South East Asian Games (SEA Games) 2011 sudah lama berlalu.
Sebagai tuan rumah, Indonesia berhasil keluar sebagai juara umum. Namun
predikat tersebut terasa kurang lengkap. Hal tersebut dikarenakan Tim Nasional
(TimNas) U-23 cabang sepak bola asuhan Rachmad Darmawan gagal meraih medali
emas setelah ditaklukan tim U-23 Malaysia di partai puncak lewat drama adu
penalti.
Di balik kegagalan TimNas Garuda Muda, ada pengalaman unik
yang saya dapatkan ketika saya turut ambil bagian dalam memberikan dukungan
langsung kepada TimNas U-23 di
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) kala itu. Blogpost saya kali ini akan bercerita tentang pengalaman tersebut.
Sabtu, 19 November 2011, adalah tanggal perhelatan babak
semifinal SEA Games 2011 cabang sepak bola. Pertandingan pertama (sore) akan
mempertemukan Myanmar dengan Malaysia, dan di pertandingan kedua (malam), Tim
Garuda Muda akan berhadapan dengan Vietnam. Saya sudah menargetkan sejak
beberapa hari sebelumnya, bahwa saya akan datang ke SUGBK untuk menyaksikan
pertandingan tersebut. Karena saya baru tiba di Jakarta pada Jum’at
(18/11/2011) malam, maka saya niatkan diri saya untuk berburu tiket
pertandingan tersebut keesokan harinya. Berdasarkan pengalaman saya ketika
hendak membeli tiket Piala AFF 2010 lalu, juga melihat animo masyarakat yang
semakin tinggi, saya berangkat menuju SUGBK pada Sabtu shubuh untuk antri di
loket tiket.
Situasi antrian pukul 05.50 |
Sesampainya di loket tiket bagian dalam gerbang utara
kompleks GBK, saya melihat ada beberapa orang yang sudah datang duluan sedang
duduk-duduk menunggu waktu dibukanya loket tiket. Di antara orang-orang
tersebut, ada seorang anak yang usianya kira-kira 10 tahun, duduk di antara
mas-mas, abang-abang, dan bapak-bapak lainnya. Orang-orang lain terlihat asyik ngobrol
sambil merokok atau menyeruput kopi hangat yang dibeli dari penjual kopi di
sekitar loket, sementara anak itu hanya duduk bersila sambil bertopang dagu
menahan kantuk. Saat itu, waktu di jam tangan saya menunjuk angka 05.50. Dari
kabar yang beredar, loket tiket baru akan dibuka pukul 10.00.
Ketika menunggu loket dibuka, saya melakukan beberapa
kegiatan seperti on-line lewat handphone
atau membaca buku yang sengaja saya bawa. Namun, saya lebih sering menghabiskan
waktu saya dengan ngobrol dengan pengantri lain. Meskipun tidak saling kenal,
namun karena kami memiliki tujuan yang sama, kedekatan antara kami para
pengantri muncul dengan sendirinya ketika kami saling terlibat dalam obrolan.
Di tengah-tengah obrolan, saya sesekali melihat anak tersebut. Saya sempat
bingung karena di suatu waktu, anak itu sudah tidak tampak, namun posisinya
diganti oleh anak lain yang kira-kira usianya sama dengan anak sebelumnya,
hanya badannya sedikit lebih kecil.
Situasi antrian pukul 09.15 |
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 09.30. 30 menit
lagi loket (seharusnya) dibuka. Antrian di belakang saya pun sudah ramai.
Pengantri yang berada paling dekat dengan loket, termasuk saya, mulai membentuk
dan merapikan barisan untuk menghindari orang-orang tak tahu malu yang memotong
barisan. Di antara barisan, saya lihat ternyata anak kecil yang saya lihat
ketika saya datang sudah kembali, sementara anak yang tadi menggantikannya
hilang entah kemana. Ketika barisan mulai terbentuk, anak itu berdiri tepat di
depan saya. Dia merogoh kantongnya, mengambil sejumlah uang, dan mulai
menghitungnya.
Ketika anak itu sedang menghitung uang di tangannya, salah
satu mas-mas yang tadi ikut ngobrol dengan saya menggoda anak tersebut.
Si bocah menghitung uang untuk beli tiket |
“Weiiitss,, banyak duit lu, bocah!” Kata mas-mas tersebut. Si
anak membalasnya dengan senyuman sambil mengembalikan uang tersebut ke
kantongnya. Di sinilah saya mulai mengajak anak tersebut ngobrol. Kira-kira
begini petikannya:
Saya (A): “Duit dari mane tuh, boy?”
