Wednesday, September 21, 2011

Lebih Nyata, Lebih Dekat, Lebih Nikmat: Fenomena Tribun Stadion Sepak Bola di Indonesia


Sebagian orang beranggapan menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion sama saja dengan buang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Anggapan tersebut benar adanya. Menyaksikan pertandingan melalui layar kaca, baik di rumah atau di lokasi-lokasi nonton bareng tentunya lebih hemat biaya. Juga, lebih banyak waktu yang dikorbankan dan lebih banyak tenaga yang dikeluarkan jika harus datang ke stadion. Muncul pertanyaan, mengapa setiap kali ada pertandingan sepak bola, baik di level liga atau level antar-negara, stadion tempat berlangsungnya pertandingan acapkali tampak penuh? Apakah mereka yang datang ke stadion memiliki anggapan yang berbeda dengan sebagian orang yang dijelaskan di 4 kalimat awal paragraf?

Pada dasarnya, menonton sepak bola langsung di stadion bisa disamakan dan diperbandingkan dengan menonton konser musik. Jika kita bisa mendengarkan lagu melalui radio, iPod, MP3, atau teknologi pemutar musik lainnya, lalu mengapa konser musik sering dihadiri banyak penonton? Pertanyaan tersebut memiliki persamaan dengan pertanyaan pertama yang dijabarkan di paragraf sebelumnya. Apa yang dimiliki oleh stadion sepak bola dan konser musik, yang “dibeli” oleh para attendance-nya?




Olah raga dan musik zaman sekarang adalah bagian dari industri besar berbasis bisnis hiburan (entertainment business). Keduanya memiliki komoditi dan konsumennya masing-masing. Bagaimana cara para pelakunya untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah dengan cara “menjual” apa yang mereka punya, yaitu keahlian dan kiat. Kedua hal tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi konsumen industri hiburan. Pada dasarnya, keahlian dan kiat-kiat yang dimiliki oleh para pelaku dunia olah raga dan musik dikemas dan “dijual” kepada para konsumennya dalam bentuk jasa (service). Mereka “menjual” keahlian dan kiat-kiat yang mereka miliki guna memberikan kepuasan batiniah (terkadang juga lahiriah) kepada siapa saja yang menikmatinya. Namun seiring berkembangnya industri hiburan, jasa (service) yang diberikan mulai diiringi dengan satu komoditi lain, yaitu pengalaman (experience).


Selain service, yang didapat oleh mereka yang datang ke stadion dan yang datang ke konser musik adalah experience. Tidak seperti menonton pertandingan melalui televisi atau mendengarkan rekaman lagu dari alat pemutar lagu, dengan datang ke stadion atau konser musik mereka dapat merasakan dan menikmati service secara nyata dan langsung. Hal tersebut tentu memberikan pengalaman dan kepuasan tersendiri. Karena pada dasarnya, experience adalah “produk” yang berbeda dengan service, experience harus mampu memberikan penawaran yang bisa melekat dalam benak para konsumennya untuk waktu yang lama sehingga mereka akan merasa puas ketika mengingat-ingat pengalaman yang mereka rasakan ketika menikmati hiburan secara nyata dan langsung. Untuk itu, para pelaku industri olah raga dan musik harus mampu memberikan suatu sensasi yang berbeda bagi konsumennya yang ingin menikmati performance mereka secara langsung. Untuk merasakan sensasi tersebut, dibutuhkan juga partisipasi aktif dari para konsumennya. Apa bedanya dengan menonton di televisi atau mendengar lewat alat pemutar lagu jika kita hanya menikmati pertandingan di stadion atau panggung secara pasif tanpa turut berpartisipasi dalam kegiatan khas tribun stadion atau festival panggung seperti koreografi massal atau teriakkan yel-yel dan nyanyian? Dibutuhkan keahlian dan kiat-kiat khusus dari para aktor sepak bola dan musik untuk dapat mempersonalisasikan secara dinamis setiap kejadian baik di atas lapangan maupun di atas panggung, sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemauan, serta karakteristik sikap para konsumennya yang sedang menikmati pertunjukan mereka secara langsung. Dalam hal ini, tekanan pada pemain sepak bola akan lebih besar karena mereka harus concern pada aspek estetik, atletik, dan kompetitif dalam performance mereka, sementara para musisi cukup dengan fokus pada aspek estetik.

