Tuesday, May 24, 2011

Demokrasi dan Sepak Bola Indonesia


Kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata yaitu ‘demos’ yang berarti ‘people’, dan ‘kratein’ yang berarti ‘to rule’. Secara literal, ‘demokrasi’ berarti ‘pemerintahan rakyat’, namun makna sebenarnya dari kata ‘demokrasi’ bisa kita cerna melalui penjelasan yang diutarakan oleh Abraham Lincoln, yakni ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’.

Inti dari demokrasi adalah kebebasan. Prinsip kebebasan berarti tiap-tiap individu memiliki perannya masing-masing dan bebas mengutarakan keinginannya. Kebebasan bagi setiap individu untuk ‘bersuara’, mengajukan pendapat dan argumennya. Dari kebebasan tersebut, individu-individu dapat ikut serta dalam suatu decision-making process yang kelak akan mengatur kehidupan mereka.


Namun ternyata, prinsip kebebasan yang diusung dalam demokrasi bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan proses demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak? Perbedaan persepsi dari tiap-tiap individu yang terlibat dalam proses demokrasi, jika tidak bisa diakomodir secara adil, maka bisa berujung pada anarki. Memang, tiap individu diberi hak untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Tetapi jika individu yang terlibat berjumlah banyak dengan persepsinya masing-masing, maka akan sulit untuk menemukan persamaan pendapat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi Plato untuk menyebut bahwa demokrasi merupakan ‘sesuatu yang buruk’.


Namun di luar segala keburukannya, pada kenyataannya banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh persepsi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling adil yang bisa diterapkan.

Apa hubungan demokrasi dengan sepak bola?


Dalam
sepak bola, demokrasi tidak berlaku. Dalam permainan sepak bola, tiap pemain harus bermain sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, dan harus patuh pada setiap keputusan wasit. Wasit yang memiliki kekuasaan penuh dalam suatu pertandingan sepak bola. Dia berhak menentukan gol mana yang sah, mana yang tidak; mana yang pelanggaran, mana yang bukan; siapa yang boleh tetap bertanding, siapa yang harus keluar lapangan. Jika wasit sudah mengeluarkan keputusan, maka tidak ada lagi argumen, tidak ada lagi pihak yang mengutarakan pendapatnya guna merubah keputusan tersebut. Baik itu pemain, pelatih, atau penonton.


Sepak bola adalah anak kandung kesayangan peradaban manusia yang melawan anak terbaik dan tercerdasnya sendiri: demokrasi.” – Vikry Pristian.

Begitupun juga dalam hal hirearki keorganisasian sepak bola dunia. FIFA sebagai induk olah raga ini, berkuasa penuh atas segala hal yang berkaitan dengan sepak bola mulai dari yang amatir sampai profesional. Setiap negara anggota FIFA, melalui asosiasinya, tentu mengadopsi setiap aturan dan standar yang ditetapkan oleh FIFA ketika melangsungkan pertandingan sepak bola resmi. Hingga bisa dibilang bahwa FIFA adalah ‘wasit’ sementara anggota-anggotanya adalah ‘pemain’. Oleh karenanya, setiap negara anggota FIFA harus tunduk pada keputusan dan aturan yang ditetapkan oleh FIFA, jika tidak ingin dikenai sanksi.

Lalu bagaimana dengan demokrasi dan sepak bola Indonesia?


Pada 20 Mei lalu, terjadi kekisruhan dalam Kongres PSSI yang dimandatkan oleh FIFA kepada Komite Normalisasi (KN). Kongres yang diagendakan untuk memilih ketua dan wakil ketua umum beserta komite eksekutif PSSI periode 2011-2015, terpaksa dihentikan oleh pimpinan kongres Agum Gumelar yang bertindak sebagai ketua KN, karena menganggap situasi kongres sudah tidak kondusif lagi. Kongres yang juga dihadiri perwakilan dari FIFA tersebut, dihujani oleh interupsi dari pesertanya, khususnya yang berasal dari suatu kelompok.

