*Blogpost ini disalin dari buku Naskah-Naskah Kompas karya Jaya Suprana hal. 1-6.
"Sebagai warga Indonesia yang cinta dan bangga budaya bangsa sendiri, saya merasa jengkel melihat banyak sesama warga bangsa –terutama generasi muda- Indonesia begitu tergila-gila melahap “junk-food” hamburger, hot-dog, pop corn sambil minum Cola pakai celana jeans berT-shirt sekaligus topi pet (terbalik ke belakang) seragam baseball, sepatu sneakers, tukar-menukar koleksi kartu foto American-sportlers, berdendang rap, histeris menonton video-clip Eminem, film produksi Hollywood, memuja Kung Fu Boy, Spiderman, Doraemon, dan Mickey Mouse! Sanubari saya perih, teriris menyaksikan sikap dan perilaku bangsa dipengaruhi bahkan dijajah budaya asing! Tergugah gejolak risau imperialisme budaya, maka saya menulis naskah ini. Namun sampai di kalimat ini, mendadak kalbu saya terhenyak, tergertak beragam kenyataan!
Ternyata saya menulis naskah ini dengan menggunakan aksara berasal dari budaya Romawi dan angka berakar pada budaya Arab kuno. Di samping itu saya susun dengan computer yang pertama diperkenalkan tahun 1941 di Berlin, Jerman oleh Konrad Zuse atas inspirasi mesin-hitung Blaise Pascal asal Perancis, abad XVII dan abakus Babilonia, Abad III SM. Akibat mata saya sudah rabun maka saya pakai kacamata (berdasar ide Salvino Degli Armati di Florence, Italia, 1280). Kemudian naskah (berasal dari kata Arab: naskh) ini saya print (teknik cetak sudah hadir di dinasti Tang sekitar abad VII Masehi di Cina, dikembangkan Gutenberg di Jerman, 1447) di atas kertas (pertama diolah Tsai Lun di Cina, tahun 105) agar bisa saya kirim lewat jasa pos (perdana diorganisir Kyros, Raja Persia sekitar 550 SM) ke surat kabar (prototip media tulis berita-aktual, Acta Diurna, dirintis sekitar tahun 60 SM di Roma) yang kini sedang anda baca ini. Apabila saya kirim lewat teknologi e-mail dari namanya saja jelas bukan berasal dari kebudayaan Indonesia sendiri. Akibat gelisah merenung, butir-butir keringat menetes turun di samping kening sehingga perlu saya usap dengan saputangan (sudah digunakan di Cina sejak abad II SM). Untung, ada air-condition (kreasi Willis Carrier, USA, 1911) penyejuk ruang.
Jika tidak, kemeja sampai celana (busana tradisional suku nomadis penunggang kuda di stepa Asia) saya yang berbahan kapas (sudah dipintal di India sejak abad II SM) bisa basah-kuyup. Nasib baik, daya tahan tubuh saya kuat berkat selalu rajin minum jamu (Hura! Yang ini karya budaya Indonesia! Namun –sayang- pekik hura! Itu gaya Barat). Sebab jika sampai terlanjur jatuh sakit, terpaksa saya minum obat farmasi (obat tradisional budaya Barat) yang harus saya beli di apotek (distributor obat sistem budaya Barat, berasal dari kata Yunani: apotheke) dengan uang (mulai berperan untuk transaksi bisnis dalam bentuk kerang di kawasan Assyria era Neolithikum).
Andaikan saya ini bukan lelaki, namun perempuan, mungkin saya mempersolek diri dengan mengoles bibir dengan lipstick (bahasanya saja sudah Inggris), mempertegas alis mata dengan tarikan garis arang-hitam (seperti gaya Neferriti di Mesir abad XXIV SM), tubuh singset akibat setia minum jamu Galian Singset (nah, yang ini baru benar-benar karya budaya Indonesia asli!) tampak makin ramping berkat pola busana dijahit serasi lekuk-liku tubuh (metode olah-busana nomadis kawasan stepa Asia) didukung sarana BH (hak-paten Mary Jacob, USA yang pada 1937 dijual sebagai brassiere ke Warnes Bros Corset Company dengan harga US$ 1.500).
