah berakhir. Kepemimpinan Djohar Arifin Husein ditengarai mempolitisir kompetisi sepak bola profesional dengan mengharamkan kompetisi Liga Super Indonesia yang sudah berjalan selama 3 musim dan menghalalkan kompetisi Liga Primer Indonesia yang sebelumnya berhenti di tengah jalan, dengan berbagai macam kompleksitas yang tidak didasari atas dasar sportivitas dan profesionalitas. Politisasi yang dikerahkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan nyatanya saling berbenturan dan menimbulkan kerugian besar terhadap prestasi dan citra sepak bola Indonesia di kancah internasional. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Hal yang paling mendasar yang membedakan antara politisasi sepak bola di luar negeri dengan yang terjadi di Indonesia adalah faktor tanggung jawab. Pada contoh-contoh politisasi di luar negeri yang saya ungkapkan sebelumnya, unsur politik diterapkan di sepak bola dengan mengemban tanggung jawab kepada masyarakat regional atau nasional di negara-negara yang disebutkan. Meskipun melalui cara yang cukup ekstrim, langkah yang diambil Mussolini justru membuat dirinya semakin dihormati dan disanjung warga Italia kala itu setelah negaranya berhasil menjuarai Piala Dunia 2 kali berturut-turut. Yang dilakukan oleh Franco terhadap Real Madrid membuat dirinya semakin dicintai warga wilayah Castilla y Leon, terutama para madridistas kala itu. Sebaliknya di Indonesia, politisasi yang dilakukan selalu dilatarbelakangi atas pandangan ‘kekuasaan = kemakmuran’, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan seolah tidak peduli pada pihak yang dikorbankan.

Politisasi sepak bola yang dilakukan di luar negeri pun dilakukan dengan cara yang elegan, sehingga tidak menonjolkan sisi politisnya saja. Lihat cara Berlusconi yang menggalangkan Forza Azzuri, ketika itu, tidak hanya pendukung A.C. Milan saja yang memilih dia saat pemilihan, tapi juga fans klub-klub lain. Keberhasilan Afrika Selatan menyelenggarakan Piala Afrika 1996 juga diiringi dengan citra baru mereka di mata dunia yang jauh dari politik apartheid.

Namun, coba tengok cara yang dilakukan oleh para ‘politisi sepak bola’ di Indonesia. Dulu, yang satu menurunkan harga tiket final Piala AFF ketika mendapat ‘perintah’ dari ketua partai yang menjadikan dirinya sebagai kader, yang megorbankan para supporter TimNas. Sekarang, yang satu lagi melarang pemain-pemain yang memilih berkompetisi di liga yang ia anggap ilegal, dengan mengatasnamakan FIFA, yang nyatanya menjadi korban adalah pemain dan juga pelatih TimNas. Meminjam konsep Niccolo Macchiavelli dalam buku Il Principe, di luar negeri, politisasi sepak bola dilakukan para politisinya dengan cara menjadi fox yang cerdik atau menjadi lion yang tegas. Sementara di Indonesia, saya melihat hal tersebut dilakukan oleh disoriented donkey yang bingung arah dan tujuan, serta hanya mementingkan dirinya sendiri.

Fakta yang harus kita hadapi adalah, semakin kita mencintai, menyukai, menggemari sepak bola, maka kapasitas politik yang ada di sepak bola akan semakin kuat terbentuk. Saat itu juga, para pihak yang berkepentingan akan semakin terpancing untuk mengeksploitasi kapasitas tersebut demi tujuan yang ingin mereka capai. Tidak dapat dipungkiri, sampai kapan pun, sepak bola tidak akan lepas dari politik. Tinggal bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Yang perlu ditekankan adalah, kita harus sadar akan batasan-batasan, untuk apa kepentingan politik disematkan ke dalam sepak bola? Apakah untuk keserakahan golongan, atau untuk kemajuan bersama? Lalu, dengan cara apa kepentingan tersebut dicanangkan dalam sepak bola? Dengan cara yang elegan atau dengan cara yang menyesatkan?

Semoga tulisan ini mampu memberikan pemahaman baru kepada anda. 

Wednesday, December 14, 2011

Surat Kepada Djohar Arifin Husein

Kepada Yth.
Bapak Djohar Arifin Husein
Ketua Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) Periode 2011-2015
Di tempat,

Dengan hormat,

Tujuan saya mengirim surat ini adalah untuk menanggapi pernyataan Bapak pada Kamis, 8 Desember 2011. Di mana pernyataan tersebut berbunyi:
TMS (Transfer Matching System) pemain yang main di luar kompetisi PSSI diperintah untuk dicabut. FIFA mengingatkan kepada kami, jangan coba-coba pakai pemain nasional di luar kompetisi federasi, anda akan kami denda."
(dikutip dari Taunuzie, Iwan. Konflik PSSI. Pemain ISL Dilarang Memperkuat Timnas. Tribunnews.com, melalui http://www.tribunnews.com/2011/12/08/pemain-isl-dilarang-memperkuat-timnas . Diakses pada 13/12/2011)
Satu lagi pernyataan Bapak di hari yang sama adalah:
Kami maunya pemain yang tidak punya klub pun bisa main di timnas, tapi ini FIFA yang mengingatkan sesuai pasal 79. Bukan Djohar, bukan PSSI.

(dikutip dari Taunuzie, Iwan. Konflik PSSI. Pemain ISL Dilarang Memperkuat Timnas. Tribunnews.com, melalui http://www.tribunnews.com/2011/12/08/pemain-isl-dilarang-memperkuat-timnas . Diakses pada 13/12/2011).

Menurut pandangan saya, kedua pernyataan tersebut mencoba memberi peringatan kepada pemain-pemain lokal yang mengikuti kompetisi Liga Super Indonesia (LSI), bahwa dengan terus bermain di kompetisi tersebut, mereka tidak akan pernah bisa memperkuat Tim Nasional (TimNas) Indonesia di ajang internasional. Hal ini dikarenakan kompetisi LSI tidak diakui sebagai kompetisi resmi oleh PSSI, yang secara otomatis juga tidak diakui oleh FIFA (Fédération Internationale de Football Association), karena PSSI hanya mengakui Liga Prima Indonesia (LPI) sebagai liga resmi.