Kelompok tersebut terkesan memaksakan kepentingan kelompoknya dengan melayangkan permintaan-permintaan serta argumen-argumen yang memojokkan KN. Sikap tersebut bahkan ditengarai sebagai bentuk pembangkangan terhadap KN dan FIFA karena kepentingan kelompok tersebut tidak bisa diakomodir oleh KN maupun FIFA. Cara mereka melayangkan argumen mencerminkan sikap pembangkangan mereka. Hal tersebut menyulut reaksi dari peserta kongres lainnya yang menghendaki kongres berjalan sesuai dengan agenda, hingga berujung pada adu argumen yang sengit antara kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya pimpinan kongres menghentikan sidang tanpa menyelesaikan satupun agenda yang ditetapkan sebelumnya.

Kejadian dalam kongres tersebut mencerminkan sisi buruk dari demokrasi. Ketika kepentingan suatu pihak tidak dapat terpenuhi, dan pihak yang dimaksud melihat hal tersebut sebagai bentuk ketidakadilan, maka akan muncul ketidakpuasan yang berujung pada pembangkangan.


Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, dan hal tersebut terus diimplementasikan, khususnya dalam bidang keorganisasian. Termasuk juga dalam organisasi sepak bola seperti PSSI. Pelaksanaan kongres adalah suatu bentuk dari implementasi demokrasi, terutama dalam hal pemilihan ketua dan wakil ketua umum beserta jajaran komite eksekutif. Namun ketika kongres tersebut berjalan ‘terlalu demokratis’, bukan tidak mungkin akan muncul tindak anarkis. Hal tersebut sangat disayangkan, karena dengan gagalnya kongres tersebut, kemungkinan besar PSSI akan dikenai sanksi oleh FIFA.


Namun itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Bahwa negara ini ‘terlalu demokratis’. Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah dan hanya memikirkan kepentingannya masing-masing.


Hal tersebut merembet ke dalam sepak bola. Selain kekisruhan dalam kongres tadi, kejadian seperti keributan antar-pemain atau tawuran antar-suporter seringkali mewarnai cerita persepakbolaan Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘terlalu demokratis’nya para pelaku persepakbolaan Indonesia. Pemain tidak bisa menerima keputusan wasit, berujung pada perekelahian atau penyerangan kepada wasit. Suporter suatu tim tidak bisa menerima kekalahan, akhirnya bertindak anarkis yang berujung pada tawuran antar-suporter.

The negative side of football. The negative side of our society. People sometimes go to football and bring to it the negative aspects of our society.“- Jose Mourinho.
Demokrasi bisa menjadi hal yang baik, jika prinsip kebebasan yang diusungnya dapat dipraktekkan dengan penuh tanggung jawab oleh masing-masing pihak. Mengakui kekalahan demi memajukan kepentingan umum merupakan salah satu cerminan dari tanggung jawab tersebut.

Sepak bola memang tidak menerapkan demokrasi. Namun alangkah baiknya jika nilai-nilai positif dalam demokrasi bisa digunakan di sepak bola. Prinsip ‘bebas bertanggung jawab’ berarti pemain bebas mengeluarkan skill individunya ketika bermain dan berkreasi di atas lapangan hijau. Namun pemain tersebut tetap harus tunduk pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh wasit. Begitu juga dengan para pemangku jabatan di PSSI.


Perlu diingat bahwa dalam konteks organisasi sepak bola dunia, PSSI adalah ‘pemain’ dan FIFA adalah ‘wasit’. Ketika ‘pemain’ tidak bisa mengontrol emosi dan terus memaksakan kehendaknya, bukan tidak mungkin ‘wasit’ akan memberikan hukuman.

Tuesday, May 17, 2011

Why Do I Love Them


Sebagai gila bola, tentunya saya memiliki tim atau klub favorit untuk saya dukung di setiap pertandingannya. Sebagian besar dari anda juga pasti memiliki tim atau klub favoritnya masing-masing. Ada yang setia pada satu tim, ada yang mendukung lebih dari satu tim, ada yang gonta-ganti, ada juga yang cuma mau mengejek atau menjelek-jelekkan suporter tim lain ketika tim yang dibelanya kalah. Saya sendiri masuk kategori yang mendukung lebih dari satu tim, tapi tentunya saya punya alasan untuk ‘berpoligami’.