Lalu saya melihat ke sekeliling ruang. Ada alat musik pianoforte (buatan Jepang dengan mekanik kreasi Bartolomeo Cristofori, Italia, 1710). Di atas piano berserakan lembaran karya musik dengan notasi not-balok (pengembangan sistem catatan musik Yunani kuno) maupun angka (sintesa solmifasi Guido dari Arezzo, Italia dengan tablatura Spanyol kuno). Di sisi piano tersender sebuah rebab (berasal dari rabbab alat gesek tradisional Arab) yang lazim digunakan dalam orkes gamelan pengiring pergelaran wayang berlakon Mahabharata atau Ramayana (dua mahakarya sastra India Kuno). Di kamar (kamara = bahasa Teutonik-Perancis kuno) terdapat pula alat-alat lain seperti radio, televisi, VCR, CD, DVD, LD player, telefon yang semuanya teknologi budaya asing.
Ada pula rak-rak (pengaruh bahasa Belanda) penuh sesak dengan buku (sudah hadir di Cina abad II SM, dikembangkan di Eropa, antara abad II dan IV) filosofi, psikologi, sosiologi, antropologi, arkeologi, politikologi, teologi (semuanya ilmu budaya Barat) dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Indonesia (perpaduan dua kata Yunani: Indos = India dan Nesos = Kepulauan, pengganti Nederlandsch-Indie). Di dinding terpasang kalender (sistem Gregorianik, Italia sejak 1582, menyempurnakan sistem Julianus) menyadarkan bahwa saat naskah ini saya tulis adalah bulan Maret (berasal dari Martius, mengenang Mars, dewa mitologi Romawi) tahun 2004 (hitungan masehi yang berorientasi masa-lahir Jesus di kawasan Palestina kuno). Beberapa fotografi (pengembangan eksperimen Nicephone Niepce di Perancis, 1816) ikut menghias dinding.
Ruang kamar diterangi sinar lampu-pijar (ide Sir Humphrey Davy, Inggris, 1802) yang menyala berkat tenaga listrik (mesin pembangkit listrik dini digarap Otto von Guericke, Jerman, 1650. Namun istilah elektron sudah dicanangkan Thales dari Millet, filosof Yunani sejak abad VI SM).
Waktu makan siang sudah tiba. Ternyata lauk-pauk yang tersedia berupa telur (sudah mulai dilahap manusia sejak masa peradaban paling dini) dan tahu (makanan tradisional Cina) beserta nasi (padi jenis Oryza sativa sudah dibudidaya masyarakat India kuno sejak abad IV SM) yang saya makan dengan piring (tradisi Romawi), sendok-garpu (tradisi Turki kuno) di atas meja (sudah lazim digunakan kaum Viking di saat tidak berkeliaran di lautan). Air minum (saran ozonisasi ilmuwan Belanda, Martinus van Marum, 1783) saya teguk lewat sebuah bejana yang disebut gelas (bahasa Inggris kuno: glaes). Saya tidak duduk di atas lantai, namun di atas sebuah konstruksi bernama kursi (bahasa Arab). Setelah makan, saya sikat gigi (berasal dari Cina, akhir abad XV) dengan tapal gigi (ide ramuan Scribonius Lapinu, Italia menjelang abad II) di samping membersihkan slilit dengan dental floss (produk USA) karena tusuk gigi (sudah digunakan masyarakat Neanderthaler di area Balkan 50.000 tahun yang lalu!) kurang ideal bagi gigi-gigi saya berjarak terlalu rapat ini. Lalu saya berkumur air ledeng yang di samping sang kata, sang metode olah-salur meripakan warisan kolonialisme Belanda.
Usai proses higiene (Yunani: hugiene = seni-kesehatan) itu semua, saya meringis di depan cermin (teknik Mesir kuno) demi meyakini gigi-gigi benar-benar sudah bersih! Lalu saya mencuci mulut dan tangan dengan sabun (dipopulerkan oleh para serdadu Romawi yang meniru suku Gaul, Eropa Barat) dan mengeringkan diri dengan handuk (tradisi Turki kuno).
