Wednesday, December 1, 2010

Mendukung TimNas = Membela Negara



Malam nanti, Tim Nasional (TimNas) sepak bola Indonesia akan berhadapan dengan TimNas Malaysia dalam ajang Piala ASEAN Football Federation atau lebih dikenal dengan sebutan AFF Suzuku Cup 2010. Sebagai salah satu tuan rumah babak penyisihan grup, Indonesia akan bertanding di hadapan puluhan ribu suporternya yang akan memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Saya berencana untuk menonton pertandingan tersebut langsung di stadion.

Alasan utama saya untuk datang ke stadion adalah atmosfer pertandingan yang diperkirakan akan sangat seru. Renggangnya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dalam bidang diplomatik dan politik tentu akan menjadi ‘bensin’ yang akan membakar tensi pertandingan hingga titik didih. Namun tentu saya berharap hal tersebut bukan menjadi alasan bagi suporter Indonesia untuk berulah layaknya orang barbar. Kita harus bisa menunjukkan kepada negara lain di kawasan ASEAN bahwa kita bisa menjadi tuan rumah ajang sepak bola yang baik. Tim tamu yang datang harus disambut dengan hangat, bukan disambit. Hal-hal di luar lapangan hijau, khususnya konstelasi politik Indonesia-Malaysia yang lagi kurang baik, jangan sampai dibawa ke ranah sepak bola. Hal tersebut tidak lebih dari sekedar ‘bumbu penyedap’ untuk terciptanya atmosfer pertandingan yang seru, yang bisa memacu adrenalin namun manifestasinya harus masih tetap berada dalam batas-batas sportivitas.

Bagi saya pribadi, menonton TimNas berlaga secara langsung di stadion dalam berbagai aja
ng, merupakan salah satu bentuk tindakan yang merefleksikan sikap bela bangsa dan negara secara nyata di masa sekarang. Untuk menjelaskannya, kita perlu mengacu pada pernyataan yang menyebutkan bahwa TimNas merupakan representasi mikro dari seluruh bangsa dan negara secara keseluruhan. Masyarakat di suatu negara, khususnya yang penggemar sepak bola, tidak ada yang tidak mendukung TimNasnya. Mereka mengidentifikasikan dirinya ke dalam suatu kelompok besar yakni negara, yang direpresentasikan oleh TimNas. Hence, mendukung TimNas sama dengan mendukung negara.

Berbeda jika kita mendukung TimNas negara lain, di Piala Dunia, misalnya. Dukungan yang kita berikan kepada TimNas negara lain bukan berasal dari sense of belonging dalam kelompok masyarakat di negara tersebut (It’s obvious karena kita bukan warga negara negara tersebut, kan) tetapi dari alasan lain yang didasari atas preferensi. Contohnya seperti mendukung Spanyol karena mereka juara dunia, mendukung Inggris karena suka klub atau pemain Inggris, mendukung Brazil karena memasang Brazil saat taruhan, dan sebagainya.

TimNas yang akan bertanding, akan berhadapan dengan lawan yang datang dari negara lain. TimNas lawan bisa dianalogikan sebagai ‘musuh’ yang harus ‘diusir dari wilayah negara kita’. Tentunya dengan cara dikalahkan di atas lapangan hijau secara sportif. Jika pemain TimNas dianggap sebagai ‘pejuang’ yang sedang ‘berperang’ melawan musuh, para penonton harus membantu mereka dengan cara memberikan dukungan secara maksimal. Berteriak dan bernyanyi ketika memberi dukungan merupakan bentuk pengorbanan jiwa dan raga, sementara membayar tiket masuk nonton pertandingan merupakan bentuk pengorbanan materiil.

Itulah alasan mengapa saya menganggap nonton TimNas bertanding di stadion merupakan bentuk tindakan yang m
encerminkan sikap bela bangsa dan negara. Yang pertama karena membela TimNas sama dengan membela negara, karena kita bagian dari negara Indonesia yang direpresentasikan oleh 11 pemain sepak bola di lapangan dengan lambang garuda di dada. Yang kedua karena ada lawan yang dihadapi, yakni tim tamu dari negara lain, yang harus bisa kita kalahkan dengan cara yang jujur dan sportif di atas lapangan. Dan yang ketiga karena ada suatu bentuk pengorbanan dari kita, baik jiwa dan raga maupun materiil. Selain itu, pengumandangan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum kick-off juga akan semakin membakar jiwa nasionalisme dan patriotisme kita dalam mendukung TimNas.

