Kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata yaitu ‘demos’ yang berarti ‘people’, dan ‘kratein’ yang berarti ‘to rule’. Secara literal, ‘demokrasi’ berarti ‘pemerintahan rakyat’, namun makna sebenarnya dari kata ‘demokrasi’ bisa kita cerna melalui penjelasan yang diutarakan oleh Abraham Lincoln, yakni ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’.
Inti dari demokrasi adalah kebebasan. Prinsip kebebasan berarti tiap-tiap individu memiliki perannya masing-masing dan bebas mengutarakan keinginannya. Kebebasan bagi setiap individu untuk ‘bersuara’, mengajukan pendapat dan argumennya. Dari kebebasan tersebut, individu-individu dapat ikut serta dalam suatu decision-making process yang kelak akan mengatur kehidupan mereka.
Namun ternyata, prinsip kebebasan yang diusung dalam demokrasi bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan proses demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak? Perbedaan persepsi dari tiap-tiap individu yang terlibat dalam proses demokrasi, jika tidak bisa diakomodir secara adil, maka bisa berujung pada anarki. Memang, tiap individu diberi hak untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Tetapi jika individu yang terlibat berjumlah banyak dengan persepsinya masing-masing, maka akan sulit untuk menemukan persamaan pendapat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi Plato untuk menyebut bahwa demokrasi merupakan ‘sesuatu yang buruk’.
Namun di luar segala keburukannya, pada kenyataannya banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh persepsi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling adil yang bisa diterapkan.
Apa hubungan demokrasi dengan sepak bola?
Dalam sepak bola, demokrasi tidak berlaku. Dalam permainan sepak bola, tiap pemain harus bermain sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, dan harus patuh pada setiap keputusan wasit. Wasit yang memiliki kekuasaan penuh dalam suatu pertandingan sepak bola. Dia berhak menentukan gol mana yang sah, mana yang tidak; mana yang pelanggaran, mana yang bukan; siapa yang boleh tetap bertanding, siapa yang harus keluar lapangan. Jika wasit sudah mengeluarkan keputusan, maka tidak ada lagi argumen, tidak ada lagi pihak yang mengutarakan pendapatnya guna merubah keputusan tersebut. Baik itu pemain, pelatih, atau penonton.
Lalu bagaimana dengan demokrasi dan sepak bola Indonesia?
Pada 20 Mei lalu, terjadi kekisruhan dalam Kongres PSSI yang dimandatkan oleh FIFA kepada Komite Normalisasi (KN). Kongres yang diagendakan untuk memilih ketua dan wakil ketua umum beserta komite eksekutif PSSI periode 2011-2015, terpaksa dihentikan oleh pimpinan kongres Agum Gumelar yang bertindak sebagai ketua KN, karena menganggap situasi kongres sudah tidak kondusif lagi. Kongres yang juga dihadiri perwakilan dari FIFA tersebut, dihujani oleh interupsi dari pesertanya, khususnya yang berasal dari suatu kelompok.
Kelompok tersebut terkesan memaksakan kepentingan kelompoknya dengan melayangkan permintaan-permintaan serta argumen-argumen yang memojokkan KN. Sikap tersebut bahkan ditengarai sebagai bentuk pembangkangan terhadap KN dan FIFA karena kepentingan kelompok tersebut tidak bisa diakomodir oleh KN maupun FIFA. Cara mereka melayangkan argumen mencerminkan sikap pembangkangan mereka. Hal tersebut menyulut reaksi dari peserta kongres lainnya yang menghendaki kongres berjalan sesuai dengan agenda, hingga berujung pada adu argumen yang sengit antara kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya pimpinan kongres menghentikan sidang tanpa menyelesaikan satupun agenda yang ditetapkan sebelumnya.
Kejadian dalam kongres tersebut mencerminkan sisi buruk dari demokrasi. Ketika kepentingan suatu pihak tidak dapat terpenuhi, dan pihak yang dimaksud melihat hal tersebut sebagai bentuk ketidakadilan, maka akan muncul ketidakpuasan yang berujung pada pembangkangan.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, dan hal tersebut terus diimplementasikan, khususnya dalam bidang keorganisasian. Termasuk juga dalam organisasi sepak bola seperti PSSI. Pelaksanaan kongres adalah suatu bentuk dari implementasi demokrasi, terutama dalam hal pemilihan ketua dan wakil ketua umum beserta jajaran komite eksekutif. Namun ketika kongres tersebut berjalan ‘terlalu demokratis’, bukan tidak mungkin akan muncul tindak anarkis. Hal tersebut sangat disayangkan, karena dengan gagalnya kongres tersebut, kemungkinan besar PSSI akan dikenai sanksi oleh FIFA.