Dari kedua pernyataan tersebut saya menangkap bahwa, menurut Bapak, FIFA-lah yang melarang pemain-pemain yang berlaga di LSI untuk memperkuat TimNas.

Melalui surat ini, saya mengajak Bapak untuk mengingat kembali tentang lambang negara kita, yakni Garuda Indonesia. Lambang tersebutlah yang terpampang di bagian dada sebelah kiri para punggawa TimNas Indonesia. Di lambang tersebut, terlihat gambar burung Garuda menggenggam pakta yang bertuliskan semboyan negara kita, “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti, “Berbeda-beda namun tetap satu jua.”



Semboyan tersebut menyerukan suara persatuan di dalam diri masyarakat Indonesia, dari ujung Barat di Sabang hingga ujung Timur di Merauke, yang memang terdiri dari banyak suku, banyak budaya, banyak agama. Suara persatuan yang bertujuan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam diri insan nusantara.

Di mata sang Garuda, perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah menjadi alasan bagi rakyat Indonesia untuk tidak bersatu. Di mata sang Garuda, tiap-tiap anak bangsa yang terpilih, berhak dan wajib untuk bersatu membela negara dalam situasi dan kondisi apapun. Di mata sang Garuda, tidak ada perbedaan antara ‘liga resmi’ dan ‘liga yang tidak diakui oleh federasi’ bagi para insan sepak bola Indonesia untuk bersatu membela panji TimNas di level internasional.

Ingatlah Bapak bahwa yang terpampang di dada para punggawa TimNas adalah lambang Garuda Indonesia, bukan lambang PSSI atau lambang LPI. Ingatlah Bapak bahwa di setiap pertandingan TimNas, bendera pusaka Merah Putih-lah yang menuntun para pemain memasuki lapangan pertandingan, bukan bendera PSSI atau bendera LPI. Ingatlah Bapak bahwa lagu yang dikumandangkan sebelum TimNas bertempur menghadapi lawan dari negara lain, adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya, bukan mars PSSI atau jingle LPI. Ingatlah Bapak bahwa setiap anak bangsa yang berprofesi sebagai pesepak bola profesional ingin membawa nama Indonesia menuju kemenangan, bukan nama PSSI ataupun nama LPI!



Jika memang Bapak menganggap FIFA dengan statutanya-lah yang melarang putra-putra terbaik bangsa untuk memperkuat TimNas mengusung panji merah-putih, saya sebagai supporter TimNas Indonesia (bukan supporter PSSI, LSI ataupun LPI), meminta tolong pada Bapak untuk membuang jauh-jauh anggapan tersebut, dan sampaikan pada pihak FIFA, bahwa statuta FIFA tidak bisa dipaksakan di Indonesia. Bahwa dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, tidak ada alasan bagi siapapun untuk melarang pemain-pemain yang terpilih untuk memperkuat TimNas Indonesia di ajang internasional.



Semoga surat ini mampu menyadarkan Bapak, PSSI, juga FIFA. Meskipun mereka berasal dari suku yang berbeda, memeluk agama yang berbeda, membela klub yang berbeda, dan bermain di liga yang berbeda, para punggawa bangsa memiliki hak yang sama untuk memperkuat Tim Merah Putih, mengenakan seragam dengan lambang Garuda di dada.

Terima kasih.

Dari supporter TimNas Indonesia


Sunday, November 6, 2011

Tips Menonton Pertandingan Sepak Bola di SUGBK

Football stadiums are the life and soul of professional football – it is where football fans congregate to watch, week in and week out, the achievements and struggles of their teams.” – Jérôme Valcke, Sekretaris Jenderal FIFA.

Sebagai penggemar sepak bola yang berdomisili di Jakarta, saya sudah puluhan kali menonton pertandingan sepak bola secara langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno(SUGBK), Senayan. Sejak pengalaman pertama saya menyaksikan babak semifinal Liga Indonesia 1996-1997 hingga sekarang, saya sudah beberapa kali merasakan pahit-manis, suka-duka menonton pertandingan sepak bola di SUGBK, baik tatkala menonton laga antarklub maupun laga Tim Nasional (TimNas). Berdasarkan pengalaman tersebut, saya akan mencoba memberikan beberapa tips bagi anda yang ingin datang ke SUGBK, terutama yang ingin memberikan dukungan langsung bagi TimNas Garuda Muda di ajang South East ASEAN Games (SEA Games) tahun ini.


  • Persiapan Umum
Tiket
Pasca Piala AFF 2010, animo masyarakat untuk menonton pertandingan TimNas semakin meningkat. Hal tersebut berpengaruh pada sistem penjualan tiket pertandingan sehingga dalam beberapa bulan terakhir, Panitia Pelaksana (PanPel) memberlakukan sistem pre-sale untuk menunjang dan mencegah membludaknya pembeli tiket dengan sistem on the spot. Sebaiknya, pastikan anda telah memperoleh tiket sebelum hari pertandingan supaya anda tidak perlu repot mengantri dengan sistem on the spot di hari pertandingan.

Dalam beberapa gelaran terakhir, pihak PanPel bekerja sama dengan penyedia jasa ticket box sehingga mempermudah masyarakat untuk memperoleh tiket pre-sale karena ticket box dibuka di beberapa lokasi di Jakarta, juga dengan menyediakan layanan pembelian tiket online. Informasi penjualan tiket-pun telah disosialisasikan beberapa hari sebelum  hari pertandingan.

Bagi anda yang terpaksa beli tiket on the spot di hari pertandingan, sebaiknya anda luangkan waktu sejak pagi hari untuk mengantri demi mendapatkan tiket sisa. Pengalaman pribadi saya yang pernah mengantri sejak jam 5 pagi dan akhirnya gagal mendapatkan tiket, bisa dijadikan pelajaran. Bagi anda yang menitip rekan untuk dibelikan tiket, dihimbau untuk mengkonfirmasi tiket yang ingin anda beli. Intinya, jangan membuat repot rekan anda yang sudah lelah mengantri, yang anda titip untuk dibelikan tiket.