Si Bocah (B): “Duit hasil nabung, bang..”
A: “Niat juga lu.. beli tiket yang berapaan?”
B: “Yang dua-lima aja, bang.. yang paling murah..”
A: “Lu kemari bareng siape?”
B: “Bareng temen, bang..”
A: “Lah,, temen lu mane?”
B: “Di sono, bang.. jagain sepeda” (sambil menunjuk ke arah
temannya yang duduk di bawah pohon, di sampingnya ada dua sepeda yang
disandarkan ke pohon tadi)
A: “Berdua doang?”
B: “Iye, bang.. Tadi saya ganti-gantian sama dia buat
ngantri”
A: “Lu naik sepeda dari rumah? Emang rumah lu dimane?”
B: “Di Kota Bambu, bang..”
A: “Wuiiih,, lumayan (jauh) dong,, kuat juga lu sepedaan
kemari.. lu tadi cabut dari rumah jam berape?”
B: “Jam setengah lima, bang.. abis sholat shubuh langsung
berangkat..”
Mas-mas (C) : “Udah bilang emak lu belom?”
B: “Udah lah, bang..”
C: “Lu niat banget dateng pagi-pagi buat beli tiket.. kenape
ga nonton di tipi aje lu?”
B: “Sama lah kaya abang,, kalo dateng siang takut keabisan..
lagian, saya dateng bukan buat nonton, bang.. tapi buat dukung.. kalo nonton
mah, mending di tipi aje..”
C: “hahahah,, bener juga sih kata-kata lu..”
Setelah itu obrolan kami berhenti dan kami kembali mengatur
antrian. Saya pegang pundak si bocah dan saya bilang, “Salut gue sama lu, boy!”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulut bocah tersebut
membuat saya kagum, dan sadar akan suatu hal. Yang membuat saya (dan mungkin
beberapa orang lain) rela mengantri tiket dari pagi buta adalah karena tujuan
saya adalah untuk mendukung TimNas, bukan hanya untuk menonton. Dari kalimat
tadi, saya sadar bahwa “dukung” dan “nonton” adalah konsep yang berbeda. Dalam
“dukung”, ada yang kita korbankan, di antaranya waktu, tenaga, dan materi.
Waktu yang diluangkan, tenaga yang dikerahkan, dan materi yang dikeluarkan
ketika mengantri sejak pagi untuk membeli tiket adalah pengorbanan yang
dimaksud. “Nonton” mungkin juga butuh pengorbanan, namun bagi saya, pengorbanan
yang dimaksud tidak lebih besar jika dibandingkan dengan yang “dukung”. Ketika
“dukung”, kita tidak begitu mempedulikan hal-hal lain, karena yang paling
penting adalah kita bisa datang dan memberi dukungan dan semangat secara
langsung. Ketika “nonton”, kita masih bergantung pada beberapa hal yang bisa
mempengaruhi mood dan selera kita dalam menikmati pertandingan. Kita “dukung”
ketika kita “nonton”, tapi ketika kita “nonton”, belum tentu kita “dukung”.
Menurut saya, si bocah Kota Bambu itu betul-betul memiliki
niat kuat untuk mendukung TimNas Indonesia. Dia kumpulkan uang jajannya untuk
membeli tiket, dia berangkat pagi-pagi dengan membawa sepeda bersama temannya
untuk mengantri di loket tiket resmi. Saya lihat wajahnya yang tersenyum senang
dan lega ketika dia memegang 2 lembar tiket di tangannya. Niat tersebut
berbalas dengan kemenangan TimNas U-23 atas Vietnam U-23 malam harinya.
Meskipun akhirnya Indonesia gagal meraih medali emas, saya rasa bocah Kota
Bambu itu tak akan berhenti memberikan dukungannya untuk TimNas Indonesia.
Saya pun begitu.
Maju terus sepak bola Indonesia!!
Mantap....alhamdulilah yah, masih ada suporter macem elu dan anak itu Jay...maju terus sepakbola Indonesia!!!
ReplyDeleteeh ada foto ane lg ngantri. hehe
ReplyDeleteini yg antri tiket lawan vietnam kan ya, semifinal AFF. di loket TVRI?
yg 1 org cuma boleh beli 2
maaf maksud ane seagames :)
ReplyDeleteyup.. ente si bocah atau yg ada di foto lain?
Delete