Di tahun 2011, sepak bola Indonesia bisa dibilang sedang
mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, prestasi Tim Nasional (TimNas) tidak
kunjung membaik. Kekalahan TimNas U-23 dari Malaysia U-23 di ajang SEA Games
serta kegagalan menembus babak 4 kualifikasi Piala Dunia 2014 bagai pil pahit
bagi para pecinta sepak bola nasional. Di sisi lain, instabilitas yang terjadi di tubuh PSSI sebagai organisasi yang
bertanggung jawab atas sepak bola di Indonesia, semakin memperburuk situasi
persepakbolaan nasional. Pergantian kekuasaan dari era Nurdin Halid ke era
Djohar Arifin Husein nyatanya belum dapat membawa sepak bola Indonesia ke arah
yang lebih baik. Beberapa pihak bahkan menganggap hal tersebut justru
memperburuk kondisi persepakbolaan Indonesia.
Situasi ini mengundang keprihatinan dari masyarakat,
khususnya para pemerhati sepak bola. Melalui tulisan yang saya baca di beberapa
artikel, banyak dari mereka yang mengaku peduli akan kondisi persepakbolaan
Indonesia menyerukan revolusi di tubuh PSSI. Dalam seruan tersebut, kerap
muncul jargon ‘Stop Politisasi Sepak bola!’ Mereka menganggap sepak bola
Indonesia sudah diselimuti awan gelap politik, kepentingan dan kekuasaan,
sehingga hal tersebut berujung pada situasi silit yang sedang terjadi. Namun,
betulkah bahwa yang menjadi penyebab terpuruknya persepakbolaan Indonesia dalam
kurun waktu 1 tahun terakhir murni diakibatkan oleh politisasi? Apakah
politisasi selalu membawa dampak buruk kepada persepakbolaan di sebuah negara?
Sepak bola dan Politik
Pada dasarnya, sepak bola dan politik merupakan dua hal yang
sangat sulit untuk dipisahkan. Hal ini dikarenakan kapasitas sepak bola sebagai
magnet yang mampu menarik perhatian massa, terutama para penggemarnya.
Kapasitas tersebut pada akhirnya membentuk jaringan kepentingan dalam sepak
bola, yang bisa dieksploitasi secara politis oleh pihak yang berkepentingan,
sehingga sepak bola seringkali dijadikan ‘jembatan’ menuju kekuasaan.
Politisasi dalam sepak bola dapat diejawantahkan dalam upaya
meraih dan/atau melanggengkan kekuasaan. Hal ini bahkan sudah dilakukan di awal
‘kemunculan’ sepak bola di kancah dunia. Pemimpin Fasis, Benito Mussolini,
menggunakan pengaruh politiknya untuk melanggengkan langkah Italia menjadi tuan
rumah sekaligus juara Piala Dunia 1934 dan 1938. Tidak hanya dengan memberi
ancaman kepada para pemain dan pelatih, Mussolini juga ditengarai mempengaruhi
wasit yang memimpin pertandingan Italia. Di masa pemerintahan Francisco Franco,
klub Real Madrid dijadikan kendaraan politik oleh El Generalissimo dengan cara melimpahkan tidak hanya pengaruh
politiknya, tetapi juga materi yang ia miliki untuk menjadikan Los Blancos sebagai raja Eropa. Pada
tahun 1994, Silvio Berlusconi menjabat Perdana Menteri di Italia setelah Forza Italia-nya memenangkan pemiihan
umum. Kemenangan Berlusconi tidak lepas dari status kepemilikannya atas klub
A.C. Milan, sehingga para penggemar klub tersebut otomatis menjadi pendukung
partainya dan memilihnya dalam pemilihan. Di tahun 1998, Gerhard Schroeder
diangkat menjadi Kanselir Jerman. Strategi yang ia jalankan antara lain dengan
sering hadir di pertandingan klub Energie Cottbus, yang berdomisili di wilayah
bekas Jerman Timur, demi mendulang dukungan pemilik hak suara kota Cottbus.