Sementara bagi anda yang tidak ingin repot atau tidak memiliki waktu untuk antri tiket baik saat pre-sale atau on the spot, anda bisa membeli tiket dari para calo tiket yang berkeliaran di sekitar kompleks SUGBK beberapa jam sebelum pertandingan dimulai. Namun, cara ini sangat tidak direkomendasikan. Karena selain harga tiket akan lebih mahal, membeli tiket dari calo cukup beresiko mendapat tiket palsu.


Khusus untuk pertandingan Liga, biasanya PanPel hanya memberlakukan sistem on the spot di hari pertandingan. Loket tiket yang dibuka di lokasi SUGBK terletak di beberapa titik. Saya menyarankan untuk membeli tiket di wilayah Selatan, yakni di loket sebelah Masjid Al-Bina (di seberang pintu masuk Hotel Atlet Century), atau di wilayah Utara di loket yang terletak di bagian dalam Gerbang Utara (di seberang Gedung TVRI).

Perlu diingat bahwa dukungan awal anda terhadap tim yang anda bela dimulai dengan membeli tiket resmi pertandingan.

Barang Bawaan
Usahakan barang bawaan anda seringkas dan seringan mungkin. Cukup dengan tas punggung atau tas santel kecil, pastikan barang-barang yang anda bawa dapat diawasi dengan mudah. Dihimbau untuk tidak membawa barang elektronik berharga seperti laptop, iPad, tablet dan lain sebagainya. Kamera digital kecil yang compact sudah cukup untuk mengabadikan momen dan pengalaman anda. Barang-barang penting seperti dompet, BB dan handphone sebaiknya disimpan di tempat yang mudah diawasi. Jangan membawa barang-barang berbahaya yang dilarang seperti benda tajam, petasan dan sejenisnya. Tujuan kita datang ke stadion adalah untuk menyaksikan dan menikmati pertandingan, serta memberi dukungan yang positif kepada tim yang kita bela. Bukan untuk memantik atau terlibat dalam tindakan anarkis.

Untuk pertandingan TimNas, sebaiknya anda kenakan atribut yang bernuansa TimNas Indonesia atau setidaknya memiliki unsur Indonesia-nya. Buang jauh-jauh fanatisme kedaerahan atau fanatisme lain yang tidak berhubungan dengan Indonesia. Menonton pertandingan TimNas di SUGBK dengan mengenakan seragam Manchester United, Liverpool, Bayern Munchen atau tim lain, saya anggap sebagai tindakan yang “tidak pada tempatnya” (no offense).

Sementara untuk pertandingan Liga, karena dalam beberapa musim belakangan SUGBK mejadi home base bagi Persija Jakarta, sebaiknya kenakan atribut yang bernuansa Persija atau DKI Jakarta. Sementara bagi supporter tim lain, dianjurkan untuk tidak mengenakan atribut tim-nya selama berada di sekitar kompleks SUGBK demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kecuali ketika berada dalam tribun stadion, dengan kewaspadaan tinggi, tentunya.

Perihal makanan, disarankan untuk tidak membeli dari pedagang asongan di dalam tribun. Karena selain harganya yang cenderung lebih mahal, kebersihan barang dagangannya juga tidak terjamin. Bawalah sendiri makanan ringan yang sederhana dengan porsi yang cukup. Untuk minuman, disarankan untuk membawa minuman ringan dalam kemasan kotak atau pouch, untuk menghindari peraturan ‘semu’ yang melarang membawa botol ke area tribun.

  • Hari Pertandingan
Estimasikan waktu kedatangan anda ke SUGBK setidaknya 1 jam sebelum pertandingan dimulai. Jangka waktu 1 jam bisa digunakan untuk berkumpul dengan rekan-rekan bagi anda yang berencana menonton bersama, serta untuk mengantisipasi antrian masuk ke tribun yang panjang menjelang pertandingan dimulai. Bagi yang hendak menonton bersama rekan-rekan yang datang secara terpisah, tentukanlah waktu dan lokasi pertemuan terlebih dahulu. Lokasi pertemuan sebaiknya yang memiliki patokan yang jelas dan yang mudah diketahui seperti patung pemanah di Gerbang Barat atau Masjid Al-Bina. Disarankan juga untuk menentukan lokasi pertemuan yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk tribun yang tertera di tiket. Biasanya, denah pintu masuk stadion dicetak di tiket yang bisa membantu anda menentukan lokasi pertemuan. Pastikan juga anda masuk ke area tribun melalui pintu masuk yang sesuai dengan yang tertera di tiket yang anda beli.

Perlu diingat bahwa arus komunikasi melalui handphone acapkali mengalami gangguan ketika stadion mulai ramai. Jadi, bagi anda yang hendak menonton bersama, sebaiknya jangan membuat rekan anda yang lain menunggu lama.

Transportasi
Berdasarkan pengalaman pribadi, alat transportasi yang paling reliable untuk datang ke SUGBK pada hari pertandingan adalah sepeda motor. Kemampuan sepeda motor untuk menembus kemacetan Jakarta mampu diandalkan sehingga para pengendaranya akan relatif lebih cepat sampai di SUGBK. Bagi yang membawa kendaraan roda empat, sebaiknya perhitungkan jarak tempuh dari tempat anda berangkat sampai ke SUGBK dengan mempertimbangkan kemacetan di hari pertandingan. Hal tersebut juga berlaku bagi anda yang menggunakan sarana transportasi umum.

