Dalam beraktivitas, manusia banyak terbantu oleh perkembangan IT (Information Technology). Salah satu unsur dari IT adalah penemuan perangkat komputer sebagai alat untuk mendukung produktivitas dan efektivitas manusia dalam bekerja. Hingga sekarang, perkembangan IT di bidang komputer telah memunculkan berbagai macam perangkat dan media, baik yang utama maupun pendukung, yang berkaitan dengan penggunaan komputer itu sendiri.
Salah satu media pendukung komputer yang semakin sering digunakan pada pertengahan dekade pertama abad ke-21 adalah USB-flashdisk, yang bagi orang awam Indonesia dikenal sebagai ’flesdis’ atau juga sering disebut “USB” (yu-es-bi). Yang dikenal sebagai USB-flashdisk di Indonesia adalah media penyimpanan (storage media) berjenis perangkat keras (hardware) yang bisa menyimpan berbagai macam jenis data (file) komputer dalam kapasitas tertentu, dengan ukuran yang kecil dan bentuk yang praktis. Keberadaan USB-flashdisk sebagai media penyimpanan file komputer telah menggeser peran disket atau floppy disc. Bentuk dan ukuran USB-flashdisk yang lebih praktis, proses transfer data yang cepat, serta kapasitas penyimpanan file yang lebih besar, telah membuat orang mulai meninggalkan disket dan floppy disc.
Namun dibalik kegunaannya yang sangat membantu khususnya bagi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir atau skripsi, ternyata penyebutan ‘USB’ atau ‘flashdisk’ sebagai media penyimpanan file komputer yang berukuran kecil dan praktis dengan kapasitas penyimpanan yang besar dan proses transfer data yang cepat, adalah keliru!
Keliru jika menyebut ‘USB’ karena ‘USB’ adalah singkatan dari Universal Serial Bus, yakni perangkat penghubung antara komputer dengan perangkat hardware lainnya. Penjelasan singkatnya: USB hanya konektor antara komputer dengan hardware. Sementara penjelasan awamnya: USB cuma ‘colokan’nya saja.Keliru pula jika menyebutnya ‘flashdisk’, karena unsur ‘disk’ yang berasal dari ‘disc’ dalam kata ‘flashdisk’ yang berarti cakram. Tidak ada lempengan cakram (disc) yang digunakan dalam perangkat tersebut, yang digunakan adalah chip yang berfungsi untuk merekam informasi yang tertera dalam file yang disimpan. Berbeda dengan disket atau floppy disc, yang memang menggunakan lempengan cakram.
Sebutan yang lebih-tidak-keliru bagi perangkat media penyimpanan yang dimaksud dalam blogpost ini adalah ‘flashdrive’. Unsur ‘flash’ dalam kata tersebut bermakna ‘cepat’, karena transfer data yang dijalankan ketika menggunakan flashdrive pada komputer berlangsung dengan cepat, yang setidaknya lebih cepat dibanding disket atau floppy disc. Sementara unsur ‘drive’ di sini bukan berarti ‘mengemudikan’ atau ‘menyetir’ tetapi berarti ‘media penyimpanan’. Istilah ‘drive’ dalam dunia komputer dan teknologi informasi memang dimengerti sebagai ‘media penyimpanan’ (hard-disc komputer umumnya muncul dengan sebutan ‘Drive (D:)’).As a matter of fact, di luar negeri, perangkat yang dimaksud dalam blogpost ini memang dikenal dengan sebutan ‘flashdrive’, dan hampir tidak ada yang menyebutnya dengan sebutan ‘flashdisk’ atau hanya 'USB'. Cuma di Indonesia saja yang menyebut perangkat tersebut dengan sebutan ‘USB’ atau ‘flashdisk’. Entah darimana sebutan 'USB' atau ‘flashdisk’ itu pertama kali muncul di Indonesia.