Tak terasa jarum jam (inspirasi sun-dial Mesir kuno dikembangkan di Eropa, abad pertengahan) sudah menunjuk pukul 23.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (istilah arah mata-angin bahasa Sanskerta). Akibat terlalu letih merenungi pengaruh budaya asing, saya berbaring di ranjang (perabotan Firaun Mesir kuno, merakyat di Persia) dengan tentunya melepas sepatu (budaya Mesir kuno, abad V SM) beralas karet (masyarakat Maya menyelup bagian telapak kaki ke cairan caoutchouc sebagai pelindung luka) agar tidak mengotori seprei (pengaruh istilah Belanda) dan mengganti pakaian dengan piyama (busana tradisional India Timur yang dipopulerkan kaum kolonialis Inggris). Setelah kancing-kancing (pelengkap busana masyarakat lembah Indus, abad III SM) pakaian tidur saya tutup rapat, tidak lupa saya juga menutup jendela (bahasa Portugis: janela) kamar agar suara bising mobil (dipelopori Karl Benz di Jerman,1886) atau sepeda-motor (dirintis Eugene dan Michael Werner, Perancis, 1897) lalu-lalang di jalan raya (teknik melapis permukaan jalan “modern” pertama direkayasa John McAdam di Bristol, Inggris, 1815) tidak terlalu berisik mengganggu.
Sebelum lelap tertidur, saya (berasal dari bahasa Sanskerta) berdoa (bahasa Arab) demi mengucap syukur alhamdulillah (bahasa Arab), terima kasih tak terhingga kepada Allah (bahasa Arab) atas segenap rahmat, taufik, dan hidayat (semuanya bahasa Arab)Nya sehingga umat (bahasa Arab) manusia, termasuk saya dan Anda, dapat hidup bahagia dan sejahtera (dua-duanya: Sanskerta) di planet (dari kata Yunani: planetes) Bumi (Sanskerta) ini.
AMIN (bahasa Arab)."
"Sebagai warga Indonesia yang cinta dan bangga budaya bangsa sendiri, saya merasa jengkel melihat banyak sesama warga bangsa –terutama generasi muda- Indonesia begitu tergila-gila melahap “junk-food” hamburger, hot-dog, pop corn sambil minum Cola pakai celana jeans berT-shirt sekaligus topi pet (terbalik ke belakang) seragam baseball, sepatu sneakers, tukar-menukar koleksi kartu foto American-sportlers, berdendang rap, histeris menonton video-clip Eminem, film produksi Hollywood, memuja Kung Fu Boy, Spiderman, Doraemon, dan Mickey Mouse! Sanubari saya perih, teriris menyaksikan sikap dan perilaku bangsa dipengaruhi bahkan dijajah budaya asing! Tergugah gejolak risau imperialisme budaya, maka saya menulis naskah ini. Namun sampai di kalimat ini, mendadak kalbu saya terhenyak, tergertak beragam kenyataan!
Ternyata saya menulis naskah ini dengan menggunakan aksara berasal dari budaya Romawi dan angka berakar pada budaya Arab kuno. Di samping itu saya susun dengan computer yang pertama diperkenalkan tahun 1941 di Berlin, Jerman oleh Konrad Zuse atas inspirasi mesin-hitung Blaise Pascal asal Perancis, abad XVII dan abakus Babilonia, Abad III SM. Akibat mata saya sudah rabun maka saya pakai kacamata (berdasar ide Salvino Degli Armati di Florence, Italia, 1280). Kemudian naskah (berasal dari kata Arab: naskh) ini saya print (teknik cetak sudah hadir di dinasti Tang sekitar abad VII Masehi di Cina, dikembangkan Gutenberg di Jerman, 1447) di atas kertas (pertama diolah Tsai Lun di Cina, tahun 105) agar bisa saya kirim lewat jasa pos (perdana diorganisir Kyros, Raja Persia sekitar 550 SM) ke surat kabar (prototip media tulis berita-aktual, Acta Diurna, dirintis sekitar tahun 60 SM di Roma) yang kini sedang anda baca ini. Apabila saya kirim lewat teknologi e-mail dari namanya saja jelas bukan berasal dari kebudayaan Indonesia sendiri. Akibat gelisah merenung, butir-butir keringat menetes turun di samping kening sehingga perlu saya usap dengan saputangan (sudah digunakan di Cina sejak abad II SM). Untung, ada air-condition (kreasi Willis Carrier, USA, 1911) penyejuk ruang.