Yang membawa kendaraan pribadi, khususnya kendaraan beroda empat, disarankan untuk tidak memarkir kendaraan anda di dalam kompleks SUGBK. Karena selain adanya resiko tarif parkir tambahan dari petugas parkir unofficial, anda juga akan dengan mudah terjebak kemacetan pasca pertandingan ketika hendak pulang. Meskipun jaraknya cukup jauh, sebaiknya anda memarkir mobil anda di tempat yang keamanannya lebih terjamin dan sesuai dengan tarif parkirnya seperti di Hotel Mulia, Hotel Atlet Century, Gedung TVRI, atau Plaza Senayan. Sementara bagi yang membawa sepeda motor, demi keamanan yang lebih terjamin, anda bisa memarkir motor anda di lokasi-lokasi seperti yang telah disarankan sebelumnya bagi pengendara mobil. Namun, jika anda ingin memarkir motor anda di dalam kompleks SUGBK, disarankan untuk membawa alat pengaman tambahan demi keamanan motor anda. Lokasi parkir motor di dalam kompleks SUGBK yang saya sarankan adalah di kantor Ikatan Motor Indonesia (IMI) di wilayah Selatan, dekat Tenis Indoor.

Bagi anda yang menggunakan sarana transportasi umum, disarankan untuk meningkatkan kewaspadaan anda demi keamanan pribadi, terutama ketika anda harus berdesakan dengan penumpang lain saat perjalanan menuju ke dan pulang dari SUGBK. Estimasikan juga waktu perjalanan anda baik menuju ke atau pulang dari SUGBK, karena kemungkinan besar akan terjadi kemacetan di waktu-waktu tersebut.



Di Dalam Tribun
Sebaiknya anda sudah berada di dalam tribun sekitar 30 menit sebelum pertandingan dimulai. Carilah kursi kosong yang memiliki sudut pandang yang baik ke arah lapangan pertandingan demi kenyamanan anda. Khusus bagi yang membeli tiket tribun atas, sebaiknya anda sudah masuk ke area tribun lebih awal lagi karena lokasi duduk di tribun atas ditentukan dengan sistem ‘siapa cepat dia dapat’. Bagi yang membeli tiket untuk tribun bawah, sebaiknya anda duduk di kursi yang terletak tepat di bawah tribun atas demi menghindari lemparan-lemparan yang dilakukan oleh oknum supporter tak bertanggung jawab dari tribun atas.

Untuk pertandingan Liga, dianjurkan untuk duduk di tribun supporter-nya masing-masing, khususnya bagi supporter tim lawan Persija Jakarta, demi menghindari gesekan antar-supporter.

Bagi yang ingin ke toilet, sebaiknya siapkan uang Rp 1000, untuk penjaga toilet yang selalu  setia menunggu.

Etika Menonton
Bagi saya, ketika saya memutuskan untuk menonton pertandingan secara langsung di stadion, saya memiliki hak dan kewajiban. Haknya adalah untuk menyaksikan dan menikmati jalannya pertandingan secara langsung dengan pengalaman tersendiri yang dihadirkan oleh atmosfer stadion. Di sisi lain, saya ‘memiliki’ kewajiban untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada tim yang saya bela, baik dalam kondisi unggul atau sedang tertinggal. Kecuali keamanan jiwa saya benar-benar terancam, tidak ada alasan lain untuk meninggalkan tribun sebelum peluit panjang dibunyikan, terlebih ketika tim yang saya bela sedang kalah.

Hormatilah penonton lain dengan tidak mengganggu kenyamanan mereka dalam menonton pertandingan.

Hormati juga tim dan supporter lawan. Khusus bagi pertandingan TimNas (antar-negara), anggaplah tim dan supporter lawan sebagai ‘tamu’ yang harus dijamu. Ketika lagu kebangsaan mereka dikumandangkan, hormatilah. Sejauh yang saya ketahui, ketika TimNas Indonesia bertanding di kandang lawan, tidak pernah ada kasus pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya dari supporter tim tuan rumah. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk melecehkan lagu kebangsaan tim lawan yang bertandang ke SUGBK.




Bagi supporter TimNas Indonesia, ingatlah bahwa reffrain lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah 2 kali. Jadi, jangan dulu berteriak-bertepuk tangan setelah reffrain “..Hiduplah Indonesia Raya..” yang pertama.

  

Jika sepak bola adalah ‘Bahasa Universal’ yang menghapus sekat ideologi politik, kelas sosial-ekonomi, ras, gender, suku dan agama, maka stadion sepak bola adalah tempat berlangsungnya ‘Bahasa Universal’ yang dimaksud. Anda-anda yang datang ke stadion adalah anda-anda yang memiliki kesamaan persepsi dan kegemaran terkait hal-hal yang berhubungan dengan sepak bola. Menonton di stadion tentu memberikan pengalaman yang berbeda dengan menonton melalui layar kaca, maka rasakanlah pengalaman tersebut semaksimal mungkin, dan share pengalaman tersebut dengan penonton lain. Berikanlah dukungan yang positif kepada tim yang anda bela. Nyanyikanlah yel-yel, ikutlah terlibat dalam koreografi massal, mulailah obrolan ringan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan sepak bola dengan penonton lain ketika jeda pertandingan, nikmatilah pertandingan tanpa harus terbawa emosi negatif.

  • Pasca-Pertandingan
Ketika peluit panjang dibunyikan, apapun hasilnya, berikanlah applause sebagai bentuk apresiasi kepada para pemain yang telah bertanding, kepada pertandingan itu sendiri, juga kepada para supporter lain yang sudah memberikan dukungan penuh.
Kecuali ada hal penting lainnya, sebaiknya anda jangan terburu-buru untuk keluar dari area tribun untuk menghindari desak-desakan dengan penonton lain di pintu keluar/masuk tribun. Nikmatilah sejenak panorama stadion dengan mengabadikan gambar anda dengan latar belakang lapangan hijau. Ketika jumlah penonton yang hendak keluar area tribun semakin berkurang, itulah saat yang tepat bagi anda untuk keluar.
-------------

Sekian tips yang bisa saya berikan. Semoga bisa membawa manfaat bagi anda semua.
Dan semoga TimNas Garuda Muda mampu meraih medali emas di ajang SEA Games tahun ini,, 
di SUGBK.


MAJU TERUS SEPAK BOLA INDONESIA!!