Di Indonesia, be
berapa saluran televisi menayangkan pertandingan di Liga Eropa, diantaranya English Premier League, La Liga Española, dan Serie-A Lega Calcio. Tidak ketinggalan juga Djarum Indonesia Super League dan Liga Primer Indonesia. Untuk bisa lebih menikmati dan memotivasi saya untuk menonton setiap pertandingan di setiap liga yang disiarkan, saya mempunyai masing-masing satu tim yang saya dukung dari setiap liga. Bagi saya, akan terasa hambar jika menonton suatu kompetisi liga tanpa memiliki satu klub yang benar-benar kita dukung. Beberapa orang ada yang bilang bahwa saya tidak konsisten dengan jagoan saya. Sekarang bela ini, besok bela itu. Tapi apakah itu dilarang? Tentu tidak. Lagipula, saya mencoba untuk tetap konsisten mendukung satu tim dari satu liga tersebut. Kalau pada akhirnya ada jagoan saya yang harus bertemu di kejuaraan klub antarnegara, bagi saya itu merupakan keberuntungan. Karena dengan begitu bisa dipastikan salah satu jagoan saya akan maju ke babak selanjutnya, walaupun hal seperti itu tidak sering terjadi.

Dalam blogpost ini, saya akan menceritakan tentang bagaimana dan mengapa saya membela klub-klub yang saya favoritkan sekarang ini, dan mengundang pembaca untuk bernostalgia dengan klub kesayangannya masing-masing. Susunan cerita berdasarkan tim, hitung mundur dari yang ‘saya dukung’ sampai yang ‘paling saya dukung, no matter what’.

5. Real Madrid (La Liga Española)

Di Liga Spanyol, saya adalah Madridista. Alasan utama saya mendukung Los Merengues, tidak lain dan tidak bukan, adalah karena klub ini bertabur bintang-bintang sepak bola dunia. Saya mulai menyukai klub ini ketika mereka mendatangkan salah satu pemain idola saya, David Beckham, pada tahun 2003. Sejak saat itu saya mengikuti kiprah El Real di La Liga sampai sekarang.

Meskipun akhirnya Beckham pindah ke LA Galaxy pada tahun 2007, saya sudah terlanjur menyukai klub ini. Salah satu hal yang membuat saya semakin mencintai Real Madrid tentunya adalah perseteruan mereka dengan Barcelona. Apalagi dalam beberapa musim terakhir, Madrid berada di bawah bayang-bayang El Barça, yang membuat saya semakin penasaran dan semakin tak sabar menunggu saat-saat Madrid menaklukkan Barcelona. ¡Hala Madrid!


4. Manchester United (English Premier League)

Di Liga Inggris, pada awalnya saya bukan pendukung MU. Ketika saya masih SD, jagoan saya adalah Liverpool, karena ketika itu mereka diperkuat oleh Stan Collymore. Pada waktu itu Collymore merupakan penyerang mumpuni, apalagi ketika diduetkan dengan Robbie Fowler. Bahkan ketika itu bisa dibilang saya pembenci MU. Tapi seiring kepindahan Collymore ke Aston Villa, dan seretnya prestasi Liverpool, saya mulai menjauh dari klub ini, dan untuk beberapa saat saya sempat berhenti mengikuti hingar-bingar EPL.
Tapi ada satu kejadian yang membuat saya menyukai seorang pemain Inggris yang pada akhirnya membuat saya menyukai klub pemain tersebut hingga sekarang. Kejadian tersebut adalah ketika saya menonton pertandingan Piala Dunia 1998 antara Inggris melawan Kolombia, tepatnya ketika seorang David Beckham mencetak gol lewat tendangan bebasnya yang memastikan Inggris lolos ke babak selanjutnya. Ya, sejak saat itu saya mengagumi Beckham, terutama tendangan-tendangan bola matinya.

Kejadian di babak 16 besar ketika Inggris menghadapi Argentina dimana Beckham diusir wasit karena dianggap menendang Diego Simeone, tidak membuat saya berhenti mengaguminya. Meskipun dituduh sebagai biang kekalahan Inggris, saya tetap mengikuti aksi-aksi dan gol-gol Beckham di MU pada musim 1998/1999, dan tanpa disadari saya mulai menyukai MU.


