Sebagian orang beranggapan menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion sama saja dengan buang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Anggapan tersebut benar adanya. Menyaksikan pertandingan melalui layar kaca, baik di rumah atau di lokasi-lokasi nonton bareng tentunya lebih hemat biaya. Juga, lebih banyak waktu yang dikorbankan dan lebih banyak tenaga yang dikeluarkan jika harus datang ke stadion. Muncul pertanyaan, mengapa setiap kali ada pertandingan sepak bola, baik di level liga atau level antar-negara, stadion tempat berlangsungnya pertandingan acapkali tampak penuh? Apakah mereka yang datang ke stadion memiliki anggapan yang berbeda dengan sebagian orang yang dijelaskan di 4 kalimat awal paragraf?
Pada dasarnya, menonton sepak bola langsung di stadion bisa disamakan dan diperbandingkan dengan menonton konser musik. Jika kita bisa mendengarkan lagu melalui radio, iPod, MP3, atau teknologi pemutar musik lainnya, lalu mengapa konser musik sering dihadiri banyak penonton? Pertanyaan tersebut memiliki persamaan dengan pertanyaan pertama yang dijabarkan di paragraf sebelumnya. Apa yang dimiliki oleh stadion sepak bola dan konser musik, yang “dibeli” oleh para attendance-nya?
Olah raga dan musik zaman sekarang adalah bagian dari industri besar berbasis bisnis hiburan (entertainment business). Keduanya memiliki komoditi dan konsumennya masing-masing. Bagaimana cara para pelakunya untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah dengan cara “menjual” apa yang mereka punya, yaitu keahlian dan kiat. Kedua hal tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi konsumen industri hiburan. Pada dasarnya, keahlian dan kiat-kiat yang dimiliki oleh para pelaku dunia olah raga dan musik dikemas dan “dijual” kepada para konsumennya dalam bentuk jasa (service). Mereka “menjual” keahlian dan kiat-kiat yang mereka miliki guna memberikan kepuasan batiniah (terkadang juga lahiriah) kepada siapa saja yang menikmatinya. Namun seiring berkembangnya industri hiburan, jasa (service) yang diberikan mulai diiringi dengan satu komoditi lain, yaitu pengalaman (experience).
Selain service, yang didapat oleh mereka yang datang ke stadion dan yang datang ke konser musik adalah experience. Tidak seperti menonton pertandingan melalui televisi atau mendengarkan rekaman lagu dari alat pemutar lagu, dengan datang ke stadion atau konser musik mereka dapat merasakan dan menikmati service secara nyata dan langsung. Hal tersebut tentu memberikan pengalaman dan kepuasan tersendiri. Karena pada dasarnya, experience adalah “produk” yang berbeda dengan service, experience harus mampu memberikan penawaran yang bisa melekat dalam benak para konsumennya untuk waktu yang lama sehingga mereka akan merasa puas ketika mengingat-ingat pengalaman yang mereka rasakan ketika menikmati hiburan secara nyata dan langsung. Untuk itu, para pelaku industri olah raga dan musik harus mampu memberikan suatu sensasi yang berbeda bagi konsumennya yang ingin menikmati performance mereka secara langsung. Untuk merasakan sensasi tersebut, dibutuhkan juga partisipasi aktif dari para konsumennya. Apa bedanya dengan menonton di televisi atau mendengar lewat alat pemutar lagu jika kita hanya menikmati pertandingan di stadion atau panggung secara pasif tanpa turut berpartisipasi dalam kegiatan khas tribun stadion atau festival panggung seperti koreografi massal atau teriakkan yel-yel dan nyanyian? Dibutuhkan keahlian dan kiat-kiat khusus dari para aktor sepak bola dan musik untuk dapat mempersonalisasikan secara dinamis setiap kejadian baik di atas lapangan maupun di atas panggung, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemauan, serta karakteristik sikap para konsumennya yang sedang menikmati pertunjukan mereka secara langsung. Dalam hal ini, tekanan pada pemain sepak bola akan lebih besar karena mereka harus concern pada aspek estetik, atletik, dan kompetitif dalam performance mereka, sementara para musisi cukup dengan fokus pada aspek estetik.
Kembali ke bahasan khusus mengenai sepak bola, ada hal lain yang mendorong orang untuk datang ke stadion untuk menonton pertandingan secara langsung selain untuk mendapatkan experience. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecintaan seorang penggemar sepak bola terhadap tim yang dibelanya. Seperti yang telah dijabarkan di paragraf pembuka, menonton di stadion membutuhkan pengorbanan lebih dalam hal waktu, biaya, dan tenaga. Mereka yang rela mengorbankan hal-hal tersebut untuk bisa datang ke stadion dan memberikan dukungan secara langsung, mengindikasikan rasa simpati mereka yang dalam terhadap tim yang mereka bela. Tingkat pengidentifikasian diri mereka ke dalam tim yang mereka dukung telah memunculkan sense of belonging yang begitu kuat sehingga mereka rela mengeluarkan lebih banyak biaya dan tenaga, serta meluangkan lebih banyak waktu demi mendapatkan kesempatan untuk bisa memberikan dukungan secara langsung.
