Baru-baru ini, Kementerian Dalam Negeri (KemenDaGri) merencanakan perumusan Undang-Undang (UU) tentang penyetopan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi klub sepak bola profesional di seluruh provinsi di Indonesia. Awal tahun ini, perumusan dan perancangan UU tersebut akan dimulai dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, klub sepak bola, perwakilan Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di seluruh wilayah, dan pihak terkait lainnya. UU tersebut direncanakan akan berlaku mulai tahun depan, namun tanggapan negatif terhadap rencana UU tersebut sudah mulai berdatangan, terutama dari para pemilik klub sepak bola.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar klub sepak bola di Indonesia sangat bergantung pada kucuran dana APBD untuk memenuhi biaya operasional klub mulai dari transfer pemain, gaji pemain dan ofisial, serta pembenahan infrastruktur. Bahkan porsi dana dari APBD dalam budget klub bisa lebih dari setengah dari total anggaran. Pemerintah telah mengatur aliran dana APBD bagi klub sepak bola melalui Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007, yang menyebutkan bahwa penggunaan dana APBD untuk sektor olahraga, yang dalam hal ini untuk membiayai klub sepak bola, harus melalui KONI sehingga penggunaannya bisa sesuai dengan target memajukan prestasi olahraga daerah. Pembinaan usia muda dan pembenahan infrastruktur termasuk dalam target yang dimaksud, namun pada prakteknya, dana APBD yang dikucurkan lebih banyak dihabiskan untuk transfer pemain dan pembayaran gaji. Atas dasar inilah Menteri Dalam Negeri (MenDaGri) Gamawan Fauzi merencanakan UU untuk menghentikan aliran dana APBD untuk klub sepak bola.
Para stakeholder klub sepak bola menanggapi rencana UU ini dengan nada negatif. Mereka beranggapan bahwa jika UU ini diberlakukan, maka kompetisi sepak bola di Indonesia bisa mati, karena tidak ada lagi klub yang mampu memenuhi biaya operasional per-musim kompetisi yang tiap musimnya bisa mencapai lebih dari Rp 40 miliar. Beberapa pemilik klub beranggapan bahwa UU ini terlalu dipaksakan dan terlalu terburu-buru. Mereka beralasan bahwa pada saat ini, klub sepak bola sedang dalam tahap transisi menuju kemandirian finansial, namun menurut saya alasan tersebut tidak tepat jika melihat usia Liga Indonesia. Sudah lebih dari 15 tahun Liga Indonesia bergulir, sudah beberapa kali berganti sponsor, berganti format kompetisi. Sudah 15 tahun lebih, namun tetap beranggapan bahwa mereka masih dalam tahap transisi? Saya rasa 15 tahun (seharusnya) sudah lebih dari cukup untuk bisa mandiri secara finansial.
Setiap awal musim, terutama sejak awal milenium ke-3, Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) selalu meneriakkan profesionalisme kepada seluruh klub peserta Liga Indonesia. Yang menjadi indikator bahwa klub sepak bola berpredikat ‘profesional’ antara lain kualitas dan legalitas pemain serta jajaran ofisial klub, lalu adanya infrastruktur yang mendukung, serta yang paling esensial adalah klub tersebut mandiri secara finansial (financially independent). Indikator ketiga mewajibkan klub untuk bisa mencari dana untuk membiayai operasional klub secara mandiri, yang dalam topik ini berarti tidak bergantung pada uang rakyat dari APBD. Klub harus mampu menyeimbangkan kas pengeluaran mereka dengan pemasukan dari beberapa sumber. Saya akan mencoba membahas sumber-sumber pemasukan klub beserta kendalanya dalam praktek operasional klub sepak bola di Indonesia secara umum.
- Sponsorship
Pembentukan kerjasama yang bersifat simbiosis mutualisme dengan perusahaan swasta. Dari kerjasama ini, perusahaan swasta bisa mempromosikan produk-produknya melalui klub sepak bola. Contoh yang paling jelas adalah pemasangan iklan perusahaan di kostum tim. Selain perusahaan swasta, klub juga bisa mengadakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah (PemDa) terkait dengan program-program yang dijalankan oleh daerah yang bersangkutan, seperti program pariwisata, program pendidikan dan program-program lainnya. Dana kerjasama untuk klub diperoleh dari keuntungan pelaksanaan program-program tersebut. Kerjasama sponsorship dalam jangka panjang bisa bernilai tinggi, terutama bagi klub yang memiliki basis suporter yang besar. Kerjasama klub dengan perusahaan swasta tentu berkaitan dengan brand imaging masing-masing pihak. Semakin baik nama klub atau nama perusahaan lewat kerjasama yang dibentuk, makin banyak orang yang akan menyukai keduanya, dan pada akhirnya makin tinggi nilai kontraknya.
