thought terkait: Label Klub Kontestan LPI 2011-12
www.bolasoccer.com |
Dalam permainan sepak bola, ada istilah ‘blunder’ yang
berarti kesalahan atau keteledoran yang dibuat oleh seorang pemain hingga tim
yang dibela oleh pemain tersebut mengalami kerugian. Beberapa contoh aksi atau
tindakan yang termasuk kategori blunder antara lain salah passing, salah kontrol bola, salah antisipasi, salah dribbling, dan lain sebagainya. Dalam blogpost kali ini, saya menggunakan
istilah tersebut untuk memberi pandangan saya mengenai sepak terjang
kepengurusan Djohar Arifin Husein dalam menjalankan mandat dari masyarakat
sepak bola Indonesia untuk mengatur persepakbolaan nasional melalui PSSI.
Dalam masa jabatannya yang baru 1 tahun lebih sedikit, PSSI
di bawah kepemimpinan Djohar Arifin bisa dikatakan telah membawa sepak bola
Indonesia ke titik nadir. Salah satu indikatornya adalah merosotnya peringkat
FIFA Indonesia ke urutan 168 (September 2012). FYI, urutan tersebut berada di
bawah negara semenjana seperti Kepulauan Solomon dan Aruba. Indikator lain
tentu adalah kekalahan terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan skor 0-10
dari Bahrain pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 yang terjadi pada leap day tahun ini. Menurut pandangan
saya, hal-hal tersebut terjadi karena jajaran pengurus PSSI di bawah kendali
Djohar Arifin terlalu banyak melakukan blunder layaknya pemain sepak bola.
Namun, blunder yang dimaksud tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pemain
sepak bola seperti yang dicontohkan di paragraf awal. Blunder yang dilakukan
oleh pengurus PSSI versi Djohar Arifin merujuk pada keputusan dan kebijakan
yang mereka keluarkan, yang ternyata justru membuat sepak bola nasional kita
mengalami kemunduran.
Blunder pertama yang dilakukan oleh kepengurusan Djohar
Arifin adalah pemecatan pelatih Tim Nasional (TimNas) kala itu, Alfred Riedl,
dengan alasan yang kurang jelas. Kebijakan ini saya sebut sebagai blunder
karena diputuskan secara sepihak dan mendadak.
Blunder kedua adalah pencabutan
mandat pelaksana kompetisi nasional dari PT. Liga Indonesia ke PT. Liga Prima
Indonesia Sportindo melalui Surat Keputusan (SK) Nomor: SKEP/21/JAH/VIII/2011
yang ditandatangani oleh Djohar Arifin pada 22 Agustus 2011. Sama dengan
blunder pertama, kebijakan ini saya sebut blunder karena diputuskan secara
sepihak dan mendadak. PSSI melepas mandat pelaksana kompetisi dari sebuah badan
yang sedang berkembang namun sudah berpengalaman dalam menggulirkan kompetisi
ke badan baru yang masih sangat minim pengalaman. Dalam hal ini, PSSI
kepengurusan Djohar Arifin terkesan menyalahgunakan wewenangnya dengan
melanggar hasil kongres kepengurusan PSSI sebelumnya. Kebijakan ini membawa
kesan bahwa PSSI kepengurusan Djohar Arifin ingin sepenuhnya menghapus jejak
kepengurusan PSSI sebelumnya, sesuai dengan semangat ‘Revolusi PSSI
(RevoluPSSI)’. Tidak seperti blunder sebelumnya, kebijakan yang penuh nuansa
politik bisnis ini tidak bisa diterima oleh beberapa pihak yang memiliki
kedekatan dengan kepengurusan PSSI sebelumnya. Hal inilah yang menjadi cikal
bakal dari berbagai dualisme yang terjadi berlarut-larut hingga sekarang.
Namun, yang menurut saya merupakan blunder fatal yang
dilakukan oleh PSSI kepengurusan Djohar Arifin adalah kebijakan mereka yang
memaksakan kompetisi musim 2011-12 diikuti oleh 24 klub dengan format 1
wilayah. Pada dasarnya, pelaksanaan kompetisi yang berisikan 24 klub peserta
dengan format 1 wilayah bukanlah rencana yang mustahil. Namun rencana tersebut
menurut saya tidak masuk akal jika dicanangkan pada situasi dan kondisi
klub-klub sepak bola Indonesia sekarang. Dengan jumlah 24 klub, maka akan ada
552 pertandingan yang harus diselesaikan dalam 1 musim. Jika pada umumnya 1
musim berjalan selama 8 hingga 9 bulan, dan jika rencana tersebut betul-betul
dijalankan, maka akan ada pemadatan jadwal yang akan menguras tenaga dan materi
dari setiap klub peserta. Jika masalah tenaga masih bisa dikondisikan dan
dipaksakan, lain halnya masalah materi. Setiap klub harus menjalani 23
pertandingan kandang dan 23 pertandingan tandang. Jumlah tersebut tentu
membutuhkan biaya yang sangat besar, terlebih untuk laga away. Belum lagi mempertimbangkan bentang geografis wilayah
Indonesia yang luas. Perjalanan klub yang berdomisili di Aceh untuk bertanding
di wilayah Papua tentu akan sangat membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang
tidak sedikit. Tidak semua klub memiliki sumber daya yang cukup untuk
mengarungi kompetisi panjang seperti yang direncanakan oleh PSSI dan PT. LPIS
tersebut. Meskipun ada beberapa klub yang sudah mulai melepaskan ketergantungan
pada dana APBD dan mampu mandiri secara finansial, namun masih lebih banyak
lagi klub yang belum mampu berbuat demikian.