Saturday, October 15, 2011

Kelirumologi: Populasi dan Prestasi

Sudah lama Tim Nasional (TimNas) sepak bola Indonesia mendambakan prestasi di tingkat internasional. Sejak tahun 1991, di mana TimNas berhasil merebut medali emas di ajang SEA Games Manila, praktis tidak ada lagi gelar prestisius di tingkat internasional. Gelar Piala Kemerdekaan 2008 bagi saya pribadi (dan mungkin bagi beberapa dari anda) tidak saya anggap sebagai “gelar prestisius” karena memang selain ajang tersebut hanya ajang invitational, kemenangan TimNas di final pun diraih lewat walk out dari kubu Libya.


Dahaga prestasi ini mengundang komentar dari masyarakat selaku pihak yang dianggap sebagai “pemilik” TimNas Indonesia, khususnya para pecinta bola. Tiap kali TimNas berpartisipasi di ajang internasional seperti SEA Games, Piala AFF, Piala Asia, atau ajang lainnya, masyarakat berhak menyuarakan pendapatnya atas capaian TimNas di ajang-ajang tersebut. Tanggapan masyarakat atas prestasi nir-gelar yang dicapai oleh TimNas dalam beberapa tahun terakhir ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif selalu bersikap optimistis bahwa kelak TimNas akan meraih prestasi dengan selalu semangat memberikan dukungan penuh. Sementara yang negatif selalu mencari-cari kambing hitam atas kegagalan TimNas meraih gelar.

Dalam posting ini, saya akan fokus kepada tanggapan negatif masyarakat terhadap prestasi TimNas dalam beberapa tahun belakangan, yang saya lihat baik melalui media massa atau dalam pergaulan saya sehari-hari. Seperti yang sudah disebut sebelumnya, orang-orang yang berpikir negatif atas prestasi TimNas, selalu mencari pihak yang dapat disalahkan. Pihak yang dimaksud bisa berasal dari internal TimNas itu sendiri seperti pelatih, pemain, atau pengurus yang dalam hal ini berarti Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Bisa juga dari luar TimNas seperti wasit, permainan tim lawan, atau perlakuan suporter tim lawan.

Lalu, ada satu komentar dari seorang selebritis tanah air, yang saya dengar di acara infotainment, yang kurang lebih seperti ini:

yaaa kecewa juga ya,, udah lama kita ga berprestasi di level internasional,, padahal penduduk kita kan banyak.. dari 230juta-an orang Indonesia, kayaknya susah banget nyari 11 orang yang bisa main bola dengan baik.. coba bandingin sama Belanda. Luas negaranya ga segede Pulau Jawa, penduduknya juga paling cuma 15juta-an.. tapi mereka bisa jadi finalis Piala Dunia..

Komentar si selebritis ini menarik perhatian saya, karena bagi saya, komentar tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan KELIRU! Fakta memang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 lalu berkisar 230juta jiwa sementara Belanda hanya berskisar 16juta jiwa. Luas wilayah geografis Indonesia pun jauh lebih luas dibandingkan Belanda. Namun hal tersebut bukanlah jaminan bagi datangnya prestasi di bidang olah raga, khususnya sepak bola.

Bagi saya, si seleb tadi menganggap setiap individu dari 230juta-an penduduk Indonesia bisa bermain bola, hanya belum ada yang bisa bermain bola dengan baik. Dia tidak memperhitungkan kelompok individu yang secara usia, kesehatan jasmani-rohani, atau (tanpa bermaksud mendiskriminasi) gender, tidak mampu bermain bola. Dia juga menggeneralisasikan tiap 230juta-an penduduk Indonesia berprofesi sebagai pesepakbola profesional yang bisa bermain bagi TimNas.

Dia bilang, “..dari 230juta-an orang Indonesia, kayaknya susah banget nyari 11 orang yang bisa main bola dengan baik..”. Dalam konteks Sumber Daya Manusia, semakin banyak anggota dalam suatu kelompok spesifik, akan semakin sulit untuk mengambil orang-orang unggul dari kelompok tersebut. Intinya, tanpa ada proses pembinaan dan kaderisasi yang terstruktur, ya memang susah banget untuk mendapatkan pemain-pemain bertalenta untuk bermain bagi TimNas. Jadi, yang lebih tidak keliru adalah bahwa yang seharusnya disalahkan yaitu kurang baiknya proses pembinaan dan kaderisasi yang ditangani oleh para stakeholder persepakbolaan nasional kita, karena mereka belum mampu memaksimalisasi potensi berlimpah yang disediakan oleh populasi kita, bukan populasi-nya!

Fakta di negara lain bisa dijadikan landasan bagi argumen saya. Republik Rakyat China, dengan populasi lebih dari 1 milyar jiwa, baru sekali lolos ke putaran final Piala Dunia. Itupun mereka jadi bulan-bulanan Brazil, Turki, dan Kosta Rika. Di level Asia pun TimNas mereka juga sudah cukup lama tidak meraih prestasi membanggakan. Bahkan India yang jumlah penduduknya terbanyak nomer 2 di dunia pun tidak pernah lolos ke putaran final Piala Dunia. Kalo emang populasi menentukan prestasi, ya seharusnya RRC dan India udah jadi juara dunia dong..

Mungkin komentar si seleb tadi hanya merupakan emosi sesaat, jadi wajar kalo komentarnya tidak memiliki landasan yang kuat.. mungkin,,

:D

Wednesday, September 21, 2011

Lebih Nyata, Lebih Dekat, Lebih Nikmat: Fenomena Tribun Stadion Sepak Bola di Indonesia


Sebagian orang beranggapan menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion sama saja dengan buang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Anggapan tersebut benar adanya. Menyaksikan pertandingan melalui layar kaca, baik di rumah atau di lokasi-lokasi nonton bareng tentunya lebih hemat biaya. Juga, lebih banyak waktu yang dikorbankan dan lebih banyak tenaga yang dikeluarkan jika harus datang ke stadion. Muncul pertanyaan, mengapa setiap kali ada pertandingan sepak bola, baik di level liga atau level antar-negara, stadion tempat berlangsungnya pertandingan acapkali tampak penuh? Apakah mereka yang datang ke stadion memiliki anggapan yang berbeda dengan sebagian orang yang dijelaskan di 4 kalimat awal paragraf?