Selain itu, politisasi sepak bola juga dapat
dimanifestasikan dengan tujuan menunjukkan identitas politik. Afrika Selatan
mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Afrika 1996 untuk menunjukkan kepada
dunia bahwa politik apartheid sudah
dientas dari negara tersebut. Di Spanyol, masyarakat wilayah Katalunya
menjadikan klub F.C. Barcelona sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim
Francisco Franco. Hingga sekarang, partai bertajuk El Clasico yang mempertemukan Barcelona dengan Real Madrid, selalu
dibumbui persaingan yang merujuk pada sejarah sentimental kubu marginal dengan
kubu sentral. Di Italia, rivalitas antara A.C. Milan dengan F.C. Internazionale
diawali ketika kelompok ekspatriat dan imigran di Milan Cricket and Football
Club memutuskan untuk memisahkan diri dari klub tersebut dan membentuk klub
sendiri, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap dominasi anggota asli asal
Italia di klub tersebut.
Sebagai wadah di mana massa berkumpul, sepak bola mampu
menjadi alat propaganda yang ampuh, baik bagi upaya meraih kekuasaan maupun
sebagai ajang aktualisasi identitas politik. Contoh-contoh yang saya sebutkan
sebelumnya menunjukkan bahwa bahkan sepak bola dunia sudah sering ‘ditunggangi’
oleh kepentingan politik pihak tertentu. Namun, dari contoh-contoh tersebut,
apakah ada negara yang persepakbolaannya terpuruk setelah ditemukan adanya
indikasi politisasi? Sejauh yang saya ingat, sepak bola Italia, Spanyol,
Jerman, dan bahkan Afrika Selatan, justru menjadi semakin baik. Lalu mengapa
persepakbolaan Indonesia malah semakin terpuruk?
Politisasi Sepak bola di Indonesia
Mungkin beberapa dari anda ada yang lupa, bahwasannya
politisasi sepak bola di Indonesia sudah berlangsung sejak berdirinya PSSI di
masa kolonial. Ketika itu, PSSI didirikan atas dasar semangat perlawanan
terhadap pemerintahan Belanda. Semenjak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928, upaya perlawanan terhadap pemerintahan Belanda semakin gencar
dilakukan, meskipun bukan melalui perlawanan fisik. Ketika itu, sepak bola
menjadi salah satu instrumen pemersatu bangsa dalam upaya mengusir penjajah.
Diprakarsai oleh Soeratin Sosrosoegondo, para pemuda berkumpul di Yogyakarta
pada 19 April 1930 dan membentuk Persatoean Sepak raga Seloeroeh Indonesia.
PSSI kala itu menjadi organisasi sepak bola tandingan bagi Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB) bentukan Belanda.
Seiring berjalannya waktu, politisasi dalam dunia sepak bola
Indonesia semakin berkembang, namun justru ke arah yang ‘salah’. Hal ini tidak
lepas dari iklim politik di Indonesia yang tidak stabil dan cenderung sensitif,
terutama pasca-Reformasi. Manuver politik yang dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan seringkali dilakukan hanya untuk kekuasaan. Anggapan yang
terbentuk dalam benak para pencari jabatan adalah ‘kekuasaan = kemakmuran’,
sehingga sifat yang menonjol adalah sifat greedy.
Mereka lupa bahwa kekuasaan tidak selamanya akan membawa kemakmuran, namun
justru kekuasaan akan selalu dibarengi dengan tanggung jawab.