Kembali ke bahasan khusus mengenai sepak bola, ada hal lain yang mendorong orang untuk datang ke stadion untuk menonton pertandingan secara langsung selain untuk mendapatkan experience. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecintaan seorang penggemar sepak bola terhadap tim yang dibelanya. Seperti yang telah dijabarkan di paragraf pembuka, menonton di stadion membutuhkan pengorbanan lebih dalam hal waktu, biaya, dan tenaga. Mereka yang rela mengorbankan hal-hal tersebut untuk bisa datang ke stadion dan memberikan dukungan secara langsung, mengindikasikan rasa simpati mereka yang dalam terhadap tim yang mereka bela. Tingkat pengidentifikasian diri mereka ke dalam tim yang mereka dukung telah memunculkan sense of belonging yang begitu kuat sehingga mereka rela mengeluarkan lebih banyak biaya dan tenaga, serta meluangkan lebih banyak waktu demi mendapatkan kesempatan untuk bisa memberikan dukungan secara langsung.

Pada praktiknya, service yang diberikan kepada para penonton di stadion tidak hanya “disediakan” dari pertandingan yang mereka saksikan, tetapi juga dari stadion itu sendiri. Service dari stadion antara lain penyediaan sarana dan prasarana untuk memfasilitasi orang-orang yang datang. Berdasarkan pengalaman pribadi, sarana dan prasarana yang ada di stadion-stadion di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan stadion-stadion di luar negeri seperti di kawasan Asia Timur dan Eropa. Hal ini tentunya berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan, yang pada akhirnya cukup berpengaruh pada preferensi seseorang untuk datang ke stadion di Indonesia.


Juga dilihat dari segi prestasi, sepak bola Indonesia sudah cukup lama mendambakan raihan gelar prestisius untuk setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Terakhir kali Tim Nasional (TimNas) Indonesia berjaya di ajang antar-negara adalah di South East Asian Games 1991 di Manila dengan merebut medali emas. Lebih dari 2 dekade berlalu, prestasi tak kunjung datang. Yang ada, Tim Garuda hanya menjadi tim yang “hampir juara” dengan beberapa kali menjadi runner-up di berbagai cabang.


Namun rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh stadion-stadion di Indonesia, serta prestasi yang seakan-akan semakin menjauh dari genggaman, tidak menurunkan antusiasme masyarakat Indonesia untuk datang ke stadion, menonton langsung pertandingan-pertandingan level liga ataupun laga TimNas. Hal ini menunjukkan bahwa sepak bola, bagaimanapun juga adalah dagangan experience yang ajaib. Konsumen sepak bola pada dasarnya membeli experience, sebuah pengalaman. Sering kali mereka tidak tahu alasannya secara rasional, namun bisa merasakannya secara emosional bahkan sampai ke spiritual. Maka dari itu, meski kalau ditelaah secara rasional kualitas sepak bola kita tidak begitu menawan, stadion tetap ramai.

¡Hasta luego!

Sumber:
Darwin, Waizly. 2011. “Branding the (League) Experience, Experiencing the (Club) Brand”. Marketeers, March 2011.

Dolles, Harald and Sten Söderman. 2005. Globalization of Sports - The Case of Professional Football and its International Management Challenges. Tokyo: German Institute for Japanese Studies.

Fisher, R.J., and K. Wakefield. 1998. “Factors leading to group identification: a field study of winners and losers”. Psychology and Marketing, Vol. 15, No. 1, pp. 23-40.

Pine II, B.J., and J.H. Gilmore. 1999. The Experience Economy. Boston, MASS: Harvard Business School Press.

Wednesday, September 14, 2011

Bola Mati Yang Mematikan


Ada banyak pemain hebat di dunia sepak bola. Namun tidak semua dari pemain-pemain tersebut yang memiliki kemampuan khusus untuk mengeksekusi bola mati dengan baik. Pada kenyataannya, tendangan bebas mampu meningkatkan peluang terciptanya gol bagi tim yang mendapatkannya, terlebih jika tendangan bebas didapat di sekitar kotak penalti lawan. Untuk itu, akan lebih baik jika tim tersebut memiliki spesialis bola mati yang mumpuni.

Teknik mengeksekusi bola mati bukanlah teknik yang diperoleh secara alami, namun didapat melalui latihan secara intensif demi meningkatkan presisi dan akurasi. Konon, spesialis tendangan bebas seperti Cristiano Ronaldo dan Shunsuke Nakamura selalu melatih teknik eksekusi bola mati-nya selama kurang lebih 30 menit seusai latihan resmi bersama timnya selesai. Jika dalam seminggu mereka berlatih 5 kali, berarti dalam seminggu mereka khusus berlatih tendangan bebas selama kurang lebih 2,5 jam. Ketika Ajax Amsterdam dilatih oleh Ronald Koeman (yang ketika masih aktif bermain juga dikenal sebagai eksekutor bola mati yang handal), ia memberikan porsi khusus bagi Wesley Sneijder, Cristian Chivu dan Rafael van der Vaart untuk membagi ‘jurus-jurus’ tendangan bebas kepada anak asuhnya. Sekarang, Sneijder dan van der Vaart masuk kategori spesialis bola mati. Latihan tendangan bebas juga mampu mengasah mental si pemain sehingga pada pertandingan sesungguhnya ia mampu mengatasi tekanan dan dapat dengan cepat membaca dan menguasai situasi untuk bisa mempraktikkan teknik tendangan bebasnya dengan baik.