Pada dasarnya, menonton sepak bola langsung di stadion bisa disamakan dan diperbandingkan dengan menonton konser musik. Jika kita bisa mendengarkan lagu melalui radio, iPod, MP3, atau teknologi pemutar musik lainnya, lalu mengapa konser musik sering dihadiri banyak penonton? Pertanyaan tersebut memiliki persamaan dengan pertanyaan pertama yang dijabarkan di paragraf sebelumnya. Apa yang dimiliki oleh stadion sepak bola dan konser musik, yang “dibeli” oleh para attendance-nya?




Olah raga dan musik zaman sekarang adalah bagian dari industri besar berbasis bisnis hiburan (entertainment business). Keduanya memiliki komoditi dan konsumennya masing-masing. Bagaimana cara para pelakunya untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah dengan cara “menjual” apa yang mereka punya, yaitu keahlian dan kiat. Kedua hal tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi konsumen industri hiburan. Pada dasarnya, keahlian dan kiat-kiat yang dimiliki oleh para pelaku dunia olah raga dan musik dikemas dan “dijual” kepada para konsumennya dalam bentuk jasa (service). Mereka “menjual” keahlian dan kiat-kiat yang mereka miliki guna memberikan kepuasan batiniah (terkadang juga lahiriah) kepada siapa saja yang menikmatinya. Namun seiring berkembangnya industri hiburan, jasa (service) yang diberikan mulai diiringi dengan satu komoditi lain, yaitu pengalaman (experience).


Selain service, yang didapat oleh mereka yang datang ke stadion dan yang datang ke konser musik adalah experience. Tidak seperti menonton pertandingan melalui televisi atau mendengarkan rekaman lagu dari alat pemutar lagu, dengan datang ke stadion atau konser musik mereka dapat merasakan dan menikmati service secara nyata dan langsung. Hal tersebut tentu memberikan pengalaman dan kepuasan tersendiri. Karena pada dasarnya, experience adalah “produk” yang berbeda dengan service, experience harus mampu memberikan penawaran yang bisa melekat dalam benak para konsumennya untuk waktu yang lama sehingga mereka akan merasa puas ketika mengingat-ingat pengalaman yang mereka rasakan ketika menikmati hiburan secara nyata dan langsung. Untuk itu, para pelaku industri olah raga dan musik harus mampu memberikan suatu sensasi yang berbeda bagi konsumennya yang ingin menikmati performance mereka secara langsung. Untuk merasakan sensasi tersebut, dibutuhkan juga partisipasi aktif dari para konsumennya. Apa bedanya dengan menonton di televisi atau mendengar lewat alat pemutar lagu jika kita hanya menikmati pertandingan di stadion atau panggung secara pasif tanpa turut berpartisipasi dalam kegiatan khas tribun stadion atau festival panggung seperti koreografi massal atau teriakkan yel-yel dan nyanyian? Dibutuhkan keahlian dan kiat-kiat khusus dari para aktor sepak bola dan musik untuk dapat mempersonalisasikan secara dinamis setiap kejadian baik di atas lapangan maupun di atas panggung, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemauan, serta karakteristik sikap para konsumennya yang sedang menikmati pertunjukan mereka secara langsung. Dalam hal ini, tekanan pada pemain sepak bola akan lebih besar karena mereka harus concern pada aspek estetik, atletik, dan kompetitif dalam performance mereka, sementara para musisi cukup dengan fokus pada aspek estetik.

Kembali ke bahasan khusus mengenai sepak bola, ada hal lain yang mendorong orang untuk datang ke stadion untuk menonton pertandingan secara langsung selain untuk mendapatkan experience. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecintaan seorang penggemar sepak bola terhadap tim yang dibelanya. Seperti yang telah dijabarkan di paragraf pembuka, menonton di stadion membutuhkan pengorbanan lebih dalam hal waktu, biaya, dan tenaga. Mereka yang rela mengorbankan hal-hal tersebut untuk bisa datang ke stadion dan memberikan dukungan secara langsung, mengindikasikan rasa simpati mereka yang dalam terhadap tim yang mereka bela. Tingkat pengidentifikasian diri mereka ke dalam tim yang mereka dukung telah memunculkan sense of belonging yang begitu kuat sehingga mereka rela mengeluarkan lebih banyak biaya dan tenaga, serta meluangkan lebih banyak waktu demi mendapatkan kesempatan untuk bisa memberikan dukungan secara langsung.

Pada praktiknya, service yang diberikan kepada para penonton di stadion tidak hanya “disediakan” dari pertandingan yang mereka saksikan, tetapi juga dari stadion itu sendiri. Service dari stadion antara lain penyediaan sarana dan prasarana untuk memfasilitasi orang-orang yang datang. Berdasarkan pengalaman pribadi, sarana dan prasarana yang ada di stadion-stadion di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan stadion-stadion di luar negeri seperti di kawasan Asia Timur dan Eropa. Hal ini tentunya berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan, yang pada akhirnya cukup berpengaruh pada preferensi seseorang untuk datang ke stadion di Indonesia.


Juga dilihat dari segi prestasi, sepak bola Indonesia sudah cukup lama mendambakan raihan gelar prestisius untuk setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Terakhir kali Tim Nasional (TimNas) Indonesia berjaya di ajang antar-negara adalah di South East Asian Games 1991 di Manila dengan merebut medali emas. Lebih dari 2 dekade berlalu, prestasi tak kunjung datang. Yang ada, Tim Garuda hanya menjadi tim yang “hampir juara” dengan beberapa kali menjadi runner-up di berbagai cabang.


Namun rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh stadion-stadion di Indonesia, serta prestasi yang seakan-akan semakin menjauh dari genggaman, tidak menurunkan antusiasme masyarakat Indonesia untuk datang ke stadion, menonton langsung pertandingan-pertandingan level liga ataupun laga TimNas. Hal ini menunjukkan bahwa sepak bola, bagaimanapun juga adalah dagangan experience yang ajaib. Konsumen sepak bola pada dasarnya membeli experience, sebuah pengalaman. Sering kali mereka tidak tahu alasannya secara rasional, namun bisa merasakannya secara emosional bahkan sampai ke spiritual. Maka dari itu, meski kalau ditelaah secara rasional kualitas sepak bola kita tidak begitu menawan, stadion tetap ramai.