Namun itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Bahwa negara ini ‘terlalu demokratis’. Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah dan hanya memikirkan kepentingannya masing-masing.
Hal tersebut merembet ke dalam sepak bola. Selain kekisruhan dalam kongres tadi, kejadian seperti keributan antar-pemain atau tawuran antar-suporter seringkali mewarnai cerita persepakbolaan Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘terlalu demokratis’nya para pelaku persepakbolaan Indonesia. Pemain tidak bisa menerima keputusan wasit, berujung pada perekelahian atau penyerangan kepada wasit. Suporter suatu tim tidak bisa menerima kekalahan, akhirnya bertindak anarkis yang berujung pada tawuran antar-suporter.
Sepak bola memang tidak menerapkan demokrasi. Namun alangkah baiknya jika nilai-nilai positif dalam demokrasi bisa digunakan di sepak bola. Prinsip ‘bebas bertanggung jawab’ berarti pemain bebas mengeluarkan skill individunya ketika bermain dan berkreasi di atas lapangan hijau. Namun pemain tersebut tetap harus tunduk pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh wasit. Begitu juga dengan para pemangku jabatan di PSSI.
Perlu diingat bahwa dalam konteks organisasi sepak bola dunia, PSSI adalah ‘pemain’ dan FIFA adalah ‘wasit’. Ketika ‘pemain’ tidak bisa mengontrol emosi dan terus memaksakan kehendaknya, bukan tidak mungkin ‘wasit’ akan memberikan hukuman.
Inti dari demokrasi adalah kebebasan. Prinsip kebebasan berarti tiap-tiap individu memiliki perannya masing-masing dan bebas mengutarakan keinginannya. Kebebasan bagi setiap individu untuk ‘bersuara’, mengajukan pendapat dan argumennya. Dari kebebasan tersebut, individu-individu dapat ikut serta dalam suatu decision-making process yang kelak akan mengatur kehidupan mereka.
Namun ternyata, prinsip kebebasan yang diusung dalam demokrasi bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan proses demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak? Perbedaan persepsi dari tiap-tiap individu yang terlibat dalam proses demokrasi, jika tidak bisa diakomodir secara adil, maka bisa berujung pada anarki. Memang, tiap individu diberi hak untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Tetapi jika individu yang terlibat berjumlah banyak dengan persepsinya masing-masing, maka akan sulit untuk menemukan persamaan pendapat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi Plato untuk menyebut bahwa demokrasi merupakan ‘sesuatu yang buruk’.
Namun di luar segala keburukannya, pada kenyataannya banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh persepsi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling adil yang bisa diterapkan.
Apa hubungan demokrasi dengan sepak bola?
Dalam sepak bola, demokrasi tidak berlaku. Dalam permainan sepak bola, tiap pemain harus bermain sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, dan harus patuh pada setiap keputusan wasit. Wasit yang memiliki kekuasaan penuh dalam suatu pertandingan sepak bola. Dia berhak menentukan gol mana yang sah, mana yang tidak; mana yang pelanggaran, mana yang bukan; siapa yang boleh tetap bertanding, siapa yang harus keluar lapangan. Jika wasit sudah mengeluarkan keputusan, maka tidak ada lagi argumen, tidak ada lagi pihak yang mengutarakan pendapatnya guna merubah keputusan tersebut. Baik itu pemain, pelatih, atau penonton.
“Sepak bola adalah anak kandung kesayangan peradaban manusia yang melawan anak terbaik dan tercerdasnya sendiri: demokrasi.” – Vikry Pristian.
Begitupun juga dalam hal hirearki keorganisasian sepak bola dunia. FIFA sebagai induk olah raga ini, berkuasa penuh atas segala hal yang berkaitan dengan sepak bola mulai dari yang amatir sampai profesional. Setiap negara anggota FIFA, melalui asosiasinya, tentu mengadopsi setiap aturan dan standar yang ditetapkan oleh FIFA ketika melangsungkan pertandingan sepak bola resmi. Hingga bisa dibilang bahwa FIFA adalah ‘wasit’ sementara anggota-anggotanya adalah ‘pemain’. Oleh karenanya, setiap negara anggota FIFA harus tunduk pada keputusan dan aturan yang ditetapkan oleh FIFA, jika tidak ingin dikenai sanksi.