Bulan Ramadhan beberapa tahun lalu, saya bersama teman-teman kampus mengadakan acara buka puasa bersama di sebuah mall di bilangan Pondok Indah, Jakarta. Menjelang buka puasa, kami berkumpul di food court sambil menunggu adzan maghrib berkumandang. Di tengah hiruk pikuk kerumunan orang yang memenuhi food court tersebut, saya sempat mendengar seorang yang berpenampilan layaknya Anak Gaul Jakarta (AGJ) sedang bercengkerama dengan temannya lewat handphone dengan menggunakan bahasa Inggris, yang kira-kira ucapannya seperti ini, “Where are you? I’m already in the food court, waiting for ‘open puasa’….”
Frase ‘open puasa’ yang diucapkan oleh AGJ tersebut terasa aneh di telinga saya, dan saat itu juga saya berpikir bahwa frase itu keliru. ‘Open puasa’ jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia memang jadi ‘buka puasa’, tapi ‘buka puasa’ dalam Bahasa Indonesia memiliki arti tersendiri, dan yang pasti bukan berarti ‘membuka’ seperti halnya ‘membuka pintu’, bukan! 'Open' dalam bahasa Inggris artinya memang ‘buka’, tapi ‘buka puasa’ dalam Bahasa Indonesia bukan berarti kita ‘membuka sesuatu yang disebut puasa’. ‘Buka puasa’ dalam Bahasa Indonesia hanya merupakan frase kiasan untuk menjelaskan kegiatan membatalkan atau menyelesaikan ibadah puasa.
Lalu, apa kata yang tepat untuk mengucapkan ‘buka puasa’ dalam bahasa Inggris?
Dari kekeliruan tersebut, saya melakukan sedikit analisis untuk mencari kata dalam bahasa Inggris yang tepat untuk mengartikan ‘buka puasa’. Dalam bahasa Inggris, ‘puasa’ disebut ‘fast’. Lalu saya teringat salah satu kata dalam bahasa Inggris yang ada unsur ‘fast’-nya, yaitu ‘breakfast’, yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘sarapan’ atau ‘santap pagi’. Namun jika ditilik secara epistemologis, ‘breakfast’ berasal dari dua kata yang digabung yakni ‘break’ yang artinya menghancurkan, tapi bisa juga berarti memecahkan, mematahkan, memutuskan, dan menghentikan. Lalu berikutnya ada kata ‘fast’ yang dalam konteks ini berarti ‘puasa’, bukan berarti ‘cepat’.
Sebagai catatan, dalam bahasa Spanyol, kata kerja 'breakfast' disebut 'desayunar', yang sama-sama dibentuk dari dua kata yang digabung yaitu 'des' yang bisa berarti memutuskan, menghancurkan dan menghentikan, serta satu lagi adalah kata 'ayunar' yang berarti 'to fast', atau Bahasa Indonesia-nya 'puasa'.
Kembali ke terjemahan awal, bahwa ‘breakfast’ berarti ‘sarapan’ atau ‘santap pagi’, yang berarti kegiatan tersebut dilakukan di pagi hari setelah malam sebelumnya kita beristirahat tidur. Jika dilihat dari sisi logikanya, selama kita beristirahat tidur di malam hari, kita tidak makan sama sekali, yang bisa berarti juga kita berpuasa! Dan sama halnya dengan sebagian besar dari kita yang ketika berpuasa di Bulan Suci Ramadhan, kegiatan kita di siang hari ketika tidak sedang bekerja, biasanya adalah tidur! Lalu satu lagi, kegiatan yang paling umum dilakukan oleh orang-orang untuk ‘menghentikan puasa’, ya makan!
Jadi, terjemahan kata ‘breakfast’ ke Bahasa Indonesia secara lengkap adalah ‘makan di pagi hari untuk menghentikan kegiatan puasa yang dilakukan sebelumnya ketika sedang istirahat tidur di malam hari’. Jika artinya diringkas dan dipadatkan dengan difokuskan pada jenis kegiatan, bukan pada waktu melakukan kegiatan tersebut, kata ‘breakfast’ akan bermakna ‘makan untuk menghentikan puasa’.
