Thursday, December 29, 2011

Sepak bola Dipolitisasi >>> Wajar!


Di tahun 2011, sepak bola Indonesia bisa dibilang sedang mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, prestasi Tim Nasional (TimNas) tidak kunjung membaik. Kekalahan TimNas U-23 dari Malaysia U-23 di ajang SEA Games serta kegagalan menembus babak 4 kualifikasi Piala Dunia 2014 bagai pil pahit bagi para pecinta sepak bola nasional. Di sisi lain, instabilitas yang terjadi di tubuh PSSI sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas sepak bola di Indonesia, semakin memperburuk situasi persepakbolaan nasional. Pergantian kekuasaan dari era Nurdin Halid ke era Djohar Arifin Husein nyatanya belum dapat membawa sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Beberapa pihak bahkan menganggap hal tersebut justru memperburuk kondisi persepakbolaan Indonesia.

Situasi ini mengundang keprihatinan dari masyarakat, khususnya para pemerhati sepak bola. Melalui tulisan yang saya baca di beberapa artikel, banyak dari mereka yang mengaku peduli akan kondisi persepakbolaan Indonesia menyerukan revolusi di tubuh PSSI. Dalam seruan tersebut, kerap muncul jargon ‘Stop Politisasi Sepak bola!’ Mereka menganggap sepak bola Indonesia sudah diselimuti awan gelap politik, kepentingan dan kekuasaan, sehingga hal tersebut berujung pada situasi silit yang sedang terjadi. Namun, betulkah bahwa yang menjadi penyebab terpuruknya persepakbolaan Indonesia dalam kurun waktu 1 tahun terakhir murni diakibatkan oleh politisasi? Apakah politisasi selalu membawa dampak buruk kepada persepakbolaan di sebuah negara?

Sepak bola dan Politik

Pada dasarnya, sepak bola dan politik merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hal ini dikarenakan kapasitas sepak bola sebagai magnet yang mampu menarik perhatian massa, terutama para penggemarnya. Kapasitas tersebut pada akhirnya membentuk jaringan kepentingan dalam sepak bola, yang bisa dieksploitasi secara politis oleh pihak yang berkepentingan, sehingga sepak bola seringkali dijadikan ‘jembatan’ menuju kekuasaan.

Politisasi dalam sepak bola dapat diejawantahkan dalam upaya meraih dan/atau melanggengkan kekuasaan. Hal ini bahkan sudah dilakukan di awal ‘kemunculan’ sepak bola di kancah dunia. Pemimpin Fasis, Benito Mussolini, menggunakan pengaruh politiknya untuk melanggengkan langkah Italia menjadi tuan rumah sekaligus juara Piala Dunia 1934 dan 1938. Tidak hanya dengan memberi ancaman kepada para pemain dan pelatih, Mussolini juga ditengarai mempengaruhi wasit yang memimpin pertandingan Italia. Di masa pemerintahan Francisco Franco, klub Real Madrid dijadikan kendaraan politik oleh El Generalissimo dengan cara melimpahkan tidak hanya pengaruh politiknya, tetapi juga materi yang ia miliki untuk menjadikan Los Blancos sebagai raja Eropa. Pada tahun 1994, Silvio Berlusconi menjabat Perdana Menteri di Italia setelah Forza Italia-nya memenangkan pemiihan umum. Kemenangan Berlusconi tidak lepas dari status kepemilikannya atas klub A.C. Milan, sehingga para penggemar klub tersebut otomatis menjadi pendukung partainya dan memilihnya dalam pemilihan. Di tahun 1998, Gerhard Schroeder diangkat menjadi Kanselir Jerman. Strategi yang ia jalankan antara lain dengan sering hadir di pertandingan klub Energie Cottbus, yang berdomisili di wilayah bekas Jerman Timur, demi mendulang dukungan pemilik hak suara kota Cottbus.


Selain itu, politisasi sepak bola juga dapat dimanifestasikan dengan tujuan menunjukkan identitas politik. Afrika Selatan mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Afrika 1996 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa politik apartheid sudah dientas dari negara tersebut. Di Spanyol, masyarakat wilayah Katalunya menjadikan klub F.C. Barcelona sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Francisco Franco. Hingga sekarang, partai bertajuk El Clasico yang mempertemukan Barcelona dengan Real Madrid, selalu dibumbui persaingan yang merujuk pada sejarah sentimental kubu marginal dengan kubu sentral. Di Italia, rivalitas antara A.C. Milan dengan F.C. Internazionale diawali ketika kelompok ekspatriat dan imigran di Milan Cricket and Football Club memutuskan untuk memisahkan diri dari klub tersebut dan membentuk klub sendiri, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap dominasi anggota asli asal Italia di klub tersebut.