¡Hasta luego!

Sumber:
Darwin, Waizly. 2011. “Branding the (League) Experience, Experiencing the (Club) Brand”. Marketeers, March 2011.

Dolles, Harald and Sten Söderman. 2005. Globalization of Sports - The Case of Professional Football and its International Management Challenges. Tokyo: German Institute for Japanese Studies.

Fisher, R.J., and K. Wakefield. 1998. “Factors leading to group identification: a field study of winners and losers”. Psychology and Marketing, Vol. 15, No. 1, pp. 23-40.

Pine II, B.J., and J.H. Gilmore. 1999. The Experience Economy. Boston, MASS: Harvard Business School Press.

Wednesday, September 14, 2011

Bola Mati Yang Mematikan


Ada banyak pemain hebat di dunia sepak bola. Namun tidak semua dari pemain-pemain tersebut yang memiliki kemampuan khusus untuk mengeksekusi bola mati dengan baik. Pada kenyataannya, tendangan bebas mampu meningkatkan peluang terciptanya gol bagi tim yang mendapatkannya, terlebih jika tendangan bebas didapat di sekitar kotak penalti lawan. Untuk itu, akan lebih baik jika tim tersebut memiliki spesialis bola mati yang mumpuni.

Teknik mengeksekusi bola mati bukanlah teknik yang diperoleh secara alami, namun didapat melalui latihan secara intensif demi meningkatkan presisi dan akurasi. Konon, spesialis tendangan bebas seperti Cristiano Ronaldo dan Shunsuke Nakamura selalu melatih teknik eksekusi bola mati-nya selama kurang lebih 30 menit seusai latihan resmi bersama timnya selesai. Jika dalam seminggu mereka berlatih 5 kali, berarti dalam seminggu mereka khusus berlatih tendangan bebas selama kurang lebih 2,5 jam. Ketika Ajax Amsterdam dilatih oleh Ronald Koeman (yang ketika masih aktif bermain juga dikenal sebagai eksekutor bola mati yang handal), ia memberikan porsi khusus bagi Wesley Sneijder, Cristian Chivu dan Rafael van der Vaart untuk membagi ‘jurus-jurus’ tendangan bebas kepada anak asuhnya. Sekarang, Sneijder dan van der Vaart masuk kategori spesialis bola mati. Latihan tendangan bebas juga mampu mengasah mental si pemain sehingga pada pertandingan sesungguhnya ia mampu mengatasi tekanan dan dapat dengan cepat membaca dan menguasai situasi untuk bisa mempraktikkan teknik tendangan bebasnya dengan baik.





Tendangan bebas yang ditembak langsung ke gawang bisa dilakukan dengan beberapa metode dan teknik. Bergantung pada bagaimana cara bola melewati pagar betis tim lawan, tendangan bebas bisa dieksekusi dengan metode over the wall, around the wall, under the wall (seperti yang pernah dilakukan oleh Ronaldinho ketika masih membela Barcelona di Liga Champion 2006/2007 melawan Werder Bremen), atau bahkan bounce it onto the wall. Sementara teknik yang dipakai antara lain cannon, swerve, drive atau knuckle.

Teknik cannon adalah teknik yang sering dipraktekkan oleh Roberto Carlos, yakni dengan menendang bola sekeras mungkin dengan menggunakan bagian kura-kura kaki atau kaki bagian luar. Teknik ini identik dengan sebutan net-buster karena menekankan pada kekuatan tendangan yang menghasilkan luncuran bola berkecepatan tinggi, baik yang mengudara atau yang menyusur tanah. Pemain yang menguasai teknik ini umumnya membutuhkan bantuan beberapa rekannya ketika hendak mengeksekusi tendangan bebas, untuk menggeser titik lokasi bola demi menghindari arah lintasan bola dari pagar betis yang disusun tim lawan.

Teknik swerve identik dengan sebutan ‘tendangan pisang’, yang berarti bola yang ditendang membentuk arah luncuran melengkung seperti buah pisang. Arah melengkung dihasilkan dari efek rotasi yang diberikan pada bola yang ditendang dengan teknik khusus, sehingga bola berputar ke arah samping kanan/kiri ketika berada di udara dan berbelok ke arah putaran. Jika dibahas dari sudut pandang ilmu fisika, teknik swerve ini terlihat sulit, namun pada prakteknya, pemain seperti David Beckham, Francisco Arce, Nakamura dan Alvaro Recoba dapat melakukannya dengan mudah dan indah. Teknik ini menjadi ide pokok bagi judul film ‘Bend It Like Beckham’. Teknik swerve umumnya dilakukan dengan menendang menggunakan ujung kaki bagian dalam, dengan cara ‘memelintir’ bola sehingga bola akan berotasi. Namun bisa juga dilakukan dengan menggunakan kaki bagian luar untuk ‘memelintir’ bola, yang tekniknya dikenal dengan sebutan trivela. Teknik trivela sering dipraktekkan oleh Ricardo Quaresma dan Mesut Özil. Teknik swerve yang dilakukan dengan cara trivela dapat menghasilkan swerving cannon ball seperti yang dilakukan oleh Roberto Carlos ke gawang Perancis di ajang Tournoi de France 1997.