bolasoccer.com |
Awal pelaksanaan kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI) ini pun
terkesan sangat dipaksakan. Pertandingan antara Persib melawan Semen Padang
yang dilangsungkan di Stadion Si Jalak Harupat pada Oktober 2011 ditengarai
dilaksanakan guna menghindari sanksi pencabutan hak berlaga di kompetisi
antarklub Asia oleh AFC. Pertandingan yang menjadi partai pembuka LPI tersebut
berkesudahan 1-1, dan setelah itu kompetisi mengalami vakum selama 1 bulan
lebih berkenaan dengan pelaksanaan SEA Games 2011. Masa jeda tersebut digunakan
oleh beberapa klub untuk menghitung-hitung kemungkinan dan konsekuensi yang
akan dihadapi jika kompetisi masih berisikan 24 klub. Beberapa klub mulai
meyadari bahwa pelaksanaan kompetisi dengan 24 kontestan bukanlah rencana yang
masuk akal. Hal tersebut dijadikan tuntutan oleh klub-klub tersebut kepada PSSI
dan PT.LPIS untuk kembali pada standar yang telah ditetapkan dalam kongres PSSI
pada masa kepengurusan sebelumnya yaitu dengan jumlah 18 klub peserta. Namun
hal tersebut tidak diakomodir oleh PSSI dan PT.LPIS. Hingga akhirnya klub-klub
yang merasa keberatan dengan jumlah 24 klub peserta memilih untuk hengkang dan
kembali kepada standar 18 klub dengan tajuk Liga Super Indonesia (LSI) yang
telah berjalan selama 3 musim sebelumnya. Klub-klub yang ikut ambil bagian
dalam kompetisi LSI harus menerima konsekuensi dengan dicap ‘ilegal’. Ironisnya,
pelaksanaan kompetisi LSI musim 2011-12 tampak berjalan dengan lebih baik jika
diukur dari beberapa indikator seperti acceptance
masyarakat, pengelolaan jadwal, marketing
dan promosi, dan lain sebagainya. Hal inilah yang dijadikan oleh oknum-oknum
yang mengaku sebagai penyelamat sepak bola Indonesia sebagai ujung tombak
mereka untuk menjegal PSSI kepengurusan Djohar Arifin.
Blunder fatal tersebutlah yang mulai memunculkan dualisme
kepengurusan, dualisme kompetisi, hingga sekarang muncul dualisme TimNas.
Kekisruhan akibat dualisme-dualisme tersebut mungkin tidak perlu terjadi jika
PSSI kepengurusan Djohar Arifin bertindak lebih reasonable dalam menentukan kebijakan, terutama dalam hal
pelaksanaan kompetisi. Namun sayangnya hal tersebut sudah sangat terlambat.
Blunder fatal PSSI kepengurusan Djohar Arifin semakin terbukti dengan berkaca
pada pelaksanaan kompetisi LPI yang akhirnya hanya diikuti 12 klub peserta.
Muncul banyak permasalahan seperti tunggakan gaji pemain dan ofisial,
keterlambatan pembayaran hadiah pada juara kompetisi, ketidakpuasan klub
kontestan, dan lain sebagainya. Bayangkan jika tetap dipaksakan 24 klub.
Mungkin bisa-bisa kompetisi berhenti di tengah jalan. Mungkin.
Layaknya
seorang pemain sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar Arifin telah berkali-kali
melakukan blunder. Namun, jika diberi kesempatan, pemain yang melakukan blunder
masih bisa bermain lebih baik dan membayar kesalahan yang telah diperbuat
sebelumnya. Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, PSSI kepengurusan Djohar
yang masih menyisakan 3 tahun masa jabatannya baru ‘bertanding’ selama 20 menit
lebih sedikit. Sisa ‘pertandingan’ masih cukup panjang dan masih banyak kesempatan
untuk berbenah diri dengan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan
sampai masyarakat sepak bola Indonesia yang bisa diibaratkan sebagai ‘pelatih’
terpaksa melakukan ‘pergantian’ sebelum ‘pertandingan’ berakhir.