Blogpost saya kali
ini akan membahas mengenai kurang baiknya kualitas wasit Indonesia. Membaca
kalimat sebelumnya, beberapa dari anda mungkin sudah tidak heran lagi akan
fakta yang saya apungkan, dan anggapan beberapa dari anda mungkin langsung
tertuju pada praktik mafia wasit. Pihak/klub yang mampu memberi ‘insentif
tambahan’ bagi si wasit maka pihak/klub tersebut akan mendapat ‘servis’ lebih
dari si wasit. Tahun lalu, majalah Tempo pernah membahas masalah ini. Namun,
saya akan mencoba untuk memberi pandangan yang lebih positif dengan mengacuhkan
indikasi tersebut dalam pembahasan saya.
Dari beberapa pertandingan Liga Super Indonesia (LSI) yang
saya saksikan melalui layar ANTv, sering saya lihat ada banyak
keputusan-keputusan wasit, mulai dari yang cukup hingga yang sangat
kontroversial. Kebanyakan dari keputusan kontroversial tersebut menguntungkan
tim tuan rumah. Tidak jarang ada pelanggaran keras yang dibiarkan atau aksi diving yang keputusannya justru
menguntungkan si pelaku. Meskipun melalui tayangan replay, keputusan kontroversial seperti pelanggaran, pemberian
penalti atau pemberian hukuman kartu memang masih dapat diperdebatkan. Namun,
keputusan yang dengan jelas terlihat salah melalui tayangan replay, yang juga cukup sering terjadi
adalah hukuman offside. Hal tersebut
yang memotivasi saya menulis blogpost ini,
tepatnya ketika menyaksikan pertandingan Mitra Kukar vs Persib Bandung kemarin
(14/1). Di babak pertama, pemain Persib Aliyudin dianggap offside. Di babak kedua giliran M. Ilham yang diganjar offside. Padahal melalui tayangan ulang,
sangat jelas terlihat mereka berada dalam posisi onside. Padahal sehari sebelumnya di pertandingan Persisam vs
Pelita Jaya, hakim garis mampu menjalankan tugasnya dengan cukup baik.
Keputusan kontoversial yang sering terjadi, secara tidak
langsung akan membentuk mentalitas pemain yang negatif. Wasit yang membiarkan
atau tidak memberikan hukuman atau peringatan terhadap pelanggaran keras akan
membentuk watak pemain yang cenderung kasar. Hal ini tentu tidak mengindahkan
fungsi wasit selain memimpin pertandingan, yaitu melindungi pemain yang
bertanding. Selain itu, keputusan kontroversial juga akan menghalangi atau
bahkan menghilangkan keunggulan teknis pemain juga kolektivitas tim. Bagi
pemain yang mengandalkan kecepatan untuk menghindari perangkap offside, keunggulan tersebut akan
sia-sia jika hakim garis kerap menghukum si pemain yang sudah susah payah
dengan cerdik memperhitungkan pergerakannya dengan lini belakang lawan. Begitu
juga bagi tim yang dalam strateginya sering memanfaatkan aturan inactive offside position, jika strategi
tersebut kerap dimentahkan oleh hakim garis yang tampak belum memahami aturan
tersebut. Sementara bagi lini pertahanan yang sudah susah payah melatih taktik offside trap, hal tersebut akan sia-sia
jika hakim garis sering meloloskan pemain lawan yang jelas-jelas berada dalam
posisi offside.
Tanpa disadari, hal tersebut akan berujung pada mentalitas
dan kualitas strategi bermain Tim Nasional kita, terutama ketika menghadapi
tim-tim dari luar region Asia Tenggara. Yang menurut saya paling tampak adalah
sektor pertahanan, di mana tidak ada koordinasi yang baik dalam membangun dan
menetapkan garis pertahanan terakhir, sehingga di Putaran ke-3 Kualifikasi
Piala Dunia 2014, kita menjadi bulan-bulanan Iran, Bahrain dan Qatar. Bisa
jadi, hal tersebut dikarenakan pemain bertahan kita terbiasa dengan ‘bantuan’
yang diberikan oleh hakim garis selama bermain di LSI. Sementara perbedaan
postur tubuh sudah tidak bisa dijadikan alasan (Khalfan Ibrahim (Qatar), dengan
tinggi 169cm mampu menjebol gawang Indonesia sebanyak 3 kali dalam 2
pertemuan).
Sangat disayangkan, belum ada koordinasi dari pihak PSSI
sebagai induk sepak bola nasional, PT. Liga Indonesia sebagai penyelenggara LSI
dan pihak ANTv sebagai saluran yang menayangkan pertandingan-pertandingan LSI,
untuk mengevaluasi kinerja wasit melalui rekaman pertandingan. Padahal, bukti
rekaman pertandingan seharusnya bisa digunakan tidak hanya untuk menghukum
tindakan-tindakan pemain yang melanggar sportivitas, namun bisa juga untuk
menilai kualitas kepemimpinan wasit. Rekaman pertandingan tersebut dapat
menjadi tolok ukur apakah seorang wasit dan hakim garis mampu memimpin jalannya
pertandingan dengan keputusan-keputusan yang fair atau tidak. Hal tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan
apakah wasit dan hakim garis tersebut masih layak memimpin pertandingan atau
tidak.
Sebagai pembanding, di musim 2009/2010 lalu, PT. Liga
Indonesia pernah melakukan eksperimen dengan mengundang wasit dari Malaysia
untuk memimpin pertandingan LSI. Meski hanya untuk beberapa waktu, namun
kualitas yang ditunjukkan wasit-wasit dari negara tetangga bisa dibilang lebih
baik daripada wasit-wasit lokal. Hal yang seharusnya bisa dijadikan pelajaran
oleh wasit-wasit lokal, nyatanya tidak menemui hasil yang positif seiring masih
banyak muncul keputusan-keputusan yang memihak di pertandingan-pertandingan
LSI.
Maka tidak heran jika wasit-wasit dari Indonesia sangat
jarang yang ditunjuk untuk memimpin pertandingan antarklub internasional atau
dalam kompetisi antarnegara yang tidak diikuti oleh Indonesia. Sementara wasit
asal Singapura saja pernah menjadi bagian dari korps baju hitam di pentas Piala
Dunia 2006.
Alangkah baiknya jika tayangan-tayangan dari siaran langsung
pertandingan LSI dijadikan bukti guna mengevaluasi kinerja wasit. Karena salah
satu komponen dari suatu kompetisi sepak bola profesional yang baik adalah
aspek fair play yang dijunjung
tinggi. Yang paling berperan dalam hal tersebut adalah wasit yang memimpin
jalannya pertandingan. Demi peningkatan kualitas kompetisi dan kemajuan sepak
bola negeri kita, butuh kontribusi yang maksimal dari berbagai pihak yang
terkait, terutama yang menyangkut masalah teknis. Sehingga tidak akan ada lagi tindakan-tindakan seperti ini:
MAJU TERUS SEPAK BOLA INDONESIA!!
see also : Offside
No comments:
Post a Comment