Sudah lama Tim Nasional (TimNas) sepak bola Indonesia mendambakan prestasi di tingkat internasional. Sejak tahun 1991, di mana TimNas berhasil merebut medali emas di ajang SEA Games Manila, praktis tidak ada lagi gelar prestisius di tingkat internasional. Gelar Piala Kemerdekaan 2008 bagi saya pribadi (dan mungkin bagi beberapa dari anda) tidak saya anggap sebagai “gelar prestisius” karena memang selain ajang tersebut hanya ajang invitational, kemenangan TimNas di final pun diraih lewat walk out dari kubu Libya.
Dahaga prestasi ini mengundang komentar dari masyarakat selaku pihak yang dianggap sebagai “pemilik” TimNas Indonesia, khususnya para pecinta bola. Tiap kali TimNas berpartisipasi di ajang internasional seperti SEA Games, Piala AFF, Piala Asia, atau ajang lainnya, masyarakat berhak menyuarakan pendapatnya atas capaian TimNas di ajang-ajang tersebut. Tanggapan masyarakat atas prestasi nir-gelar yang dicapai oleh TimNas dalam beberapa tahun terakhir ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif selalu bersikap optimistis bahwa kelak TimNas akan meraih prestasi dengan selalu semangat memberikan dukungan penuh. Sementara yang negatif selalu mencari-cari kambing hitam atas kegagalan TimNas meraih gelar.
Dalam
posting ini, saya akan fokus kepada tanggapan negatif masyarakat
terhadap prestasi TimNas dalam beberapa tahun belakangan, yang saya
lihat baik melalui media massa atau dalam pergaulan saya sehari-hari.
Seperti yang sudah disebut sebelumnya, orang-orang yang berpikir negatif
atas prestasi TimNas, selalu mencari pihak yang dapat disalahkan. Pihak
yang dimaksud bisa berasal dari internal TimNas itu sendiri seperti
pelatih, pemain, atau pengurus yang dalam hal ini berarti Persatuan
Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Bisa juga dari luar TimNas seperti
wasit, permainan tim lawan, atau perlakuan suporter tim lawan.
Lalu, ada satu komentar dari seorang selebritis tanah air, yang saya dengar di acara infotainment, yang kurang lebih seperti ini:
Lalu, ada satu komentar dari seorang selebritis tanah air, yang saya dengar di acara infotainment, yang kurang lebih seperti ini:
“yaaa kecewa juga ya,, udah lama kita ga berprestasi di level internasional,, padahal penduduk kita kan banyak.. dari 230juta-an orang Indonesia, kayaknya susah banget nyari 11 orang yang bisa main bola dengan baik.. coba bandingin sama Belanda. Luas negaranya ga segede Pulau Jawa, penduduknya juga paling cuma 15juta-an.. tapi mereka bisa jadi finalis Piala Dunia..”
Komentar si selebritis ini menarik perhatian saya, karena bagi saya, komentar tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan KELIRU! Fakta memang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 lalu berkisar 230juta jiwa sementara Belanda hanya berskisar 16juta jiwa. Luas wilayah geografis Indonesia pun jauh lebih luas dibandingkan Belanda. Namun hal tersebut bukanlah jaminan bagi datangnya prestasi di bidang olah raga, khususnya sepak bola.
Bagi saya, si seleb tadi menganggap setiap individu dari 230juta-an penduduk Indonesia bisa bermain bola, hanya belum ada yang bisa bermain bola dengan baik. Dia tidak memperhitungkan kelompok individu yang secara usia, kesehatan jasmani-rohani, atau (tanpa bermaksud mendiskriminasi) gender, tidak mampu bermain bola. Dia juga menggeneralisasikan tiap 230juta-an penduduk Indonesia berprofesi sebagai pesepakbola profesional yang bisa bermain bagi TimNas.
Dia bilang, “..dari 230juta-an orang Indonesia, kayaknya susah banget nyari 11 orang yang bisa main bola dengan baik..”. Dalam konteks Sumber Daya Manusia, semakin banyak anggota dalam suatu kelompok spesifik, akan semakin sulit untuk mengambil orang-orang unggul dari kelompok tersebut. Intinya, tanpa ada proses pembinaan dan kaderisasi yang terstruktur, ya memang susah banget untuk mendapatkan pemain-pemain bertalenta untuk bermain bagi TimNas. Jadi, yang lebih tidak keliru adalah bahwa yang seharusnya disalahkan yaitu kurang baiknya proses pembinaan dan kaderisasi yang ditangani oleh para stakeholder persepakbolaan nasional kita, karena mereka belum mampu memaksimalisasi potensi berlimpah yang disediakan oleh populasi kita, bukan populasi-nya!
Fakta di negara lain bisa dijadikan landasan bagi argumen saya. Republik Rakyat China, dengan populasi lebih dari 1 milyar jiwa, baru sekali lolos ke putaran final Piala Dunia. Itupun mereka jadi bulan-bulanan Brazil, Turki, dan Kosta Rika. Di level Asia pun TimNas mereka juga sudah cukup lama tidak meraih prestasi membanggakan. Bahkan India yang jumlah penduduknya terbanyak nomer 2 di dunia pun tidak pernah lolos ke putaran final Piala Dunia. Kalo emang populasi menentukan prestasi, ya seharusnya RRC dan India udah jadi juara dunia dong..
Mungkin komentar si seleb tadi hanya merupakan emosi sesaat, jadi wajar kalo komentarnya tidak memiliki landasan yang kuat.. mungkin,,
:D