Jika tidak, kemeja sampai celana (busana tradisional suku nomadis penunggang kuda di stepa Asia) saya yang berbahan kapas (sudah dipintal di India sejak abad II SM) bisa basah-kuyup. Nasib baik, daya tahan tubuh saya kuat berkat selalu rajin minum jamu (Hura! Yang ini karya budaya Indonesia! Namun –sayang- pekik hura! Itu gaya Barat). Sebab jika sampai terlanjur jatuh sakit, terpaksa saya minum obat farmasi (obat tradisional budaya Barat) yang harus saya beli di apotek (distributor obat sistem budaya Barat, berasal dari kata Yunani: apotheke) dengan uang (mulai berperan untuk transaksi bisnis dalam bentuk kerang di kawasan Assyria era Neolithikum).
Andaikan saya ini bukan lelaki, namun perempuan, mungkin saya mempersolek diri dengan mengoles bibir dengan lipstick (bahasanya saja sudah Inggris), mempertegas alis mata dengan tarikan garis arang-hitam (seperti gaya Neferriti di Mesir abad XXIV SM), tubuh singset akibat setia minum jamu Galian Singset (nah, yang ini baru benar-benar karya budaya Indonesia asli!) tampak makin ramping berkat pola busana dijahit serasi lekuk-liku tubuh (metode olah-busana nomadis kawasan stepa Asia) didukung sarana BH (hak-paten Mary Jacob, USA yang pada 1937 dijual sebagai brassiere ke Warnes Bros Corset Company dengan harga US$ 1.500).
Lalu saya melihat ke sekeliling ruang. Ada alat musik pianoforte (buatan Jepang dengan mekanik kreasi Bartolomeo Cristofori, Italia, 1710). Di atas piano berserakan lembaran karya musik dengan notasi not-balok (pengembangan sistem catatan musik Yunani kuno) maupun angka (sintesa solmifasi Guido dari Arezzo, Italia dengan tablatura Spanyol kuno). Di sisi piano tersender sebuah rebab (berasal dari rabbab alat gesek tradisional Arab) yang lazim digunakan dalam orkes gamelan pengiring pergelaran wayang berlakon Mahabharata atau Ramayana (dua mahakarya sastra India Kuno). Di kamar (kamara = bahasa Teutonik-Perancis kuno) terdapat pula alat-alat lain seperti radio, televisi, VCR, CD, DVD, LD player, telefon yang semuanya teknologi budaya asing.
Ada pula rak-rak (pengaruh bahasa Belanda) penuh sesak dengan buku (sudah hadir di Cina abad II SM, dikembangkan di Eropa, antara abad II dan IV) filosofi, psikologi, sosiologi, antropologi, arkeologi, politikologi, teologi (semuanya ilmu budaya Barat) dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Indonesia (perpaduan dua kata Yunani: Indos = India dan Nesos = Kepulauan, pengganti Nederlandsch-Indie). Di dinding terpasang kalender (sistem Gregorianik, Italia sejak 1582, menyempurnakan sistem Julianus) menyadarkan bahwa saat naskah ini saya tulis adalah bulan Maret (berasal dari Martius, mengenang Mars, dewa mitologi Romawi) tahun 2004 (hitungan masehi yang berorientasi masa-lahir Jesus di kawasan Palestina kuno). Beberapa fotografi (pengembangan eksperimen Nicephone Niepce di Perancis, 1816) ikut menghias dinding.
Ruang kamar diterangi sinar lampu-pijar (ide Sir Humphrey Davy, Inggris, 1802) yang menyala berkat tenaga listrik (mesin pembangkit listrik dini digarap Otto von Guericke, Jerman, 1650. Namun istilah elektron sudah dicanangkan Thales dari Millet, filosof Yunani sejak abad VI SM).