Tendangan bebas yang ditembak langsung ke gawang bisa dilakukan dengan beberapa metode dan teknik. Bergantung pada bagaimana cara bola melewati pagar betis tim lawan, tendangan bebas bisa dieksekusi dengan metode over the wall, around the wall, under the wall (seperti yang pernah dilakukan oleh Ronaldinho ketika masih membela Barcelona di Liga Champion 2006/2007 melawan Werder Bremen), atau bahkan bounce it onto the wall. Sementara teknik yang dipakai antara lain cannon, swerve, drive atau knuckle.

Teknik cannon adalah teknik yang sering dipraktekkan oleh Roberto Carlos, yakni dengan menendang bola sekeras mungkin dengan menggunakan bagian kura-kura kaki atau kaki bagian luar. Teknik ini identik dengan sebutan net-buster karena menekankan pada kekuatan tendangan yang menghasilkan luncuran bola berkecepatan tinggi, baik yang mengudara atau yang menyusur tanah. Pemain yang menguasai teknik ini umumnya membutuhkan bantuan beberapa rekannya ketika hendak mengeksekusi tendangan bebas, untuk menggeser titik lokasi bola demi menghindari arah lintasan bola dari pagar betis yang disusun tim lawan.

Teknik swerve identik dengan sebutan ‘tendangan pisang’, yang berarti bola yang ditendang membentuk arah luncuran melengkung seperti buah pisang. Arah melengkung dihasilkan dari efek rotasi yang diberikan pada bola yang ditendang dengan teknik khusus, sehingga bola berputar ke arah samping kanan/kiri ketika berada di udara dan berbelok ke arah putaran. Jika dibahas dari sudut pandang ilmu fisika, teknik swerve ini terlihat sulit, namun pada prakteknya, pemain seperti David Beckham, Francisco Arce, Nakamura dan Alvaro Recoba dapat melakukannya dengan mudah dan indah. Teknik ini menjadi ide pokok bagi judul film ‘Bend It Like Beckham’. Teknik swerve umumnya dilakukan dengan menendang menggunakan ujung kaki bagian dalam, dengan cara ‘memelintir’ bola sehingga bola akan berotasi. Namun bisa juga dilakukan dengan menggunakan kaki bagian luar untuk ‘memelintir’ bola, yang tekniknya dikenal dengan sebutan trivela. Teknik trivela sering dipraktekkan oleh Ricardo Quaresma dan Mesut Özil. Teknik swerve yang dilakukan dengan cara trivela dapat menghasilkan swerving cannon ball seperti yang dilakukan oleh Roberto Carlos ke gawang Perancis di ajang Tournoi de France 1997.


Drive atau knuckle merupakan teknik yang dipopulerkan oleh Juninho Pernambucano. Tidak seperti teknik swerve yang mengandalkan rotasi atau perputaran bola, teknik drive/knuckle justru meminimalisasi atau sama sekali tidak membutuhkan rotasi bola dan lebih memanfaatkan angin atau udara yang bergerak. Tendangan dilakukan dengan menggunakan pangkal tiga jari terdalam dari kaki yang menendang, sehingga ada yang menyebut teknik in sebagai ‘three fingers free-kick’. Bola ditendang di titik tertentu sehingga ketika mengudara, bola secara tiba-tiba bisa berubah arah. Rahasia tendangan bebas yang biasa dilakukan oleh Juninho adalah menendang bagian lubang udara bola, yang sebelumnya sudah ditempatkan di posisi yang tepat dan pas ketika ia menaruh bola sebelum mengambil tendangan bebas. Dengan teknik ini, ketika bola ditendang, udara yang terkandung dalam bola akan mengalami pergerakan yang tidak beraturan. Dengan tidak adanya rotasi pada bola, tekanan udara di sekitar bola ketika bola mengudara juga menjadi tidak beraturan sehingga arah bola akan semakin sulit ditebak oleh kiper. Istilah drive digunakan jika bola yang ditendang dengan menggunakan teknik ini sedang mengudara tiba-tiba menukik jatuh ke bawah, sementara istilah knuckle digunakan ketika bola yang sedang mengudara berubah arah ke samping kiri dan kanan. Dengan teknik ini, Juninho beberapa kali mencetak gol dari tendangan bebas yang berjarak lebih dari 40 meter dari gawang lawan. Beberapa spesialis tendangan bebas di Liga-Liga Eropa mengadopsi teknik ini. Pemain-pemain tersebut antara lain Cristiano Ronaldo, Andrea Pirlo, Allesandro Del Piero, dan Keisuke Honda.