Meskipun prestasi sepak bola kita masih belum cemerlang, namun kita harus tetap yakin bahwa suatu saat kita bisa menjadi yang terbaik. Keyakinan juga kan yang menjadi salah satu hal yang mendorong semangat para pejuang pra-kemerdekaan dulu dalam mengusir penjajah? Dan nyatanya dengan keyakinan tersebut, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Sama halnya dengan prestasi sepak bola kita, kalau kita tetap yakin, suatu saat prestasi akan datang.


Ketika saya menceritakan pendapat saya kepada seorang teman tentang refleksi sikap bela bangsa dan negara dengan cara menonton TimNas bertanding secara langsung di stadion, dia bilang (kira-kira begini), “kasian deh lo,, bela negara cuma sekedar dari nonton bola doang..


Well, setidaknya itulah bentuk tindakan yang paling nyata, yang bisa mencerminkan sikap bela bangsa dan negara di masa sekarang, menurut saya.

Membayar pajak, siapa yang kita lawan?

Ikut upacara bendera setiap hari Senin, ahh itu mah kewajiban yang ditekankan sama pihak sekolah,,

Mengapresiasi budaya lokal dengan berbagai cara,, OK.. tapi pengorbanan jiwa dan raga-nya sepertinya kurang nyata..


Mungkin kalau anda punya pendapat lain, atau bisa memberikan contoh tentang tindakan yang mencerminkan sikap bela bangsa dan negara di masa sekarang, dalam bentuk yang lebih nyata,, silakan..


MAJU TERUS SEPAK BOLA INDONESIA!!


*dipublish 6 jam sebelum kick-off Indonesia vs Malaysia, 1 Desember 2010.

Wednesday, November 24, 2010

What's In A Name...

“Apalah arti sebuah nama.” – William Shakespeare

Salah satu keunikan yang terdapat dalam persepakbolaan di negeri kita adalah fakta bahwa sebagian besar klub peserta Liga Indonesia memiliki nama yang diawali huruf “P”. Selain diawali oleh huruf “P”, nama-nama klub tersebut juga sebagian besar berupa singkatan atau akronim. Susunan singkatan atau akronim nama klub sepak bola di Indonesia juga unik. Untuk klub yang namanya singkatan, hampir semuanya berawalan “PS”, dan sebagian besar setelah “PS” dilanjutkan oleh “I”. Sementara untuk klub yang namanya akronim, hampir semuanya berawalan “Pers”, dan sebagian besar setelah “Pers” dilanjutkan lagi oleh “i”. Apa sih “PS”, “PSI”, “Pers”, dan “Persi” itu?

“PS” dan “Pers” merupakan kependekan dari “Persatuan Sepak bola”, sementara “I”nya adalah kependekan dari “Indonesia”. Beberapa klub ada yang mencantumkan singkatan atau akronim “Indonesia”, namun ada juga yang tidak. Setelah “PS”, “PSI”, “Pers”, atau “Persi”, singkatan atau akronim selanjutnya adalah kependekan dari nama kota, daerah atau kabupaten dimana klub tersebut berdomisili. Contohnya seperti PERSIJA (Persatuan Sepak bola Indonesia Jakarta), PSIS (Persatuan Sepak bola Indonesia Semarang). Yang tidak mencantumkan “Indonesia” seperti PERSELA (Persatuan Sepak bola Lamongan), PSDS (Persatuan Sepak bola Deli Serdang), dan sebagainya.

Penamaan seperti ini kadang membuat bingung orang awam yang jarang mengikuti perkembangan sepak bola Indonesia, karena nama-namanya hanya berbeda beberapa huruf, seperti:
* PERSIB, PERSIK, PERSIS
* PSIS, PSIM, PSIR
* PERSIGO, PERSIBO, PERSIBOM
* Bahkan nama PERSIBA digunakan oleh 2 klub, satu dari Bantul, dan satu lagi dari Balikpapan


Tanpa mengurangi rasa hormat, menurut saya penamaan seperti di atas terdengar ‘primitif’ dan ‘tidak kreatif’. ‘Primitif’ karena terdengar kaku, ‘tidak kreatif’ karena ternyata banyak klub yang menggunakan sistem penamaan yang sama. Edy Irpani dalam bukunya 1001 Fenomena Sepak Bola, bahkan menulis anekdot dari penamaan tersebut dengan memberi nama-nama parodi seperti PERSETAN KALIAN (Persatuan Sepak bola Tanjung Karang dan Liwa Selatan), PERSELINGKUHAN (Persatuan Sepak bola Lingkup Asahan), atau PERSENAN DUIT (Persatuan Sepak bola Ragunan dan Duren Sawit).