Waktu makan siang sudah tiba. Ternyata lauk-pauk yang tersedia berupa telur (sudah mulai dilahap manusia sejak masa peradaban paling dini) dan tahu (makanan tradisional Cina) beserta nasi (padi jenis Oryza sativa sudah dibudidaya masyarakat India kuno sejak abad IV SM) yang saya makan dengan piring (tradisi Romawi), sendok-garpu (tradisi Turki kuno) di atas meja (sudah lazim digunakan kaum Viking di saat tidak berkeliaran di lautan). Air minum (saran ozonisasi ilmuwan Belanda, Martinus van Marum, 1783) saya teguk lewat sebuah bejana yang disebut gelas (bahasa Inggris kuno: glaes). Saya tidak duduk di atas lantai, namun di atas sebuah konstruksi bernama kursi (bahasa Arab). Setelah makan, saya sikat gigi (berasal dari Cina, akhir abad XV) dengan tapal gigi (ide ramuan Scribonius Lapinu, Italia menjelang abad II) di samping membersihkan slilit dengan dental floss (produk USA) karena tusuk gigi (sudah digunakan masyarakat Neanderthaler di area Balkan 50.000 tahun yang lalu!) kurang ideal bagi gigi-gigi saya berjarak terlalu rapat ini. Lalu saya berkumur air ledeng yang di samping sang kata, sang metode olah-salur meripakan warisan kolonialisme Belanda.
Usai proses higiene (Yunani: hugiene = seni-kesehatan) itu semua, saya meringis di depan cermin (teknik Mesir kuno) demi meyakini gigi-gigi benar-benar sudah bersih! Lalu saya mencuci mulut dan tangan dengan sabun (dipopulerkan oleh para serdadu Romawi yang meniru suku Gaul, Eropa Barat) dan mengeringkan diri dengan handuk (tradisi Turki kuno).
Tak terasa jarum jam (inspirasi sun-dial Mesir kuno dikembangkan di Eropa, abad pertengahan) sudah menunjuk pukul 23.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (istilah arah mata-angin bahasa Sanskerta). Akibat terlalu letih merenungi pengaruh budaya asing, saya berbaring di ranjang (perabotan Firaun Mesir kuno, merakyat di Persia) dengan tentunya melepas sepatu (budaya Mesir kuno, abad V SM) beralas karet (masyarakat Maya menyelup bagian telapak kaki ke cairan caoutchouc sebagai pelindung luka) agar tidak mengotori seprei (pengaruh istilah Belanda) dan mengganti pakaian dengan piyama (busana tradisional India Timur yang dipopulerkan kaum kolonialis Inggris). Setelah kancing-kancing (pelengkap busana masyarakat lembah Indus, abad III SM) pakaian tidur saya tutup rapat, tidak lupa saya juga menutup jendela (bahasa Portugis: janela) kamar agar suara bising mobil (dipelopori Karl Benz di Jerman,1886) atau sepeda-motor (dirintis Eugene dan Michael Werner, Perancis, 1897) lalu-lalang di jalan raya (teknik melapis permukaan jalan “modern” pertama direkayasa John McAdam di Bristol, Inggris, 1815) tidak terlalu berisik mengganggu.
Sebelum lelap tertidur, saya (berasal dari bahasa Sanskerta) berdoa (bahasa Arab) demi mengucap syukur alhamdulillah (bahasa Arab), terima kasih tak terhingga kepada Allah (bahasa Arab) atas segenap rahmat, taufik, dan hidayat (semuanya bahasa Arab)Nya sehingga umat (bahasa Arab) manusia, termasuk saya dan Anda, dapat hidup bahagia dan sejahtera (dua-duanya: Sanskerta) di planet (dari kata Yunani: planetes) Bumi (Sanskerta) ini.
AMIN (bahasa Arab)."
GAME SLOT ONLINE TERPECAYA DEPOSIT PULSA
ReplyDeleteDaftar Slot Online Indonesia Deposit pulsa Murah
Poker Domino
Daftar Situs Poker Online
Poker Pulsa
CLUB388CASH ADALAH SISTUS AGEN BANDAR TARUHAN ONLINE TEPECAYA YANG MEMILIKI BANYAK PERMAINAN HANYA MENGGUNAKAN 1 AKUN ATAU 1 USER ID SAJA SEMUA DAPAT DI MAINKAN SEMUA DI PERMAINAN CLUB388CASH. TENTUNYA EVENT BONUS PROMO SETIAP BULAN NYA YANG MANTAPPP ^^
CS 24jam Online
JANGAN SAMPAI KEHABISAN FREECHIPSNYA !!