Puncaknya adalah ketika kejadian Miracle of Camp Nou, di final Liga Champions saat MU berhadapan dengan Bayern Munchen. 2 gol MU di menit-menit akhir berawal dari corner Beckham. Sejak saat itulah saya menyukai klub ini sampai sekarang.
Glory! Glory! Man. United!
3. Persija Jakarta
Kecintaan saya terhadap Macan Kemayoran bisa dibilang cukup unik. Meskipun saya lahir dan besar di Jakarta, saya baru benar-benar merasakan kecintaan saya pada klub ini semenjak saya kuliah di Bandung. Sebelumnya, saya lebih menyukai Persipura Jayapura karena permainan mereka yang memukau dengan talenta-talenta handal tanah Papua. Jika ditarik lebih ke belakang lagi, dulu saya suka Persebaya Surabaya ketika masih diperkuat Aji Santoso, Anang Mar’uf dan Jacksen Tiago.
Alasan saya jadi suka sama Persija adalah karena rivalitas Persija dengan Persib Bandung. Sebagai mahasiswa asal Jakarta yang kuliah di Bandung, saya benar-benar merasakan bagaimana pelecehan yang dilakukan oleh suporter Persib terhadap, bukan hanya kepada suporternya, tetapi juga kepada pemain dan klub Persija itu sendiri. Bagaimana ketika Persija dijadwalkan bertandang ke kandang Persib, teman-teman saya yang tinggal di Bandung dan mengendarai kendaraan berplat B mendapat teror dan hal-hal yang tidak menyenangkan dari suporter Persib. Karena menurut pandangan saya, kembali sebagai orang Jakarta yang tinggal di Bandung, perlakuan suporter Jakarta kepada suporter Bandung tidak separah dan tidak sehina dengan apa yang dilakukan oleh suporter Bandung kepada suporter Jakarta, meskipun ada juga beberapa yang sampai di luar batas. Hal-hal seperti itulah yang menyulut semangat kedaerahan saya sehingga pada akhirnya saya menyukai Persija Jakarta.

Meskipun dalam beberapa tahun belakangan prestasi Persija tidak cemerlang, tapi semangat kedaerahan yang dinyalakan oleh tindakan-tindakan anarkis dari rival abadi tidak pernah padam sampai sekarang. Persija Jakarta ooooooooooo,,, Persija Jakarta oooooooooooo..

2. Inter Milan

Saya menempatkan Inter Milan di urutan kedua karena klub inilah yang menjadi klub favorit pertama saya di awal-awal saya berkecimpung di dunia sepak bola. Saya menjadi Interisti sejak tahun 1996. Kecintaan saya pada klub ini bisa dibilang terjadi karena iseng-iseng dan kebetulan saja. Ketika saya SD, waktu itu hari Minggu di saluran ANTv suka ada acara bernama Total Football, yang pada waktu itu dipandu oleh Boy Noya dan kalau tidak salah tayang pada pukul 14.30. Setengah jam pertama dari acara itu berisi berita-berita sepak bola nasional dan internasional, sementara setengah jam sisanya diisi oleh siaran ulang pertandingan pilihan dari liga-liga Eropa. Saat itu yang ditayangkan adalah replay pertandingan antara Inter Milan melawan Sampdoria, dan saya menontonnya.

Pada waktu itu, ada salah satu pemain Inter yang bagi saya namanya terdengar aneh ketika saya melihat susunan pemain. Pemain itu bernama Youri Djorkaeff, nomor punggung 6. Melihat nama itu, saya sempat mengolok-olok dan penasaran ingin melihat seperti apa tampang si pemain dan bagaimana permainannya. Siaran dimulai, dan saya mulai mencari Djorkaeff yang beroperasi di lini tengah Inter, ketemu! Penampilan fisiknya terlihat aneh karena keningnya yang lebar, dan saya sempat tertawa saat itu.

Karena siaran ulang hanya berdurasi 30 menit, maka siaran hanya diisi proses terjadinya hingga berakhirnya suatu peluang, baik yang berujung pada gol maupun yang tidak. Inter tertinggal lebih dulu lewat gol Vincenzo Montella, tetapi cuplikan berikutnya membuat saya menyesal telah mengolok-olok Djorkaeff. Saya masih ingat, dengan skill tingkat tinggi, ia melewati dua pemain tengah Sampdoria, yang waktu itu salah satunya adalah Juan Sebastian Veron. Ia lalu mengirim umpan lambung terukur, yang diselesaikan dengan manis setelah melakukan kontrol menawan oleh Marco Branca, nomor punggung 27. Inter menyamakan kedudukan.