Memang ada beberapa klub yang tidak ‘mengikuti trend’, tapi jumlahnya sangat sedikit. Musim ini di Djaru
m Indonesia Super League (DISL) sebagai kasta tertinggi kompetisi liga sepak bola Indonesia, hanya ada Arema Indonesia, Deltras Sidoarjo, Semen Padang, dan Sriwijaya FC saja yang namanya tidak diawali oleh “P”. sejak digulirkan tahun 2008, panitia penyelenggara DISL telah menyerukan profesionalisme dari klub peserta, yang salah satu parameternya adalah kemandirian finansial. Hal ini mengharuskan klub peserta harus bisa menghilangkan ketergantungan kepada APBD dan mencari dana sendiri. Klub perlu mencari investor swasta yang mau menjadi sponsor dan bisa mendanai anggaran klub selama mengarungi kompetisi, selain dari pendapatan eksternal lainnya. Namun bagaimana investor mau tertarik berinvestasi jika nama klub yang ingin diajak kerjasama terdengar ‘primitif’ dan ‘tidak kreatif’? satu lagi pendapat saya, bahwa penamaan yang dimaksud juga ‘tidak menjual’.

Bahkan kalau mau lebih jauh lagi, sistem penamaan “P” ini juga bisa menjadi alasan bagi klub untuk menarik dana APBD dari PemDa. Karena nama-nama tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa klub sepak bola masih lekat dan berada di bawah naungan PemDa. Sehingga klub akan merasa, dengan nama seperti itu, mereka sah-sah saja meminta dana APBD.

Mungkin ada baiknya klub-klub sepak bola Indonesia mengganti namanya dengan nama yang lebih kreatif dan catchy. Dengan mengacu pada julukan klub saja, nama klub terseb
ut bisa terdengar lebih keren. Misalnya, PERSIB dengan julukan Maung Bandung, diganti namanya menjadi Bandung Lions, atau PERSIPURA dengan julukan Mutiara Hitam, berubah menjadi Jayapura Black Pearls. Lanjut lagi, PERSIJA menjadi Jakarta Tigers, PERSITA menjadi Cisadane Warriors, PERSIK menjadi Kediri White Tigers. Tapi kalau terus mengacu pada julukan klub, akan ada klub yang namanya jadi lucu, seperti misalnya PERSIKOTA dengan julukan Bayi Ajaib menjadi Tangerang Magic Babies [ :)) ] atau PSMS dengan julukan Ayam Kinantan menjadi Medan Kinantan Chickens (macam nama restoran fast food :p).

Tidak perlu mengacu pada julukan, bisa juga memilih nama lain sesuai ciri khas klub atau daerah asal klub tersebut. Atau jika terbentuk kesepakatan dengan pihak investor, nama klub ditambah dengan nama produk perusahaan tersebut, seperti pada klub basket di IBL m
acam Garuda Flexi Bandung, atau dulu Satria Muda Britama. Beberapa klub luar negeri juga ada yang menggunakan sistem merger name ini, seperti Red Bull Salzburg atau New York Red Bull.

Klub-klub bola basket, base ball dan American Football di Amerika Serikat hanya menambahkan kata benda plural setelah nama kota asal klub tersebut, seperti Houston Rockets, Ne
w York Knicks, New England Patriots, Seattle Mariners, Los Angeles Dodgers, dan sebagainya. Bahkan ada yang hanya ‘me-noun-kan’ tahun berdirinya klub tersebut, sepeti Philadelphia Seventy-sixers. Sistem seperti ini terbukti enak didengar, catchy, menjual, dan kreatif. Mungkin bisa menjadi acuan bagi klub sepak bola Indonesia yang ingin menanggalkan nama “P”nya.

Namun tentunya tidak semudah itu untuk mengganti nama klub. Nama yang sudah ada sekarang memiliki muatan sejarah panjang, yang juga, bagi beberapa klub, dibarengi dengan prestasi. Perlu adanya konsolidasi dari berbagai pihak mulai dari pengurus, perwakilan fans, para sesepuh klub, bahkan pemain dan pelatih, sebelum mengganti nama klub. Pro dan kontra mungkin saja muncul jika ada rencana penggantian nama klub. Namun yang perlu ditonjolkan adalah sisi positifnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Seandainya,, *’seandainya’ loh.. suatu saat nanti, komentator Liga Indonesia membuka siaran langsung seperti ini:
“Kembali lagi dalam SUPER BIGMATCH Djarum Indonesia Super League,, langsung dari Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan,, duel klasik antara JAKARTA TIGERS melawan BANDUNG LIONS,,”

‘kan keren tuh..! iya ga?? hehehehehe..
Maju Terus Sepak Bola Indonesia!!!
:D