Pada praktiknya, service yang diberikan kepada para penonton di stadion tidak hanya “disediakan” dari pertandingan yang mereka saksikan, tetapi juga dari stadion itu sendiri. Service dari stadion antara lain penyediaan sarana dan prasarana untuk memfasilitasi orang-orang yang datang. Berdasarkan pengalaman pribadi, sarana dan prasarana yang ada di stadion-stadion di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan stadion-stadion di luar negeri seperti di kawasan Asia Timur dan Eropa. Hal ini tentunya berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan, yang pada akhirnya cukup berpengaruh pada preferensi seseorang untuk datang ke stadion di Indonesia.
Juga dilihat dari segi prestasi, sepak bola Indonesia sudah cukup lama mendambakan raihan gelar prestisius untuk setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Terakhir kali Tim Nasional (TimNas) Indonesia berjaya di ajang antar-negara adalah di South East Asian Games 1991 di Manila dengan merebut medali emas. Lebih dari 2 dekade berlalu, prestasi tak kunjung datang. Yang ada, Tim Garuda hanya menjadi tim yang “hampir juara” dengan beberapa kali menjadi runner-up di berbagai cabang.
Namun rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh stadion-stadion di Indonesia, serta prestasi yang seakan-akan semakin menjauh dari genggaman, tidak menurunkan antusiasme masyarakat Indonesia untuk datang ke stadion, menonton langsung pertandingan-pertandingan level liga ataupun laga TimNas. Hal ini menunjukkan bahwa sepak bola, bagaimanapun juga adalah dagangan experience yang ajaib. Konsumen sepak bola pada dasarnya membeli experience, sebuah pengalaman. Sering kali mereka tidak tahu alasannya secara rasional, namun bisa merasakannya secara emosional bahkan sampai ke spiritual. Maka dari itu, meski kalau ditelaah secara rasional kualitas sepak bola kita tidak begitu menawan, stadion tetap ramai.
¡Hasta luego!
Sumber:
Darwin, Waizly. 2011. “Branding the (League) Experience, Experiencing the (Club) Brand”. Marketeers, March 2011.
Dolles, Harald and Sten Söderman. 2005. Globalization of Sports - The Case of Professional Football and its International Management Challenges. Tokyo: German Institute for Japanese Studies.
Fisher, R.J., and K. Wakefield. 1998. “Factors leading to group identification: a field study of winners and losers”. Psychology and Marketing, Vol. 15, No. 1, pp. 23-40.
Pine II, B.J., and J.H. Gilmore. 1999. The Experience Economy. Boston, MASS: Harvard Business School Press.
Pada dasarnya, menonton sepak bola langsung di stadion bisa disamakan dan diperbandingkan dengan menonton konser musik. Jika kita bisa mendengarkan lagu melalui radio, iPod, MP3, atau teknologi pemutar musik lainnya, lalu mengapa konser musik sering dihadiri banyak penonton? Pertanyaan tersebut memiliki persamaan dengan pertanyaan pertama yang dijabarkan di paragraf sebelumnya. Apa yang dimiliki oleh stadion sepak bola dan konser musik, yang “dibeli” oleh para attendance-nya?
Olah raga dan musik zaman sekarang adalah bagian dari industri besar berbasis bisnis hiburan (entertainment business). Keduanya memiliki komoditi dan konsumennya masing-masing. Bagaimana cara para pelakunya untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah dengan cara “menjual” apa yang mereka punya, yaitu keahlian dan kiat. Kedua hal tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi konsumen industri hiburan. Pada dasarnya, keahlian dan kiat-kiat yang dimiliki oleh para pelaku dunia olah raga dan musik dikemas dan “dijual” kepada para konsumennya dalam bentuk jasa (service). Mereka “menjual” keahlian dan kiat-kiat yang mereka miliki guna memberikan kepuasan batiniah (terkadang juga lahiriah) kepada siapa saja yang menikmatinya. Namun seiring berkembangnya industri hiburan, jasa (service) yang diberikan mulai diiringi dengan satu komoditi lain, yaitu pengalaman (experience).