Kendala yang dihadapi dalam praktek persepakbolaan Indonesia adalah jarang perusahaan swasta yang mau bekerjasama dengan klub sepak bola. Hanya beberapa klub yang mampu menggaet pihak swasta untuk menjadi sponsor, selebihnya ada yang disponsori bank daerah yang ujung-ujungnya mengambil dana APBD juga, atau tidak bahkan ada sponsor. Salah satu solusinya adalah dengan mengajak perusahaan swasta lokal untuk menjadi sponsor. - ApparelKerjasama dengan produsen alat olahraga bisa mengurangi pengeluaran dari sektor logistik. Produk apparel akan menyediakan keperluan logistik-teknis seperti kostum pemain, bola, jaket, baju latihan, dan lainnya. Perusahaan apparel yang diajak bekerjasama juga bisa meraup keuntungan dengan penjualan kostum replika.
Sebagian besar klub Indonesia sudah bisa bekerjasama dengan produsen alat olahraga pilihannya masing-masing, namun bagi klub-klub di luar Liga Super Indonesia (LSI), masih banyak klub yang memakai kostum "taman puring". - MerchandisingPenjualan produk pernak-pernik klub melalui outlet resmi. Dengan membuka outlet atau toko resmi merchandise klub, keuntungan dari hasil penjualan pernak-pernik tersebut bisa menjadi sumber pemasukan tersendiri. Penjualan merchandise juga bisa melalui kerjasama dengan perusahaan apparel. Dengan harga yang terjangkau serta sistem penjualan dan distribusi yang jelas dan teratur, merchandise klub bisa cepat laku dan mendatangkan keuntungan.
Kendalanya adalah orang-orang cenderung membeli merchandise palsu atau yang bukan dijual di outlet atau toko resmi klub, sehingga hasil penjualan tidak bisa masuk ke kas klub. Perlu adanya sosialisasi, pembenahan sistem penjualan dan distribusi, serta sedikit ketegasan dari pihak klub untuk mengurangi keberadaan merchandise palsu. - Hak Siar TelevisiUntuk setiap pertandingan yang disiarkan secara langsung melalui televisi, klub mendapatkan image rights dari jaringan televisi tersebut. Nilai kontrak hak siar cukup besar sehingga pendapatan dari sektor ini cukup signifikan dalam anggaran klub. Dalam kontrak tersebut, nilainya berbeda-beda berdasarkan kandang dan tandang, dimana tim kandang mendapatkan jatah yang lebih besar. untuk LSI, ANTv sudah mampu menunjukkan komitmennya untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan secara rutin sejak beberapa tahun terakhir. Dengan packaging yang menarik, jumlah penonton LSI semakin lama semakin meningkat, yang tentunya mengundang banyak iklan untuk keuntungan ANTv dan klub yang memperoleh hak siar.
Namun masih banyak kendala dari sektor ini, seperti faktor geografis Indonesia yang luas. Sangat jarang sekali ada siaran langsung pertandingan di wilayah Papua, sehingga jatah hak siar bagi tim Persipura atau Persiwa lebih kecil jika dibandingkan klub lain. Bagi klub yang jarang mendapatkan jatah pertandingan kandang, mungkin ada baiknya mereka menjual hak siarnya ke saluran televisi lokal, sehingga mereka tidak terlalu dirugikan meskipun nilai kontraknya jauh lebih kecil.
Lalu masalah jadwal pertandingan yang berubah, sehingga jadwal siaran langsung juga harus disesuaikan. Namun untuk kendala ini, pihak televisi tentu akan memberikan denda kepada badan liga, dan kompensasi kepada klub yang dirugikan. - TicketingSektor ini mampu memberikan pemasukan yang sangat signifikan, jika diatur dan dijalankan dengan benar. Namun nyatanya sektor ini belum mampu dimanfaatkan oleh klub dengan maksimal karena pengelolaan yang buruk dari klub. Pertama dari stadion tempat pertandingan berlangsung, masih ada beberapa klub yang belum memenuhi persyaratan infrastruktur liga sehingga harus memainkan pertandingan kandangnya di tempat lain. Selain itu, masalah perizinan polisi atau perubahan jadwal juga kerap menjadi kendala yang mengancam pemasukan klub dari penjualan tiket. Kedua dari ketertiban dan kejujuran, masih banyak praktek ‘masuk gratis’ bagi orang-orang tertentu yang memiliki koneksi dengan ‘orang dalam’ atau pihak keamanan. Ada juga yang memanfaatkan lemahnya penjagaan di pintu masuk stadion sehingga ada penonton yang bisa menyelinap masuk tanpa membeli tiket. Keberadaan tiket palsu atau tiket bekas juga bisa mengurangi pemasukan klub dari sektor ini. Ketiga dari sistem penjualan, kurangnya sosialisasi tentang distribusi tiket, terbatasnya mekanisme penjualan yang hanya melalui loket on-the-spot, menyebabkan penonton mengalami kesulitan untuk memperoleh tiket. Dan tentunya keberadaan parasit dalam ‘dunia pertiketan’ di Indonesia yaitu calo, yang sampai saat ini sulit diberantas, juga merupakan akibat dari buruknya sistem penjualan.