Maka kesimpulannya adalah, ‘buka puasa’ jika diterjemahkan ke bahasa Inggris akan lebih tepat jika disebut ‘breakfast’. Pada hakikatnya, 'breakfast' berarti ‘sarapan’ atau ‘santap pagi’, tetapi jika kita memfokuskan kata ‘breakfast’ dari kata-kata yang menyusunnya, yakni ‘break’ dan ‘fast’, maka ‘breakfast’ juga bisa berarti ‘buka puasa’, meskipun ‘buka puasa’ umumnya tidak dilakukan di pagi hari. ‘Breakfast’ memiliki dua arti, namun bisa dibedakan berdasarkan konteks dan waktu pembicaraannya. Jika diucapkan di pagi hari berarti ‘sarapan’ atau ‘santap pagi’, jika diucapkan menjelang adzan maghrib, khususnya di Bulan Ramadhan, berarti ‘buka puasa’.
So, AGJ, you might want to rephrase your sentence….
Pada tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta akhirnya meluncurkan alat transportasi umum baru yang dikenal dengan nama Busway. Dalam pengoperasiannya, Busway memiliki satu jalur tersendiri yang dikhususkan baginya untuk melintasi jalan raya yang masuk dalam koridor trayeknya. Sistem pengoperasian yang nyatanya mengurangi jumlah jalur di jalan raya ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan parah di ibukota, meskipun pada kenyataannya justru semakin parah! Ya, dengan adanya alat transportasi umum yang bisa melintas di jalur khusus tanpa harus terhambat macet, diharapkan masyarakat Jakarta akan lebih memilih untuk menggunakan Busway daripada berkendara dengan mobil pribadi. Namun pada kenyataannya, meskipun jumlah penumpang Busway semakin meningkat seiring dibukanya koridor-koridor baru di sejumlah ruas jalan, fenomena kemacetan ibukota masih terjadi dimana-mana. Terlepas dari kontroversi perannya, penyebutan Busway sebagai moda transportasi umum adalah keliru! Kata “Busway” sebenarnya merujuk pada jalur khusus bagi bus tertentu untuk melintas di koridor trayeknya, dimana ‘bus tertentu’ yang dimaksud adalah bus TransJakarta. Kata “Busway” merupakan gabungan dari kata “bus” dan “way” yang berarti “jalur”. Jadi, “Busway” itu jalurnya, bukan bus-nya! Jadi, orang yang menyebut, “Ke PIM naik Busway aja..” atau, “Gue tadi dari Blok M naik Busway.” Itu keliru! Begitu juga dengan rambu-rambu dilarang masuk (verboden) di perempatan jalan yang masuk dalam koridor bus TransJakarta yang tertulis “Kecuali Busway”, juga keliru!Penyebutan yang lebih benar bagi bus yang melintasi Busway adalah “TransJakarta”, dan saya pribadi mulai menyebutnya “TJ” (baca: Ti-Je), singkatan dari TransJakarta. Karena memang nama bus-nya ya TransJakarta, sementara nama jalurnya, Busway. Meskipun disebut “Busway”, jalur tersebut ternyata tidak diperuntukkan bagi seluruh jenis bus. Hanya jenis bus TransJakarta saja yang boleh melintasi jalur tersebut. Maka untuk rambu verboden di perempatan jalan yang masuk dalam koridor TransJakarta, lebih tepat jika ditulis “Kecuali TransJakarta”.Namun jika kita sedang menumpang bus TransJakarta dan hendak mengabari seseorang lewat telepon, SMS, atau update status seraya menyebutkan, “gue lagi di Busway nih,,” Itu tidaklah keliru. Karena ketika kita menumpang bus TransJakarta, otomatis kita akan berada di Busway.Penyebutan ini memang sedikit membingungkan, apalagi mengingat orang-orang dan media sudah mafhum menyebutnya dengan sebutan “Busway”. Namun itu semua kembali kepada kita masing-masing, mau menyebutnya dengan sebutan yang benar, atau dengan sebutan yang keliru namun sudah kadung dianggap benar? Either way, bagi saya yang orang Jakarta dari lahir, saya punya 'pepatah' untuk mereka yang belum pernah datang ke Jakarta: "Belum ke Jakarta kalau belum pernah naik Busway,, eh,, TJ!”