Setelah itu, Djorkaeff kembali beraksi. Kali ini lewat kombinasi umpan dengan Paul Ince. Ia lalu mengirim umpan matang kepada Nicola Berti yang dengan tenang menyelesaikan peluang. Inter unggul 2-1 di akhir babak pertama.

Di awal babak kedua, lagi-lagi Djorkaeff membuat saya kagum. Melalui skema serangan balik yang diawali dari dia, Inter kembali mencetak gol lewat Marco Branca dan membuat mereka unggul 3-1. Di pertandingan tersebut, Inter akhirnya gagal mempertahankan keunggulan dan harus menyerah 3-4 akibat gol Roberto Mancini di menit-menit akhir pertandingan. Namun kekaguman saya terhadap Djorkaeff dan Branca telah membuat saya menyukai I Nerazzuri, mulai dari saat itu hingga sekarang.

Jadi bisa dibilang sudah 15 tahun saya menjadi Interisti, dan telah melewati masa-masa pahit, masa-masa ‘hampir’, hingga masa-masa emas. Forza La Beneamata!

1. Tim Nasional Indonesia
Alasan saya mencintai TimNas Garuda? Simple.. Karena saya warga negara Indonesia! Pertama kali saya menyaksikan pertandingan TimNas adalah di tahun 1995 di ajang SEA Games Chiang Mai. Ketika itu TimNas berhadapan dengan Kamboja, dan saya menonton siaran langsung pertandingannya di layar kaca. Ketika itu, TimNas mencukur Kamboja dengan skor telak 8-0 dan satu hal unik adalah 8 gol tersebut dicetak oleh 8 pemain yang berbeda. Yang saya ingat, gol pertama dicetak Widodo C. Putro di menit-menit awal babak pertama, lalu Ronny Wabia mencetak gol lewat tendangan gunting yang memantul ke tanah. Gol lain dicetak oleh Fachri Husaini, Peri Sandria, Kurniawan Dwi Yulianto, almarhum Eri Irianto. Saya lupa 2 orang pencetak gol sisanya.

Meskipun dalam 16 tahun terakhir Indonesia tidak pernah memenangkan gelar internasional prestisius dan tidak pernah lolos ke Piala Dunia serta menjadi bulan-bulanan lawan di ajang Piala Asia, tidak ada warna lain di hati saya yang paling dalam selain Merah-Putih. Kekisruhan yang mewarnai kekuasaan di tubuh PSSI pun tidak menyurutkan semangat saya memberi dukungan kepada TimNas Indonesia. Karena pada hakekatnya, yang saya bela adalah TimNas, bukan PSSI. Semoga kesetiaan saya kepada TimNas Garuda akan terjaga hingga akhir hayat.


Sebagai tambahan cerita, ketika kompetisi antar-negara seperti Pala Eropa atau Piala Dunia sedang berlangsung, saya biasanya menjadi pendukung salah satu tim nasional negara yang sedang berpartisipasi. Akhir-akhir ini saya biasanya mendukung Spanyol. Tetapi dukungan saya kepada La Furia Roja sifatnya temporer, dan dengan alasan untuk bisa lebih menikmati sajian menarik dari ajang kompetisi antarnegara yang tidak diikuti oleh TimNas Indonesia. Saya jamin, jika suatu saat Indonesia bisa lolos ke putaran final Piala Dunia dan berada satu grup dengan Spanyol, dukungan saya sepenuhnya akan diberikan kepada TimNas Indonesia, dan itu pasti! In-Do-Ne-Sia!!!

Itulah kisah di balik kecintaan saya terhadap klub-klub dan tim yang saya dukung. Cerita di atas adalah versi ringkasnya, karena jika saya jabarkan jauh lebih dalam, tidak akan bisa tertampung dalam satu blogpost. Tulisan diatas sifatnya subjektif dari diri saya pribadi. Pembaca boleh berkomentar apa saja dalam menanggapi cerita saya.
Lalu, bagaimana dengan cerita anda tentang tim favorit anda masing-masing?

:D