Tidak
jarang gol yang dicetak dari tendangan bebas langsung menjadi penentu prestasi atau kemenangan suatu tim. Tim Inggris sudah beberapa kali diuntungkan oleh gol tendangan bebas David Beckham, seperti ketika menjadi penentu langkah mereka ke Piala Dunia 2002 di mana tendangan pisang Beckham menembus gawang Yunani di pertandingan terakhir kualifikasi zona Eropa, atau ketika menjadi penentu kemenangan Inggris atas Kolombia di Piala Dunia 1998 dan atas Ekuador di perdelapanfinal Piala Dunia 2006. Tendangan melengkung Luis Figo di extra time mempersembahkan gelar SuperCoppa Italia 2006 bagi Inter Milan dengan mengalahkan AS Roma. Di final Piala Champions 1992, tendangan bebas Ronald Koeman menjadi penentu kemenangan Barcelona atas Sampdoria.
Selain berguna untuk mencetak gol, para spesialis tendangan bebas tentunya memiliki akurasi umpan di atas rata-rata dan kerap memanjakan rekan setimnya. Umpan-umpan dari situasi bola mati seperti tendangan bebas atau sepak pojok sering dimanfaatkan oleh para striker untuk mencetak gol, yang tidak jarang gol tersebut menjadi penentu kemenangan. Kejadian Miracle of Camp Nou di final Liga Champions 1998/1999 menampilkan kemenangan dramatis Manchester United yang mampu membalikkan keadaan tertinggal 0-1 dengan mencetak 2 gol di 3 menit terakhir pertandingan, di mana kedua gol tersebut diawali oleh sepakan pojok David Beckham.

Spesialis bola mati bisa berasal dari posisi mana saja, baik penyerang, gelandang, bek, bahkan kiper. Jose Luis Chilavert dan Rogerio Ceni adalah penjaga gawang yang merangkap sebagai eksekutor bola mati bagi timnya. Mereka beberapa kali mencetak gol dari tendangan bebas atau penalti. Bahkan Ceni sudah mencetak lebih dari 100 gol selama karirnya.





Meskipun hanya bermain di klub semenjana, pemain dengan spesialisasi tendangan bebas akan cepat dan mudah dikenali lewat kontribusinya dalam mengeksekusi bola mati. Sebelum digaet Liverpool, Charlie Adam menjadi eksekutor bola mati Blackpool. Kemampuannya dalam mengeksekusi bola mati diakui oleh pelatih sekelas Sir Alex Ferguson. Begitu juga dengan Marcos Assuncao, yang hanya bermain bagi Rio Branco sebelum direkrut oleh Santos lalu AS Roma.

Sebuah tim sepak bola akan sangat beruntung jika memiliki pemain yang handal dalam melakukan eksekusi bola mati. Kemampuan mereka akan sangat berguna bagi tim di saat-saat krusial ketika tim membutuhkan gol. Sangat disayangkan Tim Nasional Indonesia sekarang tidak memiliki pemain dengan atribut tersebut. Sedikit sekali pemain lokal kita yang memiliki spesialisasi bola mati. Di era 90-an, kita punya Uston Nawawi dan Bima Sakti. Masuk tahun 2000-an, ada Eduard Ivakdalam dan Ismed Sofyan. Nama Harry Salisbury cukup bersinar bersama PSIS Semarang di Liga Indonesia 2005 dan 2006. Ia kerap mencetak gol melalui tendangan bebas dan umpan-umpan bola matinya sering dimanfaatkan oleh Emmanuel de Porras dkk. kala itu. Gol tendangan bebasnya juga mempersembahkan gelar juara ketiga di LI 2005 bagi PSIS. Namun ia tidak pernah dipanggil untuk mengenakan seragam Merah-Putih, dan karirnya semakin meredup sejak kepindahannya dari PSIS. Ada beberapa nama lagi yang kerap maju untuk mengambil tendangan bebas seperti Bambang Pamungkas, Eka Ramdhani, Firman Utina, Mahyadi Panggabean dan Isnan Ali. Namun kontribusi mereka lewat eksekusi bola mati-nya masih belum konsisten.



Harapan pendukung TimNas untuk bisa melihat gol-gol lewat tendangan bebas, kini berada di pundak Syamsir Alam. Aksinya dalam mengeksekusi bola mati di penyisihan Piala Asia U-18 tahun 2009 cukup menjanjikan. Akan semakin baik lagi jika di masa yang akan datang muncul punggawa-punggawa Indonesia yang terkenal dengan eksekusi bola matinya yang mematikan, seperti yang sekarang menjadi predikat bagi Cristiano Ronaldo, Wesley Sneijder, David Beckham, Sinisa Mihajlovic, Diego Maradona, Juninho Pernambucano, David Villa, Ronaldinho, Andrea Pirlo, Gianfranco Zola, Allesandro del Piero, atau Juan Roman Riquelme.