Untuk mengatasi kendala serta memaksimalisasi pendapatan dari sektor penjualan tiket, perlu adanya langkah-langkah dari klub untuk mencegah munculnya ketiga permasalahan di atas. Klub harus mampu membuat kebijakan tegas guna memperoleh keuntungan besar dari penjualan tiket, yang tentunya juga bisa memudahkan serta mengundang masyarakat untuk mau datang ke stadion. - Transfer PemainMenemukan, membentuk, dan mengasah pemain muda untuk kemudian ditransfer ke klub lain bisa menjadi sumber pemasukan yang cukup besar bagi klub. Lihat saja bagaimana untungnya Manchester United ketika menjual Cristiano Ronaldo ke Real Madrid. Namun dalam praktek kontrak pemain sepak bola di Indonesia, sebagian besar klub cenderung memberikan kontrak pendek bagi pemain-pemainnya dengan durasi satu musim. Hal ini tentu membuat si pemain bebas untuk pergi dari klub tersebut jika kontraknya sudah habis, sehingga klub tidak mendapatkan keuntungan dari dana transfer si pemain. Fakta juga menunjukkan, klub-klub LSI lebih sering membeli atau mengontrak pemain, terutama pemain asing, daripada melego pemainnya ke klub lain dengan sistem transfer. Hal ini tentu disebabkan keengganan klub untuk mengontrak pemain untuk jangka panjang, kalaupun ada pemain yang lama membela satu klub, itu karena kontraknya diperbarui setiap musim.
Jika klub mampu menjalankan kebijakan transfer pemain dengan mempertimbangkan berbagai hal dari pembinaan pemain muda, gaji pemain, preferensi pemain berdasarkan kebutuhan klub dan lain sebagainya, tentu klub akan mampu meraup keuntungan yang cukup besar untuk membantu anggaran klub lewat transfer pemain. - Sektor-sektor lainPemasukan juga bisa diperoleh dari sektor-sektor lain seperti acara Nonton Bareng (NonBar) yang diadakan oleh kelompok suporter resmi, pemasangan iklan melalui website resmi, atau dengan go public dengan menjual saham perusahaan klub ke masyarakat, dan lain-lain.
Ketujuh sektor pemasukan yang dijabarkan secara singkat di atas tentunya berhubungan, saling melengkapi dan saling memenuhi satu sama lain. Seluruh sektor tersebut juga harus mampu diatur sedemikian rupa sehingga bisa memberikan pelayanan yang baik kepada publik, khususnya para suporter klub. Perlu diingat bahwa dasar yang juga menjadi target dari sektor-sektor tersebut adalah publik dan para suporter. Merekalah yang ‘menghidupi’ klub melalui dukungan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara materil maupun non-materil. Jangan sampai klub ditinggal oleh suporternya.
Terkait masalah profesionalisme klub dari kemampuan finansial secara mandiri, tiap klub harus bisa sadar diri, bahwa tidak selamanya mereka menyusu dari dana APBD. Sudah saatnya bagi mereka untuk mampu menghidupi diri mereka sendiri. Kemunculan Liga Primer Indonesia (LPI) dengan konsep finansialnya yang memajukan kemandirian klub, bisa menjadi titik awal bagi kemajuan profesionalisme klub sepak bola Indonesia, tinggal kita lihat saja bagaimana klub-klub pesertanya dalam mempertanggungjawabkan, bagaimana mereka bisa mengatur dan mengolah modal yang telah diberikan menjadi keuntungan, sehingga mereka bisa dibilang financially independent. Proses ini memang butuh waktu, namun jika dijalankan dengan penuh tanggung jawab, profesionalisme tersebut pasti akan terwujud dengan sendirinya. Karena pada akhirnya semuanya harus dan akan berujung pada kemajuan sepak bola yang dinaungi dengan rasa bangga dari masyarakat Indonesia.
Terkait masalah profesionalisme klub dari kemampuan finansial secara mandiri, tiap klub harus bisa sadar diri, bahwa tidak selamanya mereka menyusu dari dana APBD. Sudah saatnya bagi mereka untuk mampu menghidupi diri mereka sendiri. Kemunculan Liga Primer Indonesia (LPI) dengan konsep finansialnya yang memajukan kemandirian klub, bisa menjadi titik awal bagi kemajuan profesionalisme klub sepak bola Indonesia, tinggal kita lihat saja bagaimana klub-klub pesertanya dalam mempertanggungjawabkan, bagaimana mereka bisa mengatur dan mengolah modal yang telah diberikan menjadi keuntungan, sehingga mereka bisa dibilang financially independent. Proses ini memang butuh waktu, namun jika dijalankan dengan penuh tanggung jawab, profesionalisme tersebut pasti akan terwujud dengan sendirinya. Karena pada akhirnya semuanya harus dan akan berujung pada kemajuan sepak bola yang dinaungi dengan rasa bangga dari masyarakat Indonesia.
Maju Terus Sepak Bola Indonesia!!