Selain service, yang didapat oleh mereka yang datang ke stadion dan yang datang ke konser musik adalah experience. Tidak seperti menonton pertandingan melalui televisi atau mendengarkan rekaman lagu dari alat pemutar lagu, dengan datang ke stadion atau konser musik mereka dapat merasakan dan menikmati service secara nyata dan langsung. Hal tersebut tentu memberikan pengalaman dan kepuasan tersendiri. Karena pada dasarnya, experience adalah “produk” yang berbeda dengan service, experience harus mampu memberikan penawaran yang bisa melekat dalam benak para konsumennya untuk waktu yang lama sehingga mereka akan merasa puas ketika mengingat-ingat pengalaman yang mereka rasakan ketika menikmati hiburan secara nyata dan langsung. Untuk itu, para pelaku industri olah raga dan musik harus mampu memberikan suatu sensasi yang berbeda bagi konsumennya yang ingin menikmati performance mereka secara langsung. Untuk merasakan sensasi tersebut, dibutuhkan juga partisipasi aktif dari para konsumennya. Apa bedanya dengan menonton di televisi atau mendengar lewat alat pemutar lagu jika kita hanya menikmati pertandingan di stadion atau panggung secara pasif tanpa turut berpartisipasi dalam kegiatan khas tribun stadion atau festival panggung seperti koreografi massal atau teriakkan yel-yel dan nyanyian? Dibutuhkan keahlian dan kiat-kiat khusus dari para aktor sepak bola dan musik untuk dapat mempersonalisasikan secara dinamis setiap kejadian baik di atas lapangan maupun di atas panggung, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemauan, serta karakteristik sikap para konsumennya yang sedang menikmati pertunjukan mereka secara langsung. Dalam hal ini, tekanan pada pemain sepak bola akan lebih besar karena mereka harus concern pada aspek estetik, atletik, dan kompetitif dalam performance mereka, sementara para musisi cukup dengan fokus pada aspek estetik.
Kembali ke bahasan khusus mengenai sepak bola, ada hal lain yang mendorong orang untuk datang ke stadion untuk menonton pertandingan secara langsung selain untuk mendapatkan experience. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecintaan seorang penggemar sepak bola terhadap tim yang dibelanya. Seperti yang telah dijabarkan di paragraf pembuka, menonton di stadion membutuhkan pengorbanan lebih dalam hal waktu, biaya, dan tenaga. Mereka yang rela mengorbankan hal-hal tersebut untuk bisa datang ke stadion dan memberikan dukungan secara langsung, mengindikasikan rasa simpati mereka yang dalam terhadap tim yang mereka bela. Tingkat pengidentifikasian diri mereka ke dalam tim yang mereka dukung telah memunculkan sense of belonging yang begitu kuat sehingga mereka rela mengeluarkan lebih banyak biaya dan tenaga, serta meluangkan lebih banyak waktu demi mendapatkan kesempatan untuk bisa memberikan dukungan secara langsung.
Pada praktiknya, service yang diberikan kepada para penonton di stadion tidak hanya “disediakan” dari pertandingan yang mereka saksikan, tetapi juga dari stadion itu sendiri. Service dari stadion antara lain penyediaan sarana dan prasarana untuk memfasilitasi orang-orang yang datang. Berdasarkan pengalaman pribadi, sarana dan prasarana yang ada di stadion-stadion di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan stadion-stadion di luar negeri seperti di kawasan Asia Timur dan Eropa. Hal ini tentunya berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan, yang pada akhirnya cukup berpengaruh pada preferensi seseorang untuk datang ke stadion di Indonesia.
Juga dilihat dari segi prestasi, sepak bola Indonesia sudah cukup lama mendambakan raihan gelar prestisius untuk setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Terakhir kali Tim Nasional (TimNas) Indonesia berjaya di ajang antar-negara adalah di South East Asian Games 1991 di Manila dengan merebut medali emas. Lebih dari 2 dekade berlalu, prestasi tak kunjung datang. Yang ada, Tim Garuda hanya menjadi tim yang “hampir juara” dengan beberapa kali menjadi runner-up di berbagai cabang.
Namun rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh stadion-stadion di Indonesia, serta prestasi yang seakan-akan semakin menjauh dari genggaman, tidak menurunkan antusiasme masyarakat Indonesia untuk datang ke stadion, menonton langsung pertandingan-pertandingan level liga ataupun laga TimNas. Hal ini menunjukkan bahwa sepak bola, bagaimanapun juga adalah dagangan experience yang ajaib. Konsumen sepak bola pada dasarnya membeli experience, sebuah pengalaman. Sering kali mereka tidak tahu alasannya secara rasional, namun bisa merasakannya secara emosional bahkan sampai ke spiritual. Maka dari itu, meski kalau ditelaah secara rasional kualitas sepak bola kita tidak begitu menawan, stadion tetap ramai.
¡Hasta luego!
Sumber:
Darwin, Waizly. 2011. “Branding the (League) Experience, Experiencing the (Club) Brand”. Marketeers, March 2011.
Dolles, Harald and Sten Söderman. 2005. Globalization of Sports - The Case of Professional Football and its International Management Challenges. Tokyo: German Institute for Japanese Studies.
Fisher, R.J., and K. Wakefield. 1998. “Factors leading to group identification: a field study of winners and losers”. Psychology and Marketing, Vol. 15, No. 1, pp. 23-40.
Pine II, B.J., and J.H. Gilmore. 1999. The Experience Economy. Boston, MASS: Harvard Business School Press.