‘Kelirumologi’ adalah istilah yang dicetuskan oleh budayawan serbabisa Indonesia yang bernama Jaya Suprana. Istilah ini merujuk pada beberapa kekeliruan logkia dalam pembentukan, pengucapan, dan penggunaan kata atau frase dalam Bahasa Indonesia, yang terlalu sering dilakukan oleh masyarakat sehingga kadung dianggap benar. Nah, kelirumologi itu gunanya untuk mempelajari kekeliruan-kekeliruan yang udah terlanjur dianggap benar di tengah masyarakat.(lebih jelasnya bisa dilihat di sini)Maksud Jaya Suprana mencetuskan istilah ini bukanlah untuk mendakwa kesalahan orang lain, terus mencela atau menertawakannya, bukan. Melainkan untuk mendidik orang agar bisa berhenti melihat realitas secara one-dimensional. Dialektika realitas menyebutkan bahwa setiap kejadian, peristiwa, fenomena, dan issue yang kita dapat melalui berita dan informasi, tidak hanya memiliki sisi pro saja, tetapi juga ada sisi kontra-nya. Ada yang menganggap sesuatu itu benar, ada yang menganggap sesuatu itu salah. Peran kelirumologi disini adalah supaya orang bisa melihat ‘sesuatu’ dari dimensi yang lain, sehingga pada akhirnya orang bisa lebih bijak dalam menyikapi dan menanggapi ‘sesuatu’.
Jangan keliru menganggap inti dari kelirumologi adalah mencari-cari kesalahan. yang dicari oleh kelirumologi justru adalah kebenaran. Berbeda dengan konsep falsifikasi Karl Popper yang mencari kebenaran dari suatu fakta yang dianggap keliru, kelirumologi mencari kebenaran dari suatu fakta yang terlanjur dianggap benar oleh masyarakat, padahal sebenarnya fakta tersebut adalah jelas-jelas keliru!
Namun kelirumologi tetap berdasar pada salah satu statement dari falsifikasi Popper, bahwa kita semua itu fallible, selalu bisa, dan sering jadi keliru. Contohnya ya istilah ‘kelirumologi’ itu sendiri yang nyatanya keliru! Istilah tersebut berasal dari kata ‘keliru’ yang berarti ‘salah’, dan ‘logi’ (logos) yang berarti ‘ilmu’. Jika digabung, kedua kata tersebut seharusnya menghasilkan kata ‘kelirulogi’, namun Jaya Suprana sengaja menambahkan kata ‘mo’ diantara keduanya untuk sekedar menjelaskan, bahwa istilah yang dicetuskannya tersebut memang untuk mengajak kita semua menjadi peka terhadap kesalahkaprahan, kekeliruan.
Maka dari itu, mulai sekarang di blog saya bakal muncul label ‘kelirumologi’, yang berasal dari analisis kelirumologis di kehidupan sehari-hari saya. Tujuannya tentu bukan untuk mencari-cari kesalahan orang lain, melainkan untuk mengungkap kebenaran dari kekeliruan yang sifatnya mendasar dan terlanjur dianggap benar oleh kita semua. Lagipula, ngapain juga saya repot-repot nyari kekeliruan orang? Lha wong saya sendiri saja masih banyak kekeliruan, ga percaya? Liat aja strutktur penulisan kalimat dan kata di blogpost ini! Hehehe..
Akhir kata, selamat menikmati kajian kelirumologis dari saya, si ‘kelirumolog ngarep’ ini.
“Kecerdasan bukan kemampuan untuk tidak melakukan kekeliruan, melainkan menyadari dan mengoreksi kekeliruan.” –Bertold Brecht.