Lalu bagaimana dengan demokrasi dan sepak bola Indonesia?
Pada 20 Mei lalu, terjadi kekisruhan dalam Kongres PSSI yang dimandatkan oleh FIFA kepada Komite Normalisasi (KN). Kongres yang diagendakan untuk memilih ketua dan wakil ketua umum beserta komite eksekutif PSSI periode 2011-2015, terpaksa dihentikan oleh pimpinan kongres Agum Gumelar yang bertindak sebagai ketua KN, karena menganggap situasi kongres sudah tidak kondusif lagi. Kongres yang juga dihadiri perwakilan dari FIFA tersebut, dihujani oleh interupsi dari pesertanya, khususnya yang berasal dari suatu kelompok.
Kelompok tersebut terkesan memaksakan kepentingan kelompoknya dengan melayangkan permintaan-permintaan serta argumen-argumen yang memojokkan KN. Sikap tersebut bahkan ditengarai sebagai bentuk pembangkangan terhadap KN dan FIFA karena kepentingan kelompok tersebut tidak bisa diakomodir oleh KN maupun FIFA. Cara mereka melayangkan argumen mencerminkan sikap pembangkangan mereka. Hal tersebut menyulut reaksi dari peserta kongres lainnya yang menghendaki kongres berjalan sesuai dengan agenda, hingga berujung pada adu argumen yang sengit antara kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya pimpinan kongres menghentikan sidang tanpa menyelesaikan satupun agenda yang ditetapkan sebelumnya.
Kejadian dalam kongres tersebut mencerminkan sisi buruk dari demokrasi. Ketika kepentingan suatu pihak tidak dapat terpenuhi, dan pihak yang dimaksud melihat hal tersebut sebagai bentuk ketidakadilan, maka akan muncul ketidakpuasan yang berujung pada pembangkangan.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, dan hal tersebut terus diimplementasikan, khususnya dalam bidang keorganisasian. Termasuk juga dalam organisasi sepak bola seperti PSSI. Pelaksanaan kongres adalah suatu bentuk dari implementasi demokrasi, terutama dalam hal pemilihan ketua dan wakil ketua umum beserta jajaran komite eksekutif. Namun ketika kongres tersebut berjalan ‘terlalu demokratis’, bukan tidak mungkin akan muncul tindak anarkis. Hal tersebut sangat disayangkan, karena dengan gagalnya kongres tersebut, kemungkinan besar PSSI akan dikenai sanksi oleh FIFA.
Namun itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Bahwa negara ini ‘terlalu demokratis’. Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah dan hanya memikirkan kepentingannya masing-masing.
Hal tersebut merembet ke dalam sepak bola. Selain kekisruhan dalam kongres tadi, kejadian seperti keributan antar-pemain atau tawuran antar-suporter seringkali mewarnai cerita persepakbolaan Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘terlalu demokratis’nya para pelaku persepakbolaan Indonesia. Pemain tidak bisa menerima keputusan wasit, berujung pada perekelahian atau penyerangan kepada wasit. Suporter suatu tim tidak bisa menerima kekalahan, akhirnya bertindak anarkis yang berujung pada tawuran antar-suporter.
“The negative side of football. The negative side of our society. People sometimes go to football and bring to it the negative aspects of our society.“- Jose Mourinho.Demokrasi bisa menjadi hal yang baik, jika prinsip kebebasan yang diusungnya dapat dipraktekkan dengan penuh tanggung jawab oleh masing-masing pihak. Mengakui kekalahan demi memajukan kepentingan umum merupakan salah satu cerminan dari tanggung jawab tersebut.
Sepak bola memang tidak menerapkan demokrasi. Namun alangkah baiknya jika nilai-nilai positif dalam demokrasi bisa digunakan di sepak bola. Prinsip ‘bebas bertanggung jawab’ berarti pemain bebas mengeluarkan skill individunya ketika bermain dan berkreasi di atas lapangan hijau. Namun pemain tersebut tetap harus tunduk pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh wasit. Begitu juga dengan para pemangku jabatan di PSSI.
Perlu diingat bahwa dalam konteks organisasi sepak bola dunia, PSSI adalah ‘pemain’ dan FIFA adalah ‘wasit’. Ketika ‘pemain’ tidak bisa mengontrol emosi dan terus memaksakan kehendaknya, bukan tidak mungkin ‘wasit’ akan memberikan hukuman.