Sebagai wadah di mana massa berkumpul, sepak bola mampu menjadi alat propaganda yang ampuh, baik bagi upaya meraih kekuasaan maupun sebagai ajang aktualisasi identitas politik. Contoh-contoh yang saya sebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa bahkan sepak bola dunia sudah sering ‘ditunggangi’ oleh kepentingan politik pihak tertentu. Namun, dari contoh-contoh tersebut, apakah ada negara yang persepakbolaannya terpuruk setelah ditemukan adanya indikasi politisasi? Sejauh yang saya ingat, sepak bola Italia, Spanyol, Jerman, dan bahkan Afrika Selatan, justru menjadi semakin baik. Lalu mengapa persepakbolaan Indonesia malah semakin terpuruk?

Politisasi Sepak bola di Indonesia

Mungkin beberapa dari anda ada yang lupa, bahwasannya politisasi sepak bola di Indonesia sudah berlangsung sejak berdirinya PSSI di masa kolonial. Ketika itu, PSSI didirikan atas dasar semangat perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Semenjak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, upaya perlawanan terhadap pemerintahan Belanda semakin gencar dilakukan, meskipun bukan melalui perlawanan fisik. Ketika itu, sepak bola menjadi salah satu instrumen pemersatu bangsa dalam upaya mengusir penjajah. Diprakarsai oleh Soeratin Sosrosoegondo, para pemuda berkumpul di Yogyakarta pada 19 April 1930 dan membentuk Persatoean Sepak raga Seloeroeh Indonesia. PSSI kala itu menjadi organisasi sepak bola tandingan bagi Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB) bentukan Belanda.

Seiring berjalannya waktu, politisasi dalam dunia sepak bola Indonesia semakin berkembang, namun justru ke arah yang ‘salah’. Hal ini tidak lepas dari iklim politik di Indonesia yang tidak stabil dan cenderung sensitif, terutama pasca-Reformasi. Manuver politik yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan seringkali dilakukan hanya untuk kekuasaan. Anggapan yang terbentuk dalam benak para pencari jabatan adalah ‘kekuasaan = kemakmuran’, sehingga sifat yang menonjol adalah sifat greedy. Mereka lupa bahwa kekuasaan tidak selamanya akan membawa kemakmuran, namun justru kekuasaan akan selalu dibarengi dengan tanggung jawab.

Di akhir masa jabatannya, Nurdin Halid berupaya melanggengkan kekuasaannya meski sudah menjabat selama 2 periode, terutama setelah melihat euforia masyarakat Indonesia yang meningkat tajam di ajang Piala AFF 2010 lalu. Upaya tersebut berhasil digagalkan, namun bukan berarti masalah sudah berakhir. Kepemimpinan Djohar Arifin Husein ditengarai mempolitisir kompetisi sepak bola profesional dengan mengharamkan kompetisi Liga Super Indonesia yang sudah berjalan selama 3 musim dan menghalalkan kompetisi Liga Primer Indonesia yang sebelumnya berhenti di tengah jalan, dengan berbagai macam kompleksitas yang tidak didasari atas dasar sportivitas dan profesionalitas. Politisasi yang dikerahkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan nyatanya saling berbenturan dan menimbulkan kerugian besar terhadap prestasi dan citra sepak bola Indonesia di kancah internasional. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Hal yang paling mendasar yang membedakan antara politisasi sepak bola di luar negeri dengan yang terjadi di Indonesia adalah faktor tanggung jawab. Pada contoh-contoh politisasi di luar negeri yang saya ungkapkan sebelumnya, unsur politik diterapkan di sepak bola dengan mengemban tanggung jawab kepada masyarakat regional atau nasional di negara-negara yang disebutkan. Meskipun melalui cara yang cukup ekstrim, langkah yang diambil Mussolini justru membuat dirinya semakin dihormati dan disanjung warga Italia kala itu setelah negaranya berhasil menjuarai Piala Dunia 2 kali berturut-turut. Yang dilakukan oleh Franco terhadap Real Madrid membuat dirinya semakin dicintai warga wilayah Castilla y Leon, terutama para madridistas kala itu. Sebaliknya di Indonesia, politisasi yang dilakukan selalu dilatarbelakangi atas pandangan ‘kekuasaan = kemakmuran’, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan seolah tidak peduli pada pihak yang dikorbankan.