Drive atau knuckle merupakan teknik yang dipopulerkan oleh Juninho Pernambucano. Tidak seperti teknik swerve yang mengandalkan rotasi atau perputaran bola, teknik drive/knuckle justru meminimalisasi atau sama sekali tidak membutuhkan rotasi bola dan lebih memanfaatkan angin atau udara yang bergerak. Tendangan dilakukan dengan menggunakan pangkal tiga jari terdalam dari kaki yang menendang, sehingga ada yang menyebut teknik in sebagai ‘three fingers free-kick’. Bola ditendang di titik tertentu sehingga ketika mengudara, bola secara tiba-tiba bisa berubah arah. Rahasia tendangan bebas yang biasa dilakukan oleh Juninho adalah menendang bagian lubang udara bola, yang sebelumnya sudah ditempatkan di posisi yang tepat dan pas ketika ia menaruh bola sebelum mengambil tendangan bebas. Dengan teknik ini, ketika bola ditendang, udara yang terkandung dalam bola akan mengalami pergerakan yang tidak beraturan. Dengan tidak adanya rotasi pada bola, tekanan udara di sekitar bola ketika bola mengudara juga menjadi tidak beraturan sehingga arah bola akan semakin sulit ditebak oleh kiper. Istilah drive digunakan jika bola yang ditendang dengan menggunakan teknik ini sedang mengudara tiba-tiba menukik jatuh ke bawah, sementara istilah knuckle digunakan ketika bola yang sedang mengudara berubah arah ke samping kiri dan kanan. Dengan teknik ini, Juninho beberapa kali mencetak gol dari tendangan bebas yang berjarak lebih dari 40 meter dari gawang lawan. Beberapa spesialis tendangan bebas di Liga-Liga Eropa mengadopsi teknik ini. Pemain-pemain tersebut antara lain Cristiano Ronaldo, Andrea Pirlo, Allesandro Del Piero, dan Keisuke Honda.



Tidak
jarang gol yang dicetak dari tendangan bebas langsung menjadi penentu prestasi atau kemenangan suatu tim. Tim Inggris sudah beberapa kali diuntungkan oleh gol tendangan bebas David Beckham, seperti ketika menjadi penentu langkah mereka ke Piala Dunia 2002 di mana tendangan pisang Beckham menembus gawang Yunani di pertandingan terakhir kualifikasi zona Eropa, atau ketika menjadi penentu kemenangan Inggris atas Kolombia di Piala Dunia 1998 dan atas Ekuador di perdelapanfinal Piala Dunia 2006. Tendangan melengkung Luis Figo di extra time mempersembahkan gelar SuperCoppa Italia 2006 bagi Inter Milan dengan mengalahkan AS Roma. Di final Piala Champions 1992, tendangan bebas Ronald Koeman menjadi penentu kemenangan Barcelona atas Sampdoria.
Selain berguna untuk mencetak gol, para spesialis tendangan bebas tentunya memiliki akurasi umpan di atas rata-rata dan kerap memanjakan rekan setimnya. Umpan-umpan dari situasi bola mati seperti tendangan bebas atau sepak pojok sering dimanfaatkan oleh para striker untuk mencetak gol, yang tidak jarang gol tersebut menjadi penentu kemenangan. Kejadian Miracle of Camp Nou di final Liga Champions 1998/1999 menampilkan kemenangan dramatis Manchester United yang mampu membalikkan keadaan tertinggal 0-1 dengan mencetak 2 gol di 3 menit terakhir pertandingan, di mana kedua gol tersebut diawali oleh sepakan pojok David Beckham.

Spesialis bola mati bisa berasal dari posisi mana saja, baik penyerang, gelandang, bek, bahkan kiper. Jose Luis Chilavert dan Rogerio Ceni adalah penjaga gawang yang merangkap sebagai eksekutor bola mati bagi timnya. Mereka beberapa kali mencetak gol dari tendangan bebas atau penalti. Bahkan Ceni sudah mencetak lebih dari 100 gol selama karirnya.





Meskipun hanya bermain di klub semenjana, pemain dengan spesialisasi tendangan bebas akan cepat dan mudah dikenali lewat kontribusinya dalam mengeksekusi bola mati. Sebelum digaet Liverpool, Charlie Adam menjadi eksekutor bola mati Blackpool. Kemampuannya dalam mengeksekusi bola mati diakui oleh pelatih sekelas Sir Alex Ferguson. Begitu juga dengan Marcos Assuncao, yang hanya bermain bagi Rio Branco sebelum direkrut oleh Santos lalu AS Roma.

Sebuah tim sepak bola akan sangat beruntung jika memiliki pemain yang handal dalam melakukan eksekusi bola mati. Kemampuan mereka akan sangat berguna bagi tim di saat-saat krusial ketika tim membutuhkan gol. Sangat disayangkan Tim Nasional Indonesia sekarang tidak memiliki pemain dengan atribut tersebut. Sedikit sekali pemain lokal kita yang memiliki spesialisasi bola mati. Di era 90-an, kita punya Uston Nawawi dan Bima Sakti. Masuk tahun 2000-an, ada Eduard Ivakdalam dan Ismed Sofyan. Nama Harry Salisbury cukup bersinar bersama PSIS Semarang di Liga Indonesia 2005 dan 2006. Ia kerap mencetak gol melalui tendangan bebas dan umpan-umpan bola matinya sering dimanfaatkan oleh Emmanuel de Porras dkk. kala itu. Gol tendangan bebasnya juga mempersembahkan gelar juara ketiga di LI 2005 bagi PSIS. Namun ia tidak pernah dipanggil untuk mengenakan seragam Merah-Putih, dan karirnya semakin meredup sejak kepindahannya dari PSIS. Ada beberapa nama lagi yang kerap maju untuk mengambil tendangan bebas seperti Bambang Pamungkas, Eka Ramdhani, Firman Utina, Mahyadi Panggabean dan Isnan Ali. Namun kontribusi mereka lewat eksekusi bola mati-nya masih belum konsisten.



Harapan pendukung TimNas untuk bisa melihat gol-gol lewat tendangan bebas, kini berada di pundak Syamsir Alam. Aksinya dalam mengeksekusi bola mati di penyisihan Piala Asia U-18 tahun 2009 cukup menjanjikan. Akan semakin baik lagi jika di masa yang akan datang muncul punggawa-punggawa Indonesia yang terkenal dengan eksekusi bola matinya yang mematikan, seperti yang sekarang menjadi predikat bagi Cristiano Ronaldo, Wesley Sneijder, David Beckham, Sinisa Mihajlovic, Diego Maradona, Juninho Pernambucano, David Villa, Ronaldinho, Andrea Pirlo, Gianfranco Zola, Allesandro del Piero, atau Juan Roman Riquelme.