Di akhir masa jabatannya, Nurdin Halid berupaya
melanggengkan kekuasaannya meski sudah menjabat selama 2 periode, terutama
setelah melihat euforia masyarakat Indonesia yang meningkat tajam di ajang
Piala AFF 2010 lalu. Upaya tersebut berhasil digagalkan, namun bukan berarti
masalah sudah berakhir. Kepemimpinan Djohar Arifin Husein ditengarai
mempolitisir kompetisi sepak bola profesional dengan mengharamkan kompetisi
Liga Super Indonesia yang sudah berjalan selama 3 musim dan menghalalkan
kompetisi Liga Primer Indonesia yang sebelumnya berhenti di tengah jalan,
dengan berbagai macam kompleksitas yang tidak didasari atas dasar sportivitas
dan profesionalitas. Politisasi yang dikerahkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan nyatanya saling berbenturan dan menimbulkan kerugian besar
terhadap prestasi dan citra sepak bola Indonesia di kancah internasional.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hal yang paling mendasar yang membedakan antara politisasi
sepak bola di luar negeri dengan yang terjadi di Indonesia adalah faktor
tanggung jawab. Pada contoh-contoh politisasi di luar negeri yang saya
ungkapkan sebelumnya, unsur politik diterapkan di sepak bola dengan mengemban
tanggung jawab kepada masyarakat regional atau nasional di negara-negara yang
disebutkan. Meskipun melalui cara yang cukup ekstrim, langkah yang diambil
Mussolini justru membuat dirinya semakin dihormati dan disanjung warga Italia
kala itu setelah negaranya berhasil menjuarai Piala Dunia 2 kali
berturut-turut. Yang dilakukan oleh Franco terhadap Real Madrid membuat dirinya
semakin dicintai warga wilayah Castilla y Leon, terutama para madridistas kala itu. Sebaliknya di
Indonesia, politisasi yang dilakukan selalu dilatarbelakangi atas pandangan
‘kekuasaan = kemakmuran’, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan seolah tidak
peduli pada pihak yang dikorbankan.
Politisasi sepak bola yang dilakukan di luar negeri pun
dilakukan dengan cara yang elegan, sehingga tidak menonjolkan sisi politisnya
saja. Lihat cara Berlusconi yang menggalangkan Forza Azzuri, ketika itu, tidak hanya pendukung A.C. Milan saja
yang memilih dia saat pemilihan, tapi juga fans
klub-klub lain. Keberhasilan Afrika Selatan menyelenggarakan Piala Afrika
1996 juga diiringi dengan citra baru mereka di mata dunia yang jauh dari
politik apartheid.
Namun, coba tengok cara yang dilakukan oleh para ‘politisi
sepak bola’ di Indonesia. Dulu, yang satu menurunkan harga tiket final Piala AFF
ketika mendapat ‘perintah’ dari ketua partai yang menjadikan dirinya sebagai
kader, yang megorbankan para supporter TimNas.
Sekarang, yang satu lagi melarang pemain-pemain yang memilih berkompetisi di
liga yang ia anggap ilegal, dengan mengatasnamakan FIFA, yang nyatanya menjadi
korban adalah pemain dan juga pelatih TimNas. Meminjam konsep Niccolo
Macchiavelli dalam buku Il Principe,
di luar negeri, politisasi sepak bola dilakukan para politisinya dengan cara
menjadi fox yang cerdik atau menjadi lion yang tegas. Sementara di Indonesia,
saya melihat hal tersebut dilakukan oleh disoriented
donkey yang bingung arah dan tujuan, serta hanya mementingkan dirinya
sendiri.
Fakta yang harus kita hadapi adalah, semakin kita mencintai,
menyukai, menggemari sepak bola, maka kapasitas politik yang ada di sepak bola
akan semakin kuat terbentuk. Saat itu juga, para pihak yang berkepentingan akan
semakin terpancing untuk mengeksploitasi kapasitas tersebut demi tujuan yang
ingin mereka capai. Tidak dapat dipungkiri, sampai kapan pun, sepak bola tidak
akan lepas dari politik. Tinggal bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Yang
perlu ditekankan adalah, kita harus sadar akan batasan-batasan, untuk apa
kepentingan politik disematkan ke dalam sepak bola? Apakah untuk keserakahan
golongan, atau untuk kemajuan bersama? Lalu, dengan cara apa kepentingan
tersebut dicanangkan dalam sepak bola? Dengan cara yang elegan atau dengan cara
yang menyesatkan?