Jika anda adalah penggemar olah raga sepak bola, pasti anda
kenal dengan istilah ‘diving’.
Istilah tersebut merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh seorang pemain untuk
mengelabui wasit atau hakim garis sehingga tim yang ia bela diuntungkan oleh
keputusan wasit atau hakim garis tadi. Tindakan ‘diving’ termasuk tindak kecurangan (unsportmanship), sehingga pelakunya kerap dicerca dan dihujat,
terutama oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan tersebut. Dalam
beberapa kejadian, bahkan rekan satu tim pelaku ‘diving’ juga ikut mengecam tindakan tersebut. Maka wajar jika
banyak penggemar sepak bola yang tidak suka dengan aksi ‘diving’.
Drogba, Pantai Gading vs Argentina, 2006 sumber: (http://whosright.com/) |
Tetapi ada sebagian orang yang menganggap tindakan ‘diving’ merupakan tindakan yang
manusiawi. Dalam situasi tertentu, seorang pemain sepak bola harus bisa melakukan
segala cara untuk dapat memenangkan pertandingan. Salah satu cara tersebut
adalah dengan memanfaatkan celah yang terletak pada keterbatasan wasit dalam
melihat dan menilai setiap aksi di dalam lapangan, sebelum membuat keputusan. Mereka
melihat tindakan tersebut sebagai suatu bentuk seni tipu muslihat (art of deception) untuk mendapatkan
keuntungan. Beberapa orang memandang tindakan tersebut sebagai ‘seni teatrikal’
di lapangan hijau. Ada beberapa pemain papan atas dunia yang cukup terkenal
dengan aksi ‘diving’nya.
Sumber: (http://www.cartoonstock.com/) |
Tidak semua aksi ‘diving’
berujung pada kesuksesan. ‘Sukses’ yang dimaksud adalah keuntungan yang didapat
oleh tim yang dibela oleh si pelaku ‘diving’,
baik itu tendangan bebas, tendangan penalti, atau dihukumnya pemain lawan
dengan kartu kuning atau merah. Ketika si pelaku ‘diving’ harus menghadapi kenyataan bahwa aksinya diketahui oleh
wasit, ia harus siap menerima peringatan dari wasit yang biasanya berujung pada
hukuman kartu kuning. Ia juga harus siap menghadapi hujatan dari penonton dan
pemain tim lawan. Peringatan atau hukuman dari wasit terhadap pelaku ‘diving’ sudah menjadi bagian dalam Laws of the Game yang dikeluarkan oleh
FIFA (Fédération International de
Football Association).
sumber: (http://www.electriceasel.co.uk) |
Tindakan ‘diving’
merujuk pada gerakan berpura-pura jatuh seolah-olah telah dilanggar oleh pemain
lawan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan yang bias yang dikeluarkan wasit karena
segala macam keterbatasan. Terminologi ‘diving’
dipergunakan karena gerakan pura-pura jatuh yang dilakukan memiliki kemiripan
dengan gerakan yang dilakukan oleh atlet renang ketika melakukan lompatan (dive) start ke dalam air. Secara lebih
spesifik, gerakan yang dimaksud adalah gerakan jatuh ke arah depan dengan
posisi badan bagian depan terlebih dulu menyentuh tanah. Istilah tersebut muncul
di ranah media sebagai bentuk sindiran terhadap pelakunya. Entah siapa oknum
yang pertama kali menggunakan istilah tersebut.
Faktanya, FIFA tidak menggunakan istilah tersebut dalam
peraturan tertulisnya. Dalam FIFA Laws of the Game, Law 12 – Foul and
Misconduct: Cautions for unsporting behaviour, tertulis:
“There are different
circumstances when a player must be cautioned for unsporting behaviour, for
example if a player: attempts to deceive the referee by feigning injury or
pretending to have been fouled (simulation).”
FIFA menyebut tindakan pura-pura jatuh atau ‘diving’ sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya sebagai simulation dengan
tujuan ‘to deceive the referee’. Gerakan
‘diving’ merupakan salah satu
kategori tindakan dalam pengertian simulation
tersebut. Namun, ‘simulasi’ yang dimaksud lebih kepada gerak tubuh berpura-pura,
yang termasuk pura-pura jatuh atau pura-pura cedera. Tindakan pura-pura jatuh
seolah-olah telah dilanggar pemain lawan tidak terpaku pada gerakan dive semata, namun bisa juga gerakan tubuh
yang dramatik, melebih-lebihkan, atau dalam bahasa gaulnya ‘lebay’.