Politisasi sepak bola yang dilakukan di luar negeri pun dilakukan dengan cara yang elegan, sehingga tidak menonjolkan sisi politisnya saja. Lihat cara Berlusconi yang menggalangkan Forza Azzuri, ketika itu, tidak hanya pendukung A.C. Milan saja yang memilih dia saat pemilihan, tapi juga fans klub-klub lain. Keberhasilan Afrika Selatan menyelenggarakan Piala Afrika 1996 juga diiringi dengan citra baru mereka di mata dunia yang jauh dari politik apartheid.

Namun, coba tengok cara yang dilakukan oleh para ‘politisi sepak bola’ di Indonesia. Dulu, yang satu menurunkan harga tiket final Piala AFF ketika mendapat ‘perintah’ dari ketua partai yang menjadikan dirinya sebagai kader, yang megorbankan para supporter TimNas. Sekarang, yang satu lagi melarang pemain-pemain yang memilih berkompetisi di liga yang ia anggap ilegal, dengan mengatasnamakan FIFA, yang nyatanya menjadi korban adalah pemain dan juga pelatih TimNas. Meminjam konsep Niccolo Macchiavelli dalam buku Il Principe, di luar negeri, politisasi sepak bola dilakukan para politisinya dengan cara menjadi fox yang cerdik atau menjadi lion yang tegas. Sementara di Indonesia, saya melihat hal tersebut dilakukan oleh disoriented donkey yang bingung arah dan tujuan, serta hanya mementingkan dirinya sendiri.

Fakta yang harus kita hadapi adalah, semakin kita mencintai, menyukai, menggemari sepak bola, maka kapasitas politik yang ada di sepak bola akan semakin kuat terbentuk. Saat itu juga, para pihak yang berkepentingan akan semakin terpancing untuk mengeksploitasi kapasitas tersebut demi tujuan yang ingin mereka capai. Tidak dapat dipungkiri, sampai kapan pun, sepak bola tidak akan lepas dari politik. Tinggal bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Yang perlu ditekankan adalah, kita harus sadar akan batasan-batasan, untuk apa kepentingan politik disematkan ke dalam sepak bola? Apakah untuk keserakahan golongan, atau untuk kemajuan bersama? Lalu, dengan cara apa kepentingan tersebut dicanangkan dalam sepak bola? Dengan cara yang elegan atau dengan cara yang menyesatkan?

Semoga tulisan ini mampu memberikan pemahaman baru kepada anda. 

2 comments:

  1. ==> "Semakin kita mencintai, menyukai, menggemari sepak bola, maka kapasitas politik yang ada di sepak bola akan semakin kuat terbentuk."

    ReplyDelete
  2. PERMAINAN ONLINE TERBESAR DI INDONESIA

    Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino

    - Adu Q
    - Bandar Q
    - Bandar Sakong
    - Bandar Poker
    - Poker
    - Domino 99
    - Capsa Susun
    - BANDAR66 / ADU BALAK
    - Perang Bacarat ( GAME TERBARU )

    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang asli ^^
    * Minimal Deposit : 20.000
    * Minimal Withdraw : 20.000
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop ( Kecuali Bank offline / gangguan )
    * Bonus REFFERAL 15 % Seumur hidup tanpa syarat
    * Bonus ROLLINGAN 0.3 % Dibagikan 5 hari 1 kali
    * Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
    * Sistem keamanan Terbaru & Terjamin
    * Poker Online Terpercaya
    * Live chat yang Responsive
    * Support lebih banyak bank LOKAL
    * Menerima Deposit Via OVO dan Pulsa Telkomsel, XL/AXIS

    Contact Us

    Website SahabatQQ
    WA 1 : +85515769793
    WA 2 : +855972076840
    LINE : SAHABATQQ
    FACEBOOK : SahabatQQ Reborn
    TWITTER : SahabatQQ
    YM : cs2_sahabatqq@yahoo.com
    Kami Siap Melayani anda 24 jam Nonstop

    Daftar SahabatQQ

    ReplyDelete