Sunday, January 15, 2012

Perbaikan Kualitas Wasit dan Hakim Garis di Indonesia





Blogpost saya kali ini akan membahas mengenai kurang baiknya kualitas wasit Indonesia. Membaca kalimat sebelumnya, beberapa dari anda mungkin sudah tidak heran lagi akan fakta yang saya apungkan, dan anggapan beberapa dari anda mungkin langsung tertuju pada praktik mafia wasit. Pihak/klub yang mampu memberi ‘insentif tambahan’ bagi si wasit maka pihak/klub tersebut akan mendapat ‘servis’ lebih dari si wasit. Tahun lalu, majalah Tempo pernah membahas masalah ini. Namun, saya akan mencoba untuk memberi pandangan yang lebih positif dengan mengacuhkan indikasi tersebut dalam pembahasan saya.



Dari beberapa pertandingan Liga Super Indonesia (LSI) yang saya saksikan melalui layar ANTv, sering saya lihat ada banyak keputusan-keputusan wasit, mulai dari yang cukup hingga yang sangat kontroversial. Kebanyakan dari keputusan kontroversial tersebut menguntungkan tim tuan rumah. Tidak jarang ada pelanggaran keras yang dibiarkan atau aksi diving yang keputusannya justru menguntungkan si pelaku. Meskipun melalui tayangan replay, keputusan kontroversial seperti pelanggaran, pemberian penalti atau pemberian hukuman kartu memang masih dapat diperdebatkan. Namun, keputusan yang dengan jelas terlihat salah melalui tayangan replay, yang juga cukup sering terjadi adalah hukuman offside. Hal tersebut yang memotivasi saya menulis blogpost ini, tepatnya ketika menyaksikan pertandingan Mitra Kukar vs Persib Bandung kemarin (14/1). Di babak pertama, pemain Persib Aliyudin dianggap offside. Di babak kedua giliran M. Ilham yang diganjar offside. Padahal melalui tayangan ulang, sangat jelas terlihat mereka berada dalam posisi onside. Padahal sehari sebelumnya di pertandingan Persisam vs Pelita Jaya, hakim garis mampu menjalankan tugasnya dengan cukup baik.



Keputusan kontoversial yang sering terjadi, secara tidak langsung akan membentuk mentalitas pemain yang negatif. Wasit yang membiarkan atau tidak memberikan hukuman atau peringatan terhadap pelanggaran keras akan membentuk watak pemain yang cenderung kasar. Hal ini tentu tidak mengindahkan fungsi wasit selain memimpin pertandingan, yaitu melindungi pemain yang bertanding. Selain itu, keputusan kontroversial juga akan menghalangi atau bahkan menghilangkan keunggulan teknis pemain juga kolektivitas tim. Bagi pemain yang mengandalkan kecepatan untuk menghindari perangkap offside, keunggulan tersebut akan sia-sia jika hakim garis kerap menghukum si pemain yang sudah susah payah dengan cerdik memperhitungkan pergerakannya dengan lini belakang lawan. Begitu juga bagi tim yang dalam strateginya sering memanfaatkan aturan inactive offside position, jika strategi tersebut kerap dimentahkan oleh hakim garis yang tampak belum memahami aturan tersebut. Sementara bagi lini pertahanan yang sudah susah payah melatih taktik offside trap, hal tersebut akan sia-sia jika hakim garis sering meloloskan pemain lawan yang jelas-jelas berada dalam posisi offside.

 
Tanpa disadari, hal tersebut akan berujung pada mentalitas dan kualitas strategi bermain Tim Nasional kita, terutama ketika menghadapi tim-tim dari luar region Asia Tenggara. Yang menurut saya paling tampak adalah sektor pertahanan, di mana tidak ada koordinasi yang baik dalam membangun dan menetapkan garis pertahanan terakhir, sehingga di Putaran ke-3 Kualifikasi Piala Dunia 2014, kita menjadi bulan-bulanan Iran, Bahrain dan Qatar. Bisa jadi, hal tersebut dikarenakan pemain bertahan kita terbiasa dengan ‘bantuan’ yang diberikan oleh hakim garis selama bermain di LSI. Sementara perbedaan postur tubuh sudah tidak bisa dijadikan alasan (Khalfan Ibrahim (Qatar), dengan tinggi 169cm mampu menjebol gawang Indonesia sebanyak 3 kali dalam 2 pertemuan).

Sangat disayangkan, belum ada koordinasi dari pihak PSSI sebagai induk sepak bola nasional, PT. Liga Indonesia sebagai penyelenggara LSI dan pihak ANTv sebagai saluran yang menayangkan pertandingan-pertandingan LSI, untuk mengevaluasi kinerja wasit melalui rekaman pertandingan. Padahal, bukti rekaman pertandingan seharusnya bisa digunakan tidak hanya untuk menghukum tindakan-tindakan pemain yang melanggar sportivitas, namun bisa juga untuk menilai kualitas kepemimpinan wasit. Rekaman pertandingan tersebut dapat menjadi tolok ukur apakah seorang wasit dan hakim garis mampu memimpin jalannya pertandingan dengan keputusan-keputusan yang fair atau tidak. Hal tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan apakah wasit dan hakim garis tersebut masih layak memimpin pertandingan atau tidak.

Sebagai pembanding, di musim 2009/2010 lalu, PT. Liga Indonesia pernah melakukan eksperimen dengan mengundang wasit dari Malaysia untuk memimpin pertandingan LSI. Meski hanya untuk beberapa waktu, namun kualitas yang ditunjukkan wasit-wasit dari negara tetangga bisa dibilang lebih baik daripada wasit-wasit lokal. Hal yang seharusnya bisa dijadikan pelajaran oleh wasit-wasit lokal, nyatanya tidak menemui hasil yang positif seiring masih banyak muncul keputusan-keputusan yang memihak di pertandingan-pertandingan LSI.


Maka tidak heran jika wasit-wasit dari Indonesia sangat jarang yang ditunjuk untuk memimpin pertandingan antarklub internasional atau dalam kompetisi antarnegara yang tidak diikuti oleh Indonesia. Sementara wasit asal Singapura saja pernah menjadi bagian dari korps baju hitam di pentas Piala Dunia 2006.

Alangkah baiknya jika tayangan-tayangan dari siaran langsung pertandingan LSI dijadikan bukti guna mengevaluasi kinerja wasit. Karena salah satu komponen dari suatu kompetisi sepak bola profesional yang baik adalah aspek fair play yang dijunjung tinggi. Yang paling berperan dalam hal tersebut adalah wasit yang memimpin jalannya pertandingan. Demi peningkatan kualitas kompetisi dan kemajuan sepak bola negeri kita, butuh kontribusi yang maksimal dari berbagai pihak yang terkait, terutama yang menyangkut masalah teknis. Sehingga tidak akan ada lagi tindakan-tindakan seperti ini:


MAJU TERUS SEPAK BOLA INDONESIA!!

see also : Offside

No comments:

Post a Comment