Sebagai contoh, aksi lebay
pernah dilakukan oleh Sergio Busquets ketika Barcelona berhadapan dengan Inter
Milan di leg 2 semi final Liga Champions Eropa 2009-10. Contoh lain seperti
gerakan dramatik Rivaldo yang meringis kesakitan di bagian wajahnya padahal
bagian tubuh yang terkena sepakan bola adalah lututnya, di penyisihan Grup C Piala
Dunia 2002 antara Brazil melawan Turki. Kedua contoh aksi simulation tadi berujung pada dikartumerahkannya pemain lawan si
pelaku, yakni Thiago Motta dan Alpay Ozalan.
Busquets, Barcelona vs Inter, 2010 sumber: (http://2.bp.blogspot.com) |
Rivaldo, Brazil vs Turki, 2002 sumber: (http://i.telegraph.co.uk) |
Contoh lain yang menurut saya termasuk dalam kategori simulation adalah gerakan tubuh dalam
perayaan gol yang dilakukan oleh Thierry Henry saat Prancis berhadapan dengan
Republik Irlandia di leg 2 play-off kualifikasi
Piala Dunia 2010 zona Eropa. Henry sadar bahwa sebelum gol terjadi, dia
menggunakan tangannya untuk mengontrol bola. Namun ketika gol terjadi, dia
pura-pura tidak tahu bahwa tangannya telah menyentuh bola dengan sengaja
sebelumnya dan tetap merayakan gol. Aksi Maradona dalam ‘Gol Tangan Tuhan’ juga
bisa dijadikan contoh.
Henry, Prancis vs Rep. Irlandia, 2009 sumber: (http://i.telegraph.co.uk/) |
Di kompetisi sepak bola Indonesia, saya masih cukup sering
melihat aksi dramatik teatrikal yang dilakukan baik oleh pemain lokal maupun
asing. Aksi tersebut umumnya dilakukan di menit-menit akhir pertandingan ketika
tim yang dibela oleh si pelaku berada dalam kondisi menguntungkan, entah itu
unggul atau imbang (terutama bagi tim tamu), guna mengulur-ulur waktu
pertandingan. Sempat beberapa kali saya melihat aksi simulation yang tidak digubris oleh wasit berujung pada protes
keras yang dilakukan oleh si pelaku dan rekan-rekan setimnya.
Young, Man.Utd vs Aston Villa, 2012 sumber: (http://i.telegraph.co.uk/) |
Aksi simulation yang
dilakukan oleh pemain sepak bola di atas lapangan hijau membawa situasi
dilematis bagi diri saya pribadi, terutama jika aksi tersebut dilakukan oleh
pemain dari tim yang saya bela. Di satu sisi, saya tidak suka dengan aksi
tersebut. Namun di sisi lain, saya tidak bisa menolak jika tim yang saya bela
diuntungkan oleh keputusan wasit yang tertipu oleh aksi tersebut.
Eboue, Man.Utd vs Arsenal, 2008 sumber: (http://i.dailymail.co.uk/) |
Banyak pihak yang menilai sudah seharusnya wasit dibantu
oleh teknologi rekaman video untuk membantunya mengambil keputusan. Teknologi
tersebut, salah satunya adalah untuk mengurangi aksi simulation di pertandingan sepak bola. Tetapi saya pribadi
menganggap aplikasi teknologi tersebut masih belum perlu dilakukan. Bagi saya, keputusan wasit di lapangan adalah mutlak. Kita harus
menghormati keputusan tersebut dengan segala bentuk keterbatasan yang
melandasinya. Tindakan simulation memang
sering dipandang melanggar nilai-nilai sportivitas, namun tindakan memprotes
keras wasit pun termasuk ke dalam tindakan tersebut. Biarkan penonton dan
lembaga atau komite perwasitan yang menilai kinerja wasit secara keseluruhan.
Namun di dalam pertandingan, apapun dan bagaimanapun keputusan dari wasit, kita
harus menghormatinya.
